Kemarin malam saya sedikit menitikkan air mata. Tidak banyak, tapi agak berair. Itu terjdi karena saya melihat betapa anehnya cinta yang dimiliki oleh seorang pria bernama Forrest Gump. Melihat tindak tanduk seorang Tom Hanks yang berperan menjadi Forrest Gump. Saya seperti tertampar dan tertantang.
Apakah sebagai seorang pria yang boleh dibilang normal, saya bisa seperti dia? Bagaimana kesetiaannya terhadap Jenny dan sikap optimis yang tiada tanding itu seperti menjadi teror yang membuat hati saya sesak dan pada akhirnya berseloroh, Forrest Gump adalah pria yang hebat tapi menjengkelkan.
Jika ditanya apa film favorit saya sepanjang masa, saya akan menjawab Forrest Gump. Film yang sudah saya tamatkan lima kali dan mungkin nanti akan saya tonton kembali. Film ini menggabungkan banyak unsur di dalamnya. Perang ada, cinta-cintaan ada, komedi ada, persahabatan ada, dan yang paling sering dijadikan bahan pergunjingan dari sebuah film adalah hikmahnya, tentu juga ada.
Melihat Forrest Gump dengan karakternya yang tampak bodoh seolah membuat saya tertawa sambil terenyuh. Tertawa ketika melihat tingkah konyolnya yang natural. Dan, terenyuh ketika sikap setianya membuat saya sering berteriak dalam hati, Jenny keparat! Saya bukan misoginis, tapi ketika melihat Jenny, saya merasa seperti melihat Summer di (500) Days of Summer dalam versi yang berbeda. Walau memang beda, Jenny dan Summer ini sangat layak dinobatkan sebagai ikon fakgirl.
Film Forrest Gump adalah film adaptasi novel karya Winston Groom yang novelnya pertama kali terbit tahun 1986 dan baru rilis di 1994 yang pada akhirnya menjadi legendaris karena berhasil masuk 13 nominasi Academy Awards. Film ini juga menghantarkan Tom Hanks menyabet gelar aktor terbaik di Academy Award (Piala Oscar) 1994.
Digambarkan sebagai seorang pria yang hanya memiliki IQ 75, Forrest Gump selalu membuat saya iri. Iri dalam hal apa? Dalam hal sifat optimis dan kesetiaannya. Jika kalian sudah menonton film ini, kalian bisa melihat bahwa sifat optimis yang cenderung nothing to lose Forrest Gump ini kurang ajar, terlepas dari banyaknya pesan moral yang bisa didapat dari film ini. Selama lima kali saya menonton, rasa setia dan optimis Forrest Gump lah yang selalu membuat saya jengkel.
Pertama, soal kesetiaan
Hati saya selalu dibuat bergejolak ketika menyaksikan betapa seorang Forrest Gump seolah-olah tampak sempurna mempraktikkan perilaku tersebut. Kesetiaannya yang paling mencolok tentu saja terwujud pada kisah cintanya dengan Jenny. Kisah mereka memang bukan kisah cinta yang terjadi secara tiba-tiba, mereka sudah menjalin ikatan pertemanan sejak kecil dan berlanjut menjadi sebuah perasaan cinta yang tulus.
Sayang, Jenny selalu menganggap Gump hanya teman dan sahabatnya. Berbeda dengan Jenny, Forrest Gump justru menganggap Jenny lebih dari sahabat. Bahkan Jenny adalah wanita yang sangat ia cintai selain ibunya. Tapi apa daya, Jenny selalu menolak.
Mereka sempat terpisah, bertemu, terpisah, bertemu lagi hingga terpisah lagi. Forrest Gump yang sempat ikut perang Vietnam dan jadi tentara yang tangguh serta jadi atlet ping pong yang hebat, tetap saja membuat Jenny bergeming. Dan yang membuat hati saya tertusuk-tusuk, ia masih terus setia dengan Jenny sampai ajal memisahkan mereka. Jenny akhirnya mau menikah dengannya setelah menjalani kehidupan yang sangat kacau. Kehidupan liar bersama narkoba, seks bebas, dan alkohol membuat Jenny tampak berbeda seperti Jenny yang dahulu.
Kedua, soal optimisme
Optimisme ini kadang bikin saya jengkel dan bikin saya ketawa. Coba lihat betapa jengkelnya Letnan Dan terhadap Forrest Gump. Saya juga sependapat dengan Letnan Dan. Forrest Gump terlalu seolah tidak tahu apa itu pesimis dan hal ini membuatnya selalu tampak baik-baik saja walau sedang tidak baik-baik saja.
Ini menjengkelkan karena saya sangat sulit meniru perilaku seperti itu di dunia nyata. Dan yang semakin membuat saya jengkel, dari situ Forrest Gump justru berhasil dan sukses. Itu terbukti lewat usahanya bersama Letnan Dan yang diberi nama Bubba Gump Shrimp Corporation. Dia akhirnya membuat Letnan Dan yang cacat akibat perang sadar bahwa dengan berbagai kekurangan yang dimilikinya, ia ternyata masih berguna di dunia ini. Dan itu ngena banget di hati.
Hingga kombinasi sifat setia dan optimis yang sempurna pada karakter utama film ini membuat saya tertawa sambil terenyuh. Terutama ketika melihat dirinya lari selama tiga tahun untuk mencari Jenny. Bayangkan, tiga tahun untuk nyari orang yang telah menolak cintanya. Dari mulai klimis sampai jenggotan, Forrest Gump terus berlari sambil sesekali mencari Jenny. Aksinya tersebut ia akhiri karena ia merasa lelah dan Jenny tidak ia temukan.
Klimaks dari film ini semakin membuat saya berani menyimpulkan bahwa sifat setia dan optimis itu memang menjengkelkan.
Akhir film ini juga keparat menurut saya. Jenny semakin saya benci karena berbagai tindakannya yang bisa dibilang bodoh. Dan karakter utama kita membuat saya yakin bahwa terlalu setia dan optimis itu memang sangat bagus dan baik. Tapi jika hal tersebut benar-benar diterapkan di kehidupan nyata saat ini, entahlah, tidak ada yang tahu. Kadang terlalu baik dan konyol justru seringkali sulit dibedakan.
Sumber gambar: YouTube Paramount Movies
BACA JUGA Kuliah di Jurusan Psikologi Itu Enaknya Nggak Ketulungan dan artikel M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.