Ayam Geprek yang Otentik Bisa Dilacak Lewat Sejarah dan Bahasa

Bu Rum, Ayam geprek yang kembali jadi perdebatan.

Ayam geprek yang kembali jadi perdebatan.

Ayam geprek. Kuliner satu ini memang tidak ada matinya. Saya rasa, kamu bisa menemukannya di hampir seluruh kota di Indonesia. Berbagai macam inovasi pun muncul mendampingi. Ada yang diberi keju sebagai topping tambahan, ada yang menggunakan berbagai macam sambal, bahkan sampai menjadi salah satu varian mi instan paling populer di Indonesia. Tak heran, menu ini bisa dikatakan sebagai comfort food, makanan yang paling aman ketika kita bingung pengin makan apa.

Tapi, sebagaimana nasib beberapa makanan di Indonesia, kuliner satu ini juga tidak lepas dari perdebatan. Perdebatan mana yang otentik mana yang bukan sudah cukup lama terjadi. Ini dikarenakan ada banyak ayam geprek yang disajikan dengan tidak benar-benar digeprek, melainkan hanya dioles sambal atau dipenyet ala kadarnya. Perdebatan ini tak kunjung selesai hingga sekarang.

Baru-baru ini, unggahan Twitter Gilang Bhaskara mengenai Ayam Geprek Bu Rum di Jogja memantik perdebatan lagi. Banyak orang (yang sepertinya dari luar Jogja, atau sebut saja orang ibu kota dan sekitarnya) terkesan kaget dengan cara mengolah dan menyajikan ayam krispi yang ada di Bu Rum. 

Mereka mempertanyakan cara pembuatan dan penyajiannya yang berbeda dari yang mereka kenal. Asal tahu saja, ayam krispi di Bu Rum itu benar-benar digeprek sampai hancur bersama sambalnya. Anehnya, mereka tidak terima akan hal itu. Perlu kamu ketahui, Bu Rum itu pelopor menu ayam geprek, lho.

Tidak ada yang salah dari unggahan Gilang Bhaskara di Twitter. Hanya, warganet ibu kota dan sekitarnya (yang kadang sok tahu itu) merasa bahwa apa yang dilakukan Bu Rum itu bukan yang otentik. “Kok sampai hancur begitu, sih?” Aneh bener. 

Anggapan ini disanggah oleh para puritan yang mengatakan bahwa beginilah cara membuat dan menyajikan paling otentik, yaitu dicampur dengan sambal dan digeprek sampai hancur. Saya rasa, “perpecahan” ini akan bertahan cukup lama karena ego manusia dan kemalasan untuk mencari tahu.

Sebenarnya, mudah sekali bagi kita memahami esensi dari kuliner ini. Kita bisa memahami dan membedakan mana yang otentik mana yang bukan dari dua aspek, yaitu sejarah dan bahasa.

Ayam geprek dari aspek sejarah

Kita sudah sepakat bahwa menu paling otentilk pertama kali muncul dari warung Bu Rum sekitar 2003. Awalnya, Bu Rum menjual makanan seperti soto, sayur, lotek, dan ayam goreng tepung. 

Menurut kisah yang sudah banyak dicatat dan diberitakan banyak media, ayam geprek muncul karena ada salah satu pelanggan Bu Rum yang request ayam goreng tepungnya dicampur dengan sambal dan diuleg sampai hancur (digeprek). Sejak saat itu, perlahan, menu ini muncul sebagai menu tersendiri dan eksis hingga sekarang.

Dari aspek sejarah ini, kita sebenarnya bisa mengetahui apa sebenarnya esensi kuliner yang sudah dianggap “khasnya Jogja”. Iya, ayam goreng tepung yang digeprek sampai hancur bersama sambal, seperti yang ada di Bu Rum itu yang paling otentik. 

Lalu, apakah ayam goreng yang tidak diuleg atau digeprek sampai hancur tidak bisa dibilang ayam geprek? Ya jelas tidak bisa. Dan jangan sensi pula kalau ada yang protes bahwa ayam geprek itu harus hancur, sebab sejarah awalnya memang begitu. Kamu mau membelokkan sejarah?

Ayam geprek dari aspek bahasa

Kalau mencari di Google arti kata geprek, kalian akan menemukan bahwa “geprek” artinya adalah ‘dipukul’, ‘ditekan’, atau ‘dilumatkan sampai hancur’. Dari sini saja sudah jelas, bahwa dari aspek bahasa itu artinya ayam goreng tepung yang dipukul, ditekan, atau dilumatkan sampai hancur. 

Nah, sejalan dengan aspek sejarahnya, maka yang otentik dan orisinal ya seperti apa yang ada di Bu Rum dan sejenisnya itu. Digeprek sampai hancur!

Bedakan juga mana “geprek”, mana “uleg”, mana “penyet” mana “oles”. Kalau ayam yang hanya diuleg sampai tidak hancur, namanya ya ayam uleg atau ayam penyet. Kalau ayam yang hanya dioles sambal di atasnya tanpa diuleg atau ditekan sampai hancur, namanya ya ayam oles atau ayam sambal saja. Paham, kan?

Dua aspek ini sebenarnya bisa dijadikan dasar kita memahami esensi kuliner ini. Dari bahasa (nama) dan sejarahnya, kita juga bisa tahu mana yang orisinal, mana yang variasinya. 

Juga jangan berantem atau berselisih hanya karena perbedaan pemahaman. Kita sudah cukup terpecah dengan bubur diaduk dan tidak diaduk. Jangan sampai ayam geprek sampai seperti itu. Terima saja bahwa ayam geprek adalah ayam goreng tepung yang digeprek sampai hancur bersama sambalnya. Bukan yang lain.

Penulis: Iqbal AR

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Di Balik Ayam Geprek Bu Rum, Ada Kasih dan Kisah Ibu yang Mandiri.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version