Saya bukan orang yang asing dengan suara keras. Saya tumbuh di lingkungan di mana pengeras suara adalah teman setia setiap acara. Dari kawinan, pengajian, hingga 17-an, semuanya pakai sound system yang kalau disetel maksimal, bisa bikin ayam tetangga mabok arah. Tapi belakangan ini, saya mulai gelisah dengan keberadaan sound horeg.
Sound horeg, istilah buat truk-truk modif penuh speaker monster yang berkeliling sambil memutar lagu keras-keras, menjamur di Jawa Timur, dan kini malah merambah daerah-daerah lain. Awalnya hanya sebatas hiburan, tapi sekarang terasa lebih seperti ancaman. Bukan cuma untuk telinga, tapi juga untuk nalar sehat dan hak beristirahat orang lain.
Dan ketika Ponpes Besuk Pasuruan akhirnya mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg, saya tidak kaget. Justru saya merasa, mungkin kita memang butuh ditegur dengan keras, oleh lembaga yang dipercaya masyarakat, supaya sadar bahwa tidak semua bentuk kebahagiaan harus memekakkan telinga orang lain.
Bahagia itu hak, tapi tenang juga hak
Saya tidak anti hiburan. Saya juga manusia. Kadang saya joget juga kalau dengar beat yang pas. Tapi saya percaya satu hal: bahagia yang baik itu tidak mengganggu orang lain.
Sound horeg, dalam banyak kasus, memang tidak lagi bicara soal musik. Tapi soal dominasi ruang. Tentang siapa yang paling keras, siapa yang paling getarannya bisa bikin kaca rumah tetangga retak. Tentang siapa yang bisa “eksis” paling heboh, meskipun harus bikin bayi rewel atau orang tua tidak bisa tidur.
Lucunya, semua itu dilakukan atas nama kebersamaan, gotong royong, atau perayaan. Tapi kalau perayaan itu membuat orang lain menderita, apa itu masih perayaan?
Saya tidak marah, saya mikir
Waktu saya baca fatwa Ponpes Besuk Pasuruan, saya tidak merasa itu sebagai bentuk kekangan. Saya merasa itu teguran. Bukan hanya untuk pemilik sound horeg, tapi juga untuk kita semua: sampai sejauh mana kita merasa berhak membuat orang lain terganggu, hanya karena kita senang?
Kalau bahagia harus dinyatakan dengan seribu watt dan dentuman bass sampai jantung berdetak lebih cepat dari biasanya, apakah itu masih bahagia atau cuma pelampiasan?
Saya tahu banyak yang bilang ini bentuk kreativitas anak muda. Tapi bukankah kreativitas sejatinya menemukan cara baru yang tidak menyusahkan?
Saya pernah bahagia hanya dengan mendengar lagu dari headphone sambil duduk di teras. Saya pernah merasa euforia hanya dengan melihat anak-anak kecil main bola di lapangan. Dan, saya pernah tertawa keras di warkop tanpa speaker, hanya karena cerita teman yang konyol.
Ternyata bahagia itu tidak butuh volume. Tapi butuh rasa.
Mungkin di situlah akar masalahnya: kita mulai kehilangan kemampuan untuk merasa cukup dengan hal-hal kecil. Kita kejar dentuman, karena kita pikir itu satu-satunya cara agar bahagia terasa nyata. Kita pikir, makin keras, makin ramai, makin valid.
Padahal tidak. Ketenangan juga valid. Kesejukan juga valid.
Sound horeg: bukan soal haram, tapi soal nalar
Saya tahu, istilah “haram” akan terasa berat bagi sebagian orang, terutama pencinta sound horeg (ya siapa lagi). Tapi mari kita ambil pelajaran pentingnya, bukan labelnya. Fatwa itu bukan hukuman, tapi peringatan bahwa kebebasan punya batas ketika menyentuh kenyamanan orang lain.
Kita bisa tetap main musik, bisa tetap bersenang-senang. Tapi kontrol volume. Pilih tempat. Pahami waktu. Jangan semua ruang dijadikan ruang pribadi. Karena jalanan itu milik bersama. Malam hari bukan cuma waktu untuk pesta, tapi juga waktu untuk istirahat, renung, dan tidur damai.
Saya percaya pada kebahagiaan. Tapi saya lebih percaya pada kebahagiaan yang bijak. Yang tahu diri. Yang tahu kapan harus diam, dan kapan boleh bersuara.
Sound horeg mungkin bisa membuat satu komunitas tertawa. Tapi kalau tawa itu harus dibayar dengan jeritan anak kecil yang terbangun, atau keluhan kakek-nenek yang tidak bisa tidur, maka itu bukan tawa yang pantas dirayakan. Mari kita belajar mencintai tanpa perlu teriak. Mari kita belajar bahagia tanpa harus mencabut hak tenang orang lain.
Sebab, bahagia itu bukan soal siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling sadar.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mereka yang Menemukan Cinta dan Keindahan dalam Gelegar Sound Horeg
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
