Dulu SD saya berada di Desa Trayang, sebuah desa yang mepet dengan tepian tanggul Sungai Brantas atau yang biasa disebut dengan tangkis, di ujung timur Kabupaten Nganjuk. Tanggul tersebut penuh dengan rumput hijau yang mempunyai tinggi sama rata. Belakangan, saya menyadari tinggi sama rata rumput itu karena para perumput yang sering mencari rumput di sana.
Semenjak sekolah itulah saya sering bermain di sana dan berangan-angan, seandainya dibangun sebuah jembatan, pasti kampung saya jadi ramai. Di tanggul itu, saya sering melihat para pencari rumput yang duduk berjongkok di tempat dengan sudut kemiringan 45 derajat. Mereka begitu mudahnya mencari rumput. Dengan sekali sabetan sabit, rumput langsung tumbang pindah tempat ke dalam karung plastik yang sudah tersedia di samping. Kegiatan mereka begitu mengasyikkan, entah karena sudah begitu profesional mengayunkan sabit atau karena alat yang mereka gunakan begitu tajam.
Ketika saya sekolah di Madrasah Aliyah, Ayah membeli dua ekor kambing untuk dipelihara. Agenda aktivitas keseharian kami bertambah: merumput atau ngarit. Sebulan kemudian kambing yang kami pelihara mengubah mindset saya. Mata saya jadi “hijau” jika melihat daun-daun yang rimbun. Aneh tapi nyata, setiap kali melihat rumput yang tinggi atau pepohonan yang lebat, air liur ini tak dapat tertahan, mengalir begitu saja. Padahal kan yang makan kambing saya. Hahaha.
Seiring dengan berjalannya kambing, eh waktu, saya jadi tahu ada beberapa etika dasar dalam dunia pe-ngarit-an ini. Etika dasarnya kita dilarang merumput di tanah tetangga tanpa seizinnya. Ini sangat jelas sekali dan diketahui oleh perumput pemula sekalipun. Selanjutnya, saya jadi tahu cara bagaimana agar rumput tersebut tetap bisa habis dimakan kambing.
Pertama, kita tidak boleh merumput terlalu pagi atau suasana masih mengembun. Air embun yang menempel di rumput yang kita babat tidak akan dimakan oleh kambing. Kambing tidak suka itu. Maka jangan heran kalau tidak ada perumput yang berangkat terlalu pagi. Kebanyakan akan mencari rumput setelah pekerjaan utama mereka selesai di sore hari, atau menanti kabut embun menghilang terlebih dahulu. Ini sekaligus menjadi larangan rumput hasil kerja keras terkena air huja. Bila terkena air hujan, sia-sia sudah.
Kedua, jangan pernah menginjak rumput yang telah dikumpulkan. Biasanya, para perumput yang lupa membawa karung akan mengumpulkan rumput hasil usahanya di tempat tertentu. Bila ada seseorang yang menginjak rumput tersebut, pasti dia akan dimarahi habis-habisan. Entah bagaimana seekor kambing tahu kalau rumput atau dedaunan itu pernah diinjak kaki atau digilas oleh roda. Kambing ternyata juga perlu dimuliakan.
Nah, ketika melihat kembali tanggul Sungai Brantas, ada kesan baru yang muncul selain yang saya kemukakan di atas. Beberapa waktu kemudian saya tahu ada etika tersendiri yang harus dipegang oleh para pencari rumput di tepian tanggul itu. Etika itu layaknya dogma yang harus dipegang dan tidak boleh digugat sama sekali.
Pertama, dilarang melintasi “bendera”. Bila tanggul dilihat dari dekat, akan tampak bendera-bendera mini berupa ranting pendek yang ujungnya ditaruh plastik robekan plastik kresek, atau robekan plastik selang pengairan, ada pula yang ujungnya botol plastik bekas air mineral.
Saran saya, jangan menganggap remeh benda keramat ini. Bendera itu adalah tanda bahwa tanah berumput tersebut sudah “dimiliki” oleh orang-orang tertentu. Hanya “pemiliknya” lah yang berhak untuk mencari rumput di kawasan tersebut. Yah, meskipun ini seperti wanprestasi, apa sih yang bisa dilakukan perumput lain selain menghormati?
Kedua, dilarang nyusruk. Saya bingung mencari padanan dari kata ini, tapi ini semacam merumput dengan mendorong ujung sabit yang tajam. Hasilnya rumput akan terpotong sangat pendek dan ini sungguh membahayakan bagi kelangsungan tanggul. Kalau misalnya rumput habis, tanggul akan mudah longsor dan ini bisa membahayakan penduduk sekitar. Seperti kata netizen, ilang weduse kelangan sapine (Maksud hati mengurus kambing yang hilang namun malah kehilangan sapi). Apes.
Melihat “dogma” itu saya putar balik dari tepian tanggul Sungai Brantas. Bagaimana lagi, saya lupa bawa ranting dan kresek bekas.