Film Nussa yang rilis pada pertengahan Oktober menjadi amunisi film lokal berharga untuk mengajak kembali orang-orang ke bioskop. Nussa pantas untuk dinantikan, sekaligus menjadi pembuktian akan tuduhan Nussa yang dianggap memiliki agenda terselubung cuma karena atribut pakaiannya.
Saya termasuk orang yang merasa kontroversi yang sempat menghinggapi film ini sebagai sesuatu yang konyol. Sudah banyak tulisan di Terminal Mojok yang membahas masalah ini, dan rata-rata saya setuju. Bahwa menilai agenda dari sebuah film bermodalkan kecurigaan pada atribut sembari tutup mata pada elemen lainnya adalah suatu kedangkalan.
Nussa bagi saya pantas dinantikan karena film ini bisa jadi tolok ukur level industri animasi lokal, khususnya secara kualitas teknis. Hal ini dikarenakan Nussa sudah dianggap memiliki kualitas teknis memukau semenjak berformat web series. Animasi yang mulus, ekspresi wajah yang hidup, serta kualitas pengisi suara dalam web series ini sudah dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia. Jadi wajar rasanya penasaran melihat bagaimana teknisnya berkembang dalam format film panjang.
Satu-satunya isu di benak saya soal Nussa, semenjak di web seriesnya adalah menyoal kesempurnaan karakter Nussa. Seperti kebanyakan cerita religi atau cerita anak-anak di Indonesia, karakter utama teladan selalu diperlukan guna memberi contoh atau menjadi solusi bagi karakter pendukung lain sebagai pembelajaran.
Maksudnya, Nussa memiliki karakteristik yang sempurna dengan selalu bertingkah layaknya orang dewasa ketimbang anak-anak karena selalu mampu menjaga emosi, tingkah laku, dan pikirannya, agar memenuhi syarat sebagai karakter teladan yang bisa dijadikan role model.
Dalam web seriesnya, banyak episode yang menceritakan soal Nussa yang ngajarin adiknya, Rarra, soal berbagai hal, khususnya agama. Meski tidak selalu begitu, tapi secara kesan keseluruhannya, buat saya, web series ini menjadikan Rarra sebagai karakter yang melakukan banyak kesalahan sebagai media belajar, untuk kemudian Nussa sebagai karakter utama yang teladan berfungsi sebagai pemberi solusi.
Sebenarnya, gaya bercerita seperti ini tidak salah dan sah-sah saja. Hanya saja gaya bercerita ini bagi saya sudah terasa kuno. Menurut saya, kesempurnaan karakter saat ini terasa sebagai sesuatu yang berjarak untuk penonton. Sementara penonton saat ini berkeinginan melihat karakter yang dekat dan relate sebagai sesama manusia yang belajar dari kesalahannya.
Itulah kenapa karakter sesempurna Superman semakin ke sini semakin diberi berbagai kerapuhan agar membuatnya lebih relate dengan pembaca/penontonnya. Jika dulu Superman berkutat dengan masalah membasmi kejahatan, semakin ke sini Superman diberi berbagai kerapuhan seperti perasaan teralienisasi atau pencarian jati diri.
Nah, itulah yang dilakukan film Nussa. Pada format film panjangnya, Nussa akhirnya dibuat manusiawi dengan membuatnya lebih vulnerable. Dalam cerita kali ini, Nussa diceritakan sebagai langganan juara lomba sains. Suatu hari, datang murid baru bernama Joni yang menantang posisi Nussa sebagai orang terpintar di sekolah itu. Mereka bersaing dengan cara adu bagus-bagusan pembuatan roket.
Dengan cerita itu, Nussa diberi kesempatan untuk merasakan berbagai emosi layaknya manusia biasa, seperti rasa iri, kesal, marah, hingga putus asa.
Hal ini membuat Nussa menjadi karakter yang rapuh. Selanjutnya, ketidaksempurnaan karakter akan membuat cerita menjadi maju dan berproses, dengan membuat karakter melakukan kesalahan lalu terjadi pembelajaran agar karakter berkembang.
Mengkritik aspek teknis dalam animasi ini sudah terlalu klise. Jelas ada peningkatan secara teknis untuk film Nussa jika dibandingkan dengan web seriesnya. Hanya saja, saya masih agak terganggu dengan pilihan dialog percakapan dalam film ini, suatu masalah klasik yang sering terjadi pada film animasi Indonesia.
Salah satunya adalah penggunaan bahasa baku di dialog percakapan sehari-hari dalam medium film animasi yang selalu mengganjal buat saya. Kemudian bagaimana film animasi men-treatment berbagai jenis percakapan, khususnya small talk yang masih terasa kurang natural. Sementara itu, untuk percakapan serius dan bercandaan atau berkomedi, Nussa sudah jauh lebih baik ketimbang film animasi lokal yang sudah-sudah. Tapi, semua permasalahan teknis yang ada bagi saya bisa ditolerir.
Semua kekurangan yang ada tertutupi dengan cerita sederhana yang hangat. Sejujurnya, secara cerita, konflik dan motivasi karakternya cenderung klise dan basic. Artinya, Nussa tidak begitu berambisi secara cerita, dan ini bisa disikapi secara positif.
Dengan cerita sederhana, Nussa tampaknya ingin berfokus untuk berbagi rasa pada penontonnya. Akhirnya, dengan struktur cerita dan pengkarakteran yang klise, kaku, basic, dan kuno itu, ternyata dikembangkan dengan hal-hal yang cukup fleksibel dan tidak terjebak dengan kekolotan.
Rivalitas antara Nussa dan Joni di eksplore dengan baik. Saya suka bagaimana Joni diperlakukan dalam film ini bahwa dia tidak terperangkap sebagai antagonis menyebalkan. Karakter Joni juga terasa manusiawi yang memiliki masalah yang bisa dihubungkan dengan Nussa, sehingga keduanya memiliki interaksi dan chemistry yang menarik.
Sumber kerapuhan Nussa bukan cuma dari Joni yang berhasil menimbulkan rasa iri. Pada film ini, Nussa juga memiliki masalah dengan Abbanya (sebutan untuk bapak Nussa). Semua pengalaman yang menyulitkan itu akan memberi Nussa pembelajaran untuk dirinya sendiri agar semakin dewasa.
Nah, proses pendewasaan inilah yang saya harapkan sebagai pembelajaran untuk penonton, melalui berbagi pengalaman. Bukan dengan sosok Nussa yang sudah tampak mapan bersikap dewasa dengan adegan-adegan menggurui, meskipun sah-sah saja sih tidak ada yang salah.
Ada adegan menarik ketika Abba Nussa memberi kado pada kedua anaknya, yaitu ketika dia memberi kado mobil-mobilan pada Rarra. Adegan ini bagi saya mementahkan semua tuduhan agenda-agenda radikal yang cenderung konservatif pada film ini. Melalui adegan itu, justru membuat film ini tampak memiliki agenda yang cukup relevan dengan tidak terjebak pada kado-kado klise seperti boneka ataupun hal-hal yang feminim pada Rarra.
Pada akhirnya, Nussa berhasil menjadi film yang menawarkan pengalaman rasa, khususnya perasaan hangat yang diperoleh melalui konflik keluarga dan konflik persaingannya dengan Joni. Meski memiliki beberapa kekurangan seperti cerita yang tidak padat dan terlampau sederhana dengan beberapa masalah teknis lainnya, tentu tidak menghalangi pesona Nussa sebagai film animasi yang hangat dan pesan moral yang baik.
Sumber Gambar: Akun Instagram Nussa Official