Di tengah maraknya perkembangan teknologi yang semakin modern pada zaman ini, masih begitu banyak masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia yang tetap setia menjaga dan melestarikan tradisinya masing-masing salah satunya seperti tradisi gendurenan dari Jawa Tengah yang rutin diadakan setiap tahunnya menjelang hari raya lebaran. Gendurenan, sudahkah banyak yang tahu? Gendurenan atau yang biasa orang sebut kondangan memiliki makna bersyukur kepada Tuhan dalam rangka menyambut hari raya lebaran.
Tradisi unik yang diadakan setiap dua hingga tiga hari sebelum lebaran ini memang sarat akan makna. Selain bertujuan untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas segala rezeki yang dilimpahkan, tradisi gendurenan ini juga bertujuan untuk mengingat dan mendoakan arwah para orang tua atau keluarga yang telah meninggal dunia dengan cara menyiapkan berbagai hidangan dan sesajen yang diperuntukkan bagi mereka yang telah tiada.
Merupakan hal yang cukup langka memang ketika masih dapat menyaksikan tradisi unik ini pada zaman serba modern seperti sekarang. Tradisi gendurenan merupakan salah satu tradisi dari Jawa Tengah yang masih benar-benar dipertahankan dan menjadi salah satu ikon yang dikenal dari sini. Adat Jawa yang masih begitu kental tidak membuat setiap warga di sini melupakan tradisi turun-temurun yang ada sejak dahulu. “Ya, jadi kalau tradisi gendurenan ini kita bilangnya kondangan untuk mengucap syukur kepada Tuhan sebelum lebaran lalu juga untuk menginat bapak ibu yang udah meninggal kan”, ujar Tarni Handayani (43).
Ya, ini pengalamanku. Rabu 3 Juni 2019, pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB, warga Desa Temulawak, Kota Wonogiri, Jawa Tengah telah disibukkan dengan berbagai persiapan untuk melakukan tradisi gendurenan. Setiap warga dalam setiap rumah pasti melakukan tradisi ini dan takkan ada yang terlewat mengingat betapa pentingnya tradisi gendurenan ini setiap tahunnya. Memasak dan membersihkan rumah adalah hal wajib yang harus dilakukan si empunya rumah sebelum tradisi gendurenan dimulai.
Tak jarang kegiatan memasak dan membersihkan rumah dibantu oleh tetangga sebelah rumah yang datang membantu dengan sukarela. Kegiatan awal ketika bangun pagi adalah mempersiapkan segala kebutuhan untuk melakukan gendurenan yaitu mamasak berbagai hidangan khas tradisi gendurenan. Para ibu rumah tangga biasanya akan bersiap berbelanja berbagai kebutuhan makanan sedangkan para lelaki tetap akan melakukan pekerjaan mereka seperti pergi ke sawah hingga mengurus berbagai hewan ternak mereka.
Para ibu rumah tangga disibukkan dengan memasak berbagai hidangan seperti ayam bumbu kuning, serundeng kelapa parut, tumis tempe, tumis mie, dan kue apem sebagai hidangan penutup. Biasanya pekerjaan rumah tangga ini tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga melibatkan para tetangga yang selalu membantu untuk mempersiapkan tradisi gendurenan. Bisa saja ketika satu rumah memasak dalam porsi besar yang nantinya akan dibagikan untuk tetangga lainnya begitu juga sebaliknya. Beberapa porsi nasi dalam piring dan daun pisang akan menghiasai setiap meja dalam setiap rumah.
Tak hanya itu, teh manis hangat, kopi hitam pekat, beberapa batang rokok, lampu minyak, dan bunga tabur yang telah dicampur daun suji dan wewangian juga disiapkan. Semua itu dipersembahkan khusus untuk para arwah keluarga yang telah meninggal dunia untuk dikenang dan didoakan oleh si empunya rumah dan warga yang datang. Memang terasa begitu kental dan erat rasa kekeluargaan di desa ini. Bagaimana tidak, sebenarnya setiap rumah yang ada di desa ini memang masih terikat hubungan keluarga secara turun temurun sekalipun bukan keluarga satu darah.
Setiap rumah memiliki jadwalnya masing-masing untuk melaksanakan tradisi gendurenan ini. Biasanya satu desa akan bergantian setiap harinya dari pagi hingga malam hari. Warga sekitar akan berbondong-bondong menghadiri tradisi gendurenan. Tradisi gendurenan ini diperuntukkan bagi para lelaki dewasa dan anak-anak saja. Setiap warga akan berkeliling dari rumah satu ke rumah lainnya. Maka dari itu, tak jarang tradisi gendurenan akan berakhir hingga larut malam.
Si empunya rumah akan menghidangkan berbagai hidangan dengan beralaskan daun pisang dan daun jati yang membuat hidangan menjadi beraroma sangat harum meskipun seiring berjalannya waktu daun pisang dan daun jati mulai digantikan dengan piring-piring keramik. Hidangan tersebut nantinya akan di makan bersama-sama dan dibawa pulang oleh setiap orang yang datang dan biasa disebut nasi berkat. Kata ‘berkat’ sendiri digunakan untuk menandakan bahwa ketika pulang dari tradisi gendurenan dan membawa makanan, maka makanan tersebut merupakan suatu berkat dari Tuhan yang patut disyukuri.Tradisi gendurenan diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang ahli dalam membacakan doa-doa dan memimpin jalannya tradisi yang biasa disebut mudhin. Doa-doa yang dipanjatkan tak lain untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan mendoakan arwah para keluarga yang telah meninggal dengan menggunakan bahasa Jawa.
Menurut salah satu warga di desa Temulawak, Tugi, dirinya kerap kali memimpikan salah seorang mendiang keluarganya yang tak lain adalah almarhum ibunya untuk selalu disajikan mie instan setiap tradisi gendurenan tiba. “Pernah mimpi bertemu ibu dan ibu minta dibuatkan mie instan kuah pakai potongan cabai dan telur rebus”, ujar Tugi (35), warga Desa Temulawak “Tahun lalu saya lupa buatkan ibu mie instan kuah pakai potongan cabai dan telur rebus jadi sering kebawa mimpi. Jadi mulai sekarang takut ibu sedih kalau lupa lagi”, tuturnya.
Ya, begitulah tradisi thanks giving turun-temurun gendurenan ala desa yang terletak cukup jauh dari wilayah perkotaan ini. Ketika masih banyak orang yang lupa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Tuhan, Desa Temulawak justru mampu menjaga, melestarikan, dan menerapkan tradisi gendurenan secara turun-temurun kepada anak cucu mereka. Tak banyak orang tahu memang bagaimana indahnya tradisi gendurenan dan apa makna dibaliknya. Mungkin saja beberapa orang akan berpikir tradisi ini memiliki aura mistis karena berkaitan dengan arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal.
kehangatan dan rasa saling membutuhkan membuat tradisi ini memiliki pesonanya sendiri di mata setiap warganya. Eratnya tali persaudaraan yang terjalin tanpa membedakan satu dengan yang lain tentu menjadi salah satu makna yang dapat diambil dari tradisi gendurenan ini karena setiap warganya tidak sungkan untuk saling membantu dan berbagi. Gendurenan, tradisi unik nan berharga persembahan Desa Temulawak yang harus terus dijaga dan dilestarikan. (*)
BACA JUGA Stop Ejekan yang Mengarah ke Rasis Terhadap Bahasa Ngapak atau tulisan Ayu Octavi Anjani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.