Ketika saya sedang bersantai di hari Minggu yang riuh sekali sembari bermain Twitter, saya menemukan sebuah cuitan yang cukup menohok dari seorang musisi hebat bernama Indra Lesmana. Cuitannya begini, “Kalau ingin membuat event dengan berbagai macam genre musik, menurut saya lebih baik organizer festival tidak perlu menggunakan kata ‘jazz’ dalam nama eventnya agar lebih mudah mempertanggung jawabkannya.” Saya, dan mungkin banyak orang tentu sudah paham apa maksud dari cuitan Mas Indra Lesmana ini.
Begini. Bisa dibilang, Indonesia adalah salah satu negara yang sering punya event, entah itu showcase atau festival musik yang punya embel-embel “jazz” di dalamnya. Sebut saja Java Jazz, Jazz Gunung, Jazz Traffic, Ngayogjazz, Prambanan Jazz, dan banyak sekali semacamnya. Event-event di atas bahkan sudah berjalan lama. Bukan setahun atau dua tahun belakangan saja. Tentu dengan pengunjung dan penikmat yang nggak sedikit, dengan harga tiket yang nggak bisa dibilang murah juga.
Kegelisahan Mas Indra Lesmana ternyata menjadi kegelisahan saya dan beberapa orang tentunya. Ya meskipun saya sendiri bukan musisi, bukan orang organizer, atau pengamat musik. Saya hanya pendengar dan penikmat saja. Tapi kegelisahan ini tetap muncul. Gimana nggak gelisah, lha wong nama-nama festival jazz di atas minim sekali menghadirkan musisi jazz sebagai headiners atau sebagai bintangnya. Musisi-musisi yang jadi bintang malah musisi yang dari genre lain, yang bahkan nggak ada irisan sama sekali dengan musik jazz.
Sah saja sebenarnya kalau misalnya musisi pop atau musisi rock, bahkan musisi dangdut menjadi bintang dalam sebuah festival musik jazz. Tapi kembali lagi ke kalimat terakhir dari cuitan Mas Indra Lesmana di atas, jika mengadakan festival musik jazz tapi malah mengundang musisi yang multi-genre, atau malah lebih banyak musisi non-jazz ketimbang musisi jazz-nya, bagaimana pertanggung jawabannya? Bagaimana menjawab pertanyaan seperti, “Festival musik jazz kok nggak ada musisi jazz-nya?”
Kalau memandang sebuah festival sebagai murni bisnis, ini bisa sedikit dimaklumi. Ini wajar, karena dari segi musik, genre jazz memang nggak semenarik musik pop, atau musik rock, bahkan musik dangdut. Pihak organizer atau promotor mungkin akan berpikir bagaimana caranya mengadakan festival musik jazz yang bisa menarik pasar-pasar masyarakat awam. Harus diakui bahwa anggapan masyarakat awam terhadap musik jazz adalah musik orang-orang berada, atau musik kelas atas. Silakan dibantah, tapi ini memang yang terjadi.
Pihak promotor atau organizer festival jazz tentu nggak mau berjudi dengan hanya mendatangkan musisi jazz dalam perhelatannya. Dengan festival skala besar, mendatangkan musisi jazz saja nggak akan menarik banyak antusias masyarakat. Imbasnya, event akan cenderung lebih sepi dan pihak organizer akan rugi. Cara mengatasi risiko ini adalah mendatangkan musisi-musisi pop, rock, bahkan dangdut yang punya basis penggemar yang kuat, yang bisa mendongkrak pemasukan festival dari segi tiket salah satunya. Mungkin hanya satu atau dua festival yang berani menampilkan musisi-musisi jazz sebagai bintangnya. Selain itu, kita tahu sendiri lah.
Tapi, kalau untuk kelangsungan musik jazz secara nyata, langkah ini tentu sedikit bermasalah. Bagaimana bisa musik jazz diterima masyarakat awam dan musisinya bisa punya regenerasi yang baik, kalau musisi-musisi jazz nggak mendapatkan porsi yang lebih banyak di festival musik jazz? Agak jarang kita menemukan musisi jazz yang jadi sorotan dalam sebuah festival jazz. Mau itu sebelum konser, ketika konser, atau bahkan setelah konser. Musisi yang dapat sorotan malah musisi non-jazz yang memang jadi bintangnya di festival musik jazz tersebut.
Agak miris memang, tapi mau gimana lagi. Kalau bicara musik dan festival musik, unsur bisnis memang nggak bisa dilepaskan dan diabaikan begitu saja. Nggak banyak orang “gila” dan berani mengadakan festival jazz dengan hanya mengundang musisi jazz saja, tanpa ada musisi pop atau musisi dari genre lainnya. Kegelisahan Mas Indra Lesmana dan kegelisahan saya dan beberapa orang hanya akan jadi sambatan yang keluar dan menguap begitu saja.
Solusinya apa? Saya sendiri tidak tahu. Mungkin Mas Indra Lesmana juga cukup kesulitan dah harus berpikir keras untuk memberikan solusi. Tapi yang pasti, harus lebih banyak lagi orang “gila” dan berani mengadakan festival musik jazz yang benar-benar jazz. Kalau ada solusi lain, ya monggo dituliskan saja. Tulisan ini mungkin terlihat sok tahu, tapi mau bagaimana lagi?
BACA JUGA Merayakan Hari Raya Seni di Yogyakarta, Event Ini Jadi Momen Lebaran Para Seniman atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.