Saya Muak dengan Industri Film Horor yang Hanya (Bisa) Mengeksploitasi Budaya Jawa Seolah-olah Seram dan Mistis

Saya Muak dengan Industri Film Horor yang Hanya (Bisa) Mengeksploitasi Budaya Jawa Seolah-olah Seram dan Mistis

Saya Muak dengan Industri Film Horor yang Hanya (Bisa) Mengeksploitasi Budaya Jawa Seolah-olah Seram dan Mistis

Kalau ada satu hal yang pasti dalam industri perfilman Indonesia, itu adalah kenyataan bahwa kalau ada film horor baru, pasti latarnya nggak jauh-jauh dari tanah Jawa. Bahkan kalau judulnya sudah menyebut “rumah tua”, “kuburan angker”, atau “hantu gentayangan”, bisa dipastikan ada gamelan sayup-sayup di latar belakang dan sesajen di pojokan layar.

Pertanyaannya, kenapa harus Jawa?

Apa setan di Kalimantan, Sumatra, atau Sulawesi itu nggak cukup menyeramkan? Atau jangan-jangan, ada ketakutan industri film bahwa kalau nggak ada keris, menyan, dan kakek tua berkopiah yang tiba-tiba muncul memberi peringatan, filmnya nggak bakal laku?

Jawa, dari leluhur hingga menjadi bahan jualan

Sebagai orang asli Jawa, saya kadang merasa geli, kadang merasa muak dengen film horor Jawa. Budaya yang diwariskan turun-temurun ini terus-menerus disederhanakan menjadi cerita hantu. Seolah-olah seluruh hidup orang Jawa ini nggak lepas dari ilmu hitam, dukun, dan ritual pemanggilan arwah. Padahal, ajaran nenek moyang kita itu bukan sekadar soal klenik. Ada filosofi mendalam di baliknya.

Misalnya, kenapa orang Jawa punya kebiasaan “slametan” atau “kenduren”? Itu bukan semata-mata buat memanggil roh atau minta berkah dari entitas gaib, tapi bagian dari sistem sosial yang kuat. Lewat acara itu, warga berkumpul, berbagi makanan, dan menjaga relasi sosial. Tapi di film, kalau ada slametan, pasti ada yang kesurupan. Kalau ada kemenyan, pasti buat panggil pocong.

Saya kadang kepikiran, jangan-jangan kalau orang luar nonton film horor Indonesia terus-terusan, mereka bakal mikir kalau setiap malam, orang Jawa sibuk ngobrol sama jin. Mau minum teh, ketemu genderuwo dulu. Mau tidur, di depan pintu ada kuntilanak ngetok minta Wi-Fi.

Dari sosial budaya ke stigma murahan

Lucunya, meski berkali-kali mengangkat kisah mistis Jawa, industri film kita jarang yang benar-benar menggali sejarah dan filosofi di baliknya. Yang penting ada adegan kesurupan, suara gamelan mendadak nyaring, dan kamera bergoyang-goyang biar kesannya mencekam. Alhasil, budaya kita malah direduksi jadi gimmick seram.

Stigma ini akhirnya meluas. Coba deh perhatikan, setiap ada orang yang paham soal “laku hidup” orang Jawa, entah itu puasa mutih atau tirakat, pasti langsung dikaitkan dengan hal-hal mistis. Padahal, banyak ritual leluhur kita itu lebih dekat ke nilai kesabaran, pengendalian diri, dan spiritualitas—sesuatu yang jauh dari sekadar cerita hantu seram.

Tapi apa daya, kalau dalam skenario film, tokoh yang suka puasa mutih pasti diam-diam punya ilmu hitam. Yang suka bertapa di gunung pasti bisa nyambung sama dunia lain. Yang kelihatan sering meditasi? Sudah, itu pasti dukun sakti yang bisa bikin kepala orang meledak pakai tatapan mata.

Berhenti jadi pemanggil setan, mulailah jadi penghormatan budaya, dan stop jadi bahan bakar film horor

Industri film horor seharusnya mulai instrospeksi. Apakah mereka benar-benar mengangkat kebudayaan, atau cuma mengeksploitasi aspek mistisnya demi keuntungan semata? Apa film yang mereka buat benar-benar menggali makna budaya, atau hanya menjual ketakutan yang instan?

Padahal, kalau mau lebih kreatif, ada banyak aspek budaya Jawa yang bisa diangkat tanpa harus selalu menyeret-nyeret makhluk halus. Film bisa membahas tentang filosofi hidup orang Jawa yang kaya, tentang bagaimana nilai gotong royong dan kebijaksanaan leluhur masih bertahan di zaman modern. Tapi mungkin itu dianggap kurang laku. Mungkin lebih gampang jualan hantu lompat-lompat di lorong gelap.

Jadi, untuk para pembuat film, berhentilah menjadikan Jawa hanya sebagai latar mistis. Mulailah melihatnya sebagai warisan yang lebih dari sekadar pocong dan kuntilanak. Dan buat kita, orang-orang Jawa, sudah saatnya kita juga lebih vokal membela budaya kita sendiri. Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan mendorong representasi yang lebih beragam dan tidak melulu berkutat di dunia gaib.

Sebab, kalau kita diam saja, jangan salahkan kalau nanti orang Jawa beneran dianggap sebagai bangsa yang hidup berdampingan dengan hantu tiap hari. Padahal, yang lebih sering kita hadapi ya… cicilan dan kebijakan pemerintah yang nggak masuk akal.

Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Film Horor Indonesia Isinya Hantu dari Jawa, Hantu dari Daerah Lainnya Mana?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version