Frank Lampard dan PR Lawas yang Belum Tuntas

frank lampard

frank lampard

Frank Lampard mempersembahkan kemenangan ke-4 bagi Chelsea dalam mengarungi Liga Primer Inggris musim 2019/20 setelah menghajar Southampton 1-4 di St. Mary’s Stadium (06/10). Hasil tersebut memperpanjang track positif Chelsea dengan raihan 3 kemenangan beruntun disemua kompetisi. Catatan bagus bagi pria 41 tahun setelah mengawali musim dengan terseok-seok.

Namun bila melihat dengan kecamata lebih luas, kemenangan kemarin masih belum sepenuhnya paripurna. Satu gol yang bersarang ke gawang Kepa Arrizabalaga menjadikan Chelsea tim dengan jumlah kemasukan ke empat terburuk dari seluruh peserta liga. Hingga pekan ke-8, Chelsea sudah kebobolan 14 gol. Pekerjaan rumah klasik yang hingga kini masih belum tertangani baik oleh mantan pemain timnas Inggris.

Menukil data dari Opta Joe, setelah memainkan 69 pertandingan selama menjadi Manajer professional, Lampard hanya mampu mencatat 15 nirbobol dengan persentase 22%. Angka buruk yang patut dikritisi para fans Chelsea.

Banyak pendapat dari berbagai pandit mengatakan, salah satu kelemahan Frank Lampard adalah—saat tim kehilangan bola—bertahan. Bahkan mantan Manajer yang terlampau cinta dengan Chelsea, Jose Mourinho, pernah mengomentari cara transisi Chelsea versi Lampard masih terlihat lugu, sehingga meninggalkan gap cukup besar antar lini, terutama saat Chelsea kehilangan bola.

Memang, komentar Mourinho tersebut keluar dari mulutnya pada awal bulan Agustus lalu saat Chelsea dilumat Manchester United dengan skor 4-0 di Old Trafford. Namun hingga pertandingan terakhir saat menantang Southampton kemarin, Lampard masih belum bisa dikatakan berhasil dalam membenahi kelemahan tersebut. Alhasil klub sekaliber Southampton sukses mencatatkan 10 kali percobaan tendangan, 3 di antaranya berhasil mengancam gawang Kepa Arrizabalaga, termasuk gol Danny Ings pada menit 30’.

Begitu pun saat menghalau build up serangan lawan dari bola set piece, musim ini gawang Chelsea sudah dikoyak 6 kali melalui set piece. Angka ini sudah termasuk gol dari Rodrigo saat berjumpa Valencia dan sundulan dari Victor Osimhen saat menghadapi Lille OSC di Liga Champions. Berbeda dengan teknik transisi yang memang sepenuhnya pekerjaan rumah bagi Lampard. Kelemahan Chelsea dalam menghalau set piece adalah hibahan tugas dari Maurizio Sarri. Musim lalu, Chelsea menjadi klub paling buruk dalam persoalan ini, bersanding sejajar bersama Cardiff City dengan menelan 15 kali kebobolan.

Tak cukup di sini, permasalahan lain yang sedang dihadapi Lampard adalah lambannya pemain dalam penjagaan wilayah pertahanan (covering area) saat dalam posisi tertekan, atau dalam bahasa teknisnya biasa disebut zonal marking. Kelemahan ini sangat jelas terlihat saat Chelsea takluk 1-2 dari Liverpool pada pekan ke-6 lalu.

Berbekal pengalaman, Jurgen Klopp tau betul akan kelemahan Chelsea tersebut. Sehingga kerap kali 4 bek Chelsea dibuat kelimpungan membaca alur bola yang diperagakan Liverpool. Belum lagi ditambah perjudian besar Lampard yang membayar waktu istirahat pemain yang baru saja sembuh dari cidera dengan memasukkannya ke line up. Emerson Palmieri (menit 13’) dan Andreas Christensen (menit 42’) menjadi korban kecerobohan Lampard, yang harus ditandu keluar lebih awal karena cidera.

Sebenarnya untuk teknik zonal marking, Lampard bisa mengambil ilmu dari Jose Mourinho yang terkenal piawai menggunakannya saat –dulu- menjadi pelatih. Apabila sekarang sudah lupa dan sungkan untuk meminta kembali ilmu dari Mourinho, Lampard bisa saja mengajak diskusi John Terry yang sewaktu bermain saya kira cukup paham tentang teknik bertahan ini.

Tampaknya Lampard cukup sadar akan kelemahan timnya selama ini. Terlihat dari 12 pertandingan terakhir, ia tidak pernah menurunkan 11 pemain yang sama untuk mengisi line up. Alasannya cukup jelas, ia masih mencari komposisi terbaik setidaknya untuk melancarkan strategi yang ia yakini bakal berhasil menumbangkan lawan-lawannya.

Namun yang cukup riskan dari keputusan Lampard adalah ia juga terlalu sering mengganti pakem formasi. Berawal dari 4-2-3-1, kemudian 4-3-3, dan sempat bermain dengan formasi 3-5-2. Bahkan ia dengan kepercayaan tinggi menggunakan strategi mirroring sewaktu melawan Wolverhampton meski hasilnya memuaskan.

Tidak ada masalah jika keputusannya menggunakan pendekatan dinamis dengan tujuan untuk mencari pakem permainan paling cocok bagi Chelsea. Namun juga sangat bahaya jika pendekatan yang ia pilih justru mengantarkannya ke pusaran zona nyaman. Sehingga terkesan melupakan filosofi, entitas dasar yang acap kali dipakai pelatih-pelatih hebat untuk menunjukkan identitas gaya melatih. Apalagi sampai lupa memberikan pemahaman cara bertahan yang baik kepada pemain-pemain belianya.

Sebagai salah satu gelandang subur saat dulu masih merumput. Jelas ia memiliki naluri gol tinggi. Namun juga jangan sampai naluri tersebut mengambil alih penuh semua keputusannya selama berkarir di pinggir lapangan.

Tanpa mengesampingkan tajamnya lini depan Chelsea. Dan selagi liga terus berjalan, ia juga masih harus belajar banyak kepada pelatih-pelatih hebat yang dulu pernah berbaur dengannya di ruang ganti.

Untuk lebih mempertajam setiap keputusannya. Serta menyeimbangkan pemahaman sepak bola yang tidak hanya tentang mencetak gol, dan kembali mengingatkan memorinya jika bertahan juga termasuk dalam sistem sepak bola itu sendiri.

Untuk memperbaiki kelemahan yang cukup kompleks ini, Lampard memang membutuhkan waktu yang tidak instan. Ada banyak proses getir yang harus dihadapinya. Namun ia juga harus berkomitmen untuk bisa mengerjakan tugasnya. Supaya buku perjalanan karir kepelatihannya yang masih renggang dan tampak abu-abu lekas berganti dengan goresan tinta berkilau. (*)

BACA JUGA Liverpool Jangan Jumawa: Segerakan Meraih Gelar Liga Inggris! atau tulisan Ardi Setianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version