Saat SD, hape saya adalah Siemens C45. Hp yang belum polyphonic apalagi punya kamera. Berlanjut ke SMP, saya punya Hp Nokia yang sudah Java, punya kamera dan bisa download game di Waptrick. Berlanjut ke era SMK, saya masih pakai hape itu sampai kemudian punya BB, lalu smartphone, dan kini pakai smartphone bikinan Cina. Seiring berkembangnya teknologi, semakin banyak fitur dan kemudahan yang ditawarkan. Tapi, tanpa saya sadari, banyak hal buruk juga yang terjadi. Kecanduan dan terbuangnya waktu salah satunya. Hal yang sama, terjadi di banyak unsur kehidupan bermasyarakat. Seperti judul di atas, genduren dengan berkat mentahan juga salah satu kemajuan sekaligus kemunduran.
Genduren atau kenduri adalah semacam ngaji dengan doorprize. Namun, ngaji mentahan ini lain, doorprizenya berupa barang mentah, alias sembako. Walau kadang, masih ada yang diberi snack barang sebungkus. Bisa dibilang, genduren dengan oleh-oleh berkat mentahan adalah teknologi genduren modern.
Gerakan genduren mentahan ini muncul karena kekhawatiran makanan jadi mubazir. Memang kadang begitu, suka nggak kemakan. Walau sebenarnya kita tahu, tujuan utamanya adalah agar lebih ringkas dan cepat saja. Kalau soal biaya, mentahan justru lebih boros. Bayangkan saja, ada beras, telur, mi instan, gula, teh, kopi dan kadang masih ditambah snack.
Sependek pengamatan saya, genduren berkat mentahan, muncul pada 2000-an. Kakek saya pernah ngomong gini, “Kalau sekarang genduren kok mentahan, lama-lama nanti genduren amplopan muncul”. Dan benar saja, genduren mentahan muncul sebagai pembuka genduren amplopan. Di daerah saya, sudah mulai ada yang melakukan itu. Mengundang pihak-pihak semacam santri, ustaz, sampai ke anak yatim untuk kemudian memberi amplop berisi uang. Alias ngaji berbayar. Tentu lebih simple, tak perlu mengundang tetangga, tak perlu masak banyak-banyak, cukup ke ATM dan beli amplop kecil.
Mungkin akan lebih baik jika tanpa ada door prizenya, cukup doa bersama. Tapi, susah juga menghilangkan prosesi amal semacam itu. Berkat mentahan itu pun sebenarnya kurang genduren, genduren yang tak sejati. Sebab, pada dasarnya, genduren itu mengundang tetangga dan memasak dengan bantuan tetangga. Budaya begituan, muncul untuk melatih kerukunan, bukan cuma agar beramal tok. Ada banyak versi soal genduren ini. Ada yang bilang dari Hindu, dari budaya ini dan itu, banyak pokoknya. Yang pasti, genduren sendiri adalah prosesi syukuran dengan berdoa dan makan bersama, atau “mberkat” alias membawa pulang berkat berupa makanan.
Sebab berkat mentahan habis duit lebih banyak, akhirnya dianggap lebih fancy dan glamor. Tak ayal, banyak pihak ikut cara ini, tentu karena gengsi. Seperti yang terjadi di keluarga besar saya misalnya. Saat akan genduren, keluarga terbagi dalam dua kubu. Satu, kubu genduren konvensional dan satu lagi genduren berkat mentahan. Alasan dari kubu genduren konvensional untuk meneruskan tradisi. Yang mentahan, agar tak malu dengan tetangga, gengsi begitu. Namun, akhirnya diambil jalan tengah, tetap mentahan, agar lebih simple dan cepat. Hanya saja, snack agak dibanyakin, biar satu rumah kebagian.
Meski harus diakui, mentahan memang lebih bermanfaat dan tak takut jadi mubazir. Belum lagi saat ada orang meninggal dan harus genduren. Agar tak repot dan cepat, mentahan yang dipilih. Yang wagu adalah, jika genduren orang meninggal, berkat mentahan menjadi budaya wajib. Jadi, saat ada orang meninggal, dan yang jadil oleh-oleh justru berkat matengan (tidak mentahan), keluarga itu akan jadi olok-olok sekampung. Tak semua suka begitu, tapi namanya rerasan itu kayak oksigen, dibutuhkan untuk obrolan orang kampung.
Genduren mentahan memang sudah menjamur di mana-mana. Praktis, simple, cepat, mewah, namun mengesampingkan nilai gotong royong dan makna genduren itu sendiri. Semoga di masa depan, tak ada genduren voucher kuota internet, atau genduren diamond. Yang paling saya takutkan adalah, tak ada lagi genduren dan ngaji bersama lagi, semuanya online lewat gawai.
BACA JUGA 5 Lauk yang Secara Misterius Selalu Ada di Berkat Tahlilan dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.