“Kamu bukanlah pekerjaanmu! Kamu bukanlah seberapa banyak uangmu di bank! Kamu bukanlah mobil yang kamu kendarai! Kamu bukanlah isi dompetmu! Kamu bukanlah celana khaki bajinganmu! Kamu semua adalah kotoran dunia yang menari dan bernyanyi!” demikian kutipan legendaris Tyler Durden di film Fight Club (1999).
Kutipan itu membuat saya jatuh cinta pada film yang seumuran era Reformasi ini. Mungkin Anda belum pernah menontonnya. Mungkin Anda pernah menontonnya, namun merasa film ini berlebihan menggambarkan situasi seorang pekerja keras. Atau mungkin, Anda merasa film ini provokatif.
Bagi saya, film ini adalah gambaran nyata seorang pekerja yang masih relevan hingga hari ini. Menurut saya, film ini layak diapresiasi lebih sebagai sebuah kritik sosial daripada sebagai film baku hantam. Sebuah kritik terhadap gaya hidup pekerja yang penuh tekanan namun diromantisasi dengan belanja sebagai pencapaian.
Film ini berkisah tentang seorang pekerja (Edward Norton) di Amerika Serikat. Pekerja tanpa nama ini menjadi narator Fight Club. Narator yang tidak pernah disebut namanya ini mengidap insomnia karena tekanan kerja. Dia menemukan pelampiasan dari tekanan ini dengan dua cara: belanja perabotan dan menghadiri konseling dalam support group.
Cara pertama ditunjukkan dengan isi apartemen narator yang penuh perabotan terbaru IKEA. Dia menghabiskan gajinya untuk menciptakan sebuah rumah yang nyaman. Sedangkan cara kedua dilakukan lebih ekstrem. Dia menghadiri konseling dengan menyamar. Dia mengaku mengidap berbagai jenis penyakit agar diterima dalam kelompok tersebut. Di sini narator bertemu dengan Marla Singer (Bonham Carter) yang melakukan hal serupa.
Cerita berlanjut saat si pekerja berada dalam penerbangan setelah kunjungan bisnis. Narator bertemu dengan Tyler Durden (Brad Pitt), seorang wirausahawan pembuat sabun. Setelah berkenalan dan bertukar kartu nama, cerita berlanjut pada musibah yang menimpa narator. Apartemen miliknya berikut isinya terbakar habis. Musibah ini memaksa narator menghubungi Tyler untuk meminta bantuan.
Mereka berdua menghabiskan malam di sebuah bar. Setelah minum-minum, Tyler mengajak narator untuk berkelahi. Bukan karena marah atau baper, tapi untuk melepaskan emosi yang terpendam. Perkelahian dua orang ini berujung pada terbentuknya Fight Club, sebuah kelompok yang menghabiskan akhir pekan untuk berkelahi. Alasan mereka sama, yaitu meluapkan emosi yang tertimbun selama hari kerja.
Saya sudahi bocoran film Fight Club-nya. Setelah bagian berkelahi itu, film ini akan makin menarik dan kompleks. Saya sarankan Anda menonton langsung film ini jika ingin tahu akhir dari depresi sang narator. Namun, dari setengah bagian awal film Fight Club, saya menemukan kritik sosial terhadap kondisi pekerja masa kini. Kritik ini lebih penting daripada aksi narator berkelahi layaknya tarung derajat atau pencak dor.
Kita mulai dengan kondisi sang narator.
Narator mengidap insomnia akibat tekanan pekerjaan. Jika Anda pikir kondisi ini hanya dibuat-buat, Anda salah besar. Menurut penelitian Finanta Gaffar Rifa’i dan Tri Martiana di satu perusahaan tambang, terdapat hubungan antara tekanan pekerjaan dengan insomnia yang dialami pekerja.
Meskipun sampel penelitian di atas hanya dari satu perusahaan, bukan berarti kasus serupa tidak terjadi dalam dunia kerja yang lain. Tekanan kerja di dunia modern memang merenggut kesehatan pekerja. Namun, tekanan ini seolah merupakan harga yang pantas dibayar. Tekanan kerja ini dilampiaskan dengan gaya hidup yang hedonis.
Kembali pada Fight Club, sang narator memilih berbelanja berbagai perabotan yang sebenarnya tidak memperbaiki keadaannya. Nah, inilah bentuk hedon yang dilakukan narator. Dia merasa beban kerjanya terbayar dengan hidup penuh belanja. Cara pikir ini juga terjadi pada pekerja hari ini. Hasil kerja Anda harus dihabiskan untuk kepuasan. Anda harus kerja agar Anda bisa memuaskan diri dengan hidup konsumtif.
Cara pikir yang demikian membuat banyak pekerja yang terjebak dalam “lingkaran setan”. Bekerja untuk belanja-belanja agar tetap kuat bekerja. Seolah-olah tidak ada penyaluran aspirasi diri selain belanja. Yang bergaji besar akan membelanjakan hasil kerjanya sebagai bentuk pencapaian diri, yang bergaji kecil tetap belanja meskipun menunggu diskon dari berbagai marketplace.
Namun, belanja ini tidak membuat narator puas. Sebagai makhluk sosial, narator tetap membutuhkan interaksi sosial. Namun, beban dan lingkungan kerja membuat narator ini seperti alien. Dunia di luar pekerjaan adalah sesuatu yang asing. Kondisi teralienasi ini menyebabkan sang narator harus menyamar sebagai orang sakit semata-mata memenuhi kebutuhan untuk interaksi sosial ini.
Perkara alienasi ini sangat diperhatikan Karl Marx dalam magnum opus Das Kapital. Menurutnya, kondisi teralienasi adalah imbas dari dunia kerja kapitalistis. Pekerja dibuat makin jauh dari kebutuhan alaminya sebagai manusia. Duh, saya tidak bermaksud dakwah tentang kapitalisme, tapi kenyataannya kan begitu. Jujur saja.
Jika narator memenuhi aspirasi dengan mendatangi berbagai konseling, itu wajar. Pada tahun tersebut belum ada media sosial. Hape saja masih menjadi barang mewah. Namun, kehadiran media sosial hari ini memberi kesempatan pekerja untuk melakukan apa yang dilakukan narator dengan sentuhan jari. Menjadikan media sosial sebagai jalan mengaspirasikan diri.
Maka, saya memaklumi jika banyak pemakai media sosial sering berbeda kepribadian dari kenyataan. Belum lagi media sosial memberi kesempatan untuk menjadi orang lain dengan nama baru. Persis seperti yang dilakukan narator Fight Club ketika mendatangi konseling. Kebutuhannya sama, yaitu mendapatkan rasa diterima dan dicintai sebagai orang lain ketika realitas kerja sudah terlalu menekan.
Nah, sampai sini Anda bisa melihat bahwa film lawas ini tetap relevan. Tidak perlu kaget. Kenyataannya, kondisi kerja memang akan tetap seperti itu. Kita akan dialienasi dan dipaksa memiliki mindset “belanja dan hedon adalah pencapaian”. Kebutuhan dasar manusia seperti rasa diterima dan dicintai dipandang sebagai hal yang tidak penting. Bahkan sampai merusak kesehatan fisik maupun psikis.
Pembebasan dari tekanan kerja ini dicapai narator ketika dia mulai berkelahi di Fight Club. Setiap akhir pekan, dia meluapkan beban diri melalui perkelahian yang sportif dan tanpa pencapaian selain melepas penat. Pembebasan seperti ini yang kadang dilupakan pekerja hari ini. Mereka merasa belanja mereka sudah cukup membebaskan diri.
Padahal, belanja hanya membuat mereka makin terpuruk pada tekanan kerja. Rasa takut tidak bisa belanja menyebabkan pekerja rela lembur tanpa memikirkan aspirasi diri. Padahal, ada banyak cara mengaspirasikan diri tanpa perlu belanja dan berbohong sebagai orang lain. Anda tetap bisa bersosialisasi sebagai diri sendiri tanpa perlu memikirkan “identitas” yang tersemat dari pekerjaan dan kepemilikan kok.
Lalu, bagaimana akhir dari film Fight Club? Silakan tonton sendiri. Yang pasti, film ini akan membuka mata bahwa kerja, hedon, dan mengeluh bukan satu-satunya cara untuk hidup.
Sumber gambar: YouTube Jerry Fu
BACA JUGA Culte de La Raison, ‘Agama’ Ateis yang Lahir dari Revolusi Prancis dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.