Tangerang dan Malang sulit untuk dibandingkan. Makanya, saya kalau bisa memilih, bakal memilih tinggal di Malang dengan gaji Tangerang
Jauh di tepian selatan
Bagaikan tanah tak bertuan
Terasing dan tak tentu arah
Mungkin kau kan kesini kapan-kapan
Lirik dari lagu “Pulang ke Pamulang” karya Endah N Rhesa adalah playlist yang sering saya putar sambil menikmati senja di teras rumah. Memang rumah saya di Cisauk bukan Pamulang, tetapi kata-kata dalam suara Endah seolah menggambarkan perasaan saya mengenai Tangerang.
Sebagai Aremanita yang tinggal di Tangerang tentu saja saya rindu dengan setiap sudut kota Malang yang ngangeni itu. Pohon-pohon raksasa dan bangunan kolonial di setiap sudut jalan utama Kota Malang. Jika hujan mengguyur, tampilan kota akan menjadi gloomy dan sekejap bau tanah menguar di udara yang lembab. Pun jika berpergian kemana saja paling lama 30 menit, definisi macet bagi warga lokal tapi tidak bagi saya yang sudah sering berjibaku dengan kemacetan ibu kota.
Padahal saya tinggal di Tangerang dengan blue print developer untuk puluhan tahun ke depan. Tetapi belum mengalahkan Thomas Karsten dalam menata kota Malang. Karsten memanfaatkan geografis kota yang diapit Gunung Kawi di sebelah barat, Gunung Semeru di sebelah timur, Gunung Arjuna di sebelah barat daya dan lembah Brantas yang membelah Kota Malang menjadi kekuatan tata kota. Perencanaan delapan tahap tata kota pada rentang waktu tahun 1914-1929 dikenal dengan istilah Bouwplan I sampai VIII. Kejeniusan Karsten menata kota Malang di zaman kolonial diakui sebagai yang terbaik di masa itu.
Daftar Isi
Healing cukup dengan buka jendela
Saya rasa para meneer dan mevrouw yang tinggal di Malang seabad lalu tidak perlu jauh-jauh healing. Cukup buka jendela besar-besar bergaya Nieuwe Bouwen maka terbentanglah pemandangan gunung dari segala penjuru. Apa itu mental health, jika langit selalu biru tanpa polusi, udara sejuk, dan air pegunungan mengalir melimpah di setiap rumah para tuan dan noni londo.
Jika Malang dirancang sebagai lokasi yang ideal untuk bermukim sejak jaman Belanda. Kebalikannya, Tangerang dikenal sebagai tempat pembuangan dan tidak dirancang menjadi kota tempat tinggal. “Setiap kali bandel, orang tua saya langsung mengancam, mau dibuang ke Tangerang.”, kenang Mochammad Thamrin Wali Kota Tangerang periode 1998-2003 yang dimuat di Kompas.
Apakah ini isapan jempol belaka? Untuk menjawab hal ini, baca paragraf selanjutnya.
Tangerang, tempat “buang anak”
Lapas kelas IIA di Kelurahan Tanah Tinggi adalah bangunan cagar budaya yang didirikan Belanda sejak 1928. Bangunan ini awalnya tidak digunakan sebagai penjara, tetapi untuk mengasingkan anak Indo Belanda yang nakal. Identitas Tangerang sebagai kota buangan semakin dipertegas ketika pemerintah memutuskan untuk membangun enam penjara di tahun 1970an.
Tangerang kemudian menjadi kota penunjang bersama dengan Bekasi, ketika industri diarahkan untuk pindah ke luar wilayah Jakarta. Banyaknya pabrik di wilayah Tangerang Raya membutuhkan pekerja kerah biru dan putih, ini menyebabkan peningkatan demand perumahan dan fasilitas pendukung. Hutan dan lahan yang tadinya dikuasai oleh tuan tanah, berganti kepemilikan entah dibeli negara atau pengembang. Sejalan dengan meningkatnya ekonomi dan populasi, wilayah Tangerang dimekarkan menjadi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Latar belakang sejarah tata kota Malang dan Tangerang yang berbeda merupakan faktor utama dan mempengaruhi arah perkembangan kedua wilayah ini. Namun sejatinya Malang dan Tangerang memiliki kesamaan, yaitu gagap dalam menanggapi modernitas dan laju pertumbuhan penduduk. Kemacetan adalah hal tampak mata yang menunjukkan ketidaksiapan kedua daerah tersebut dalam menghadapi pesatnya pertumbuhan penduduk.
Baca halaman selanjutnya: Enak tinggal di Malang, tapi gajinya Tangerang.
Malang makin penuh, makin gaduh
Puluhan ribu mahasiswa baru bermigrasi ke Kota Malang setiap tahun. Jalanan di sekitar kampus-kampus besar seperti UB, UM, dan UMM sudah pasti macet di jam berangkat, pulang kantor, dan saat wisuda kebetulan serentak di beberapa kampus. Kemacetan tidak pernah compatible dengan jalanan kota Malang. Apalagi ruas jalan sekitar kampus yang hanya dua jalur sempit seperti di jalan Sumbersari, Merjosari, Dinoyo hingga Landungsari.
Prodi baru semakin banyak, mahasiswa yang diterima juga makin bertambah, tapi jalanan di wilayah kampus ya segitu-gitu aja nggak bisa nambah lagi. Kebijakan one way pun tidak banyak merambah di wilayah kampus ini. Kalau nggak misuh-misuh melewati kemacetan area kampus di Malang saat hujan deras dan jalanan tergenang, itu udah bagus banget.
Lain lagi dengan kemacetan di Tangerang yang menurut saya sesungguhnya adalah ujian naik level menjadi sufi. Jalan Raya Raden Saleh adalah simpul macet terparah yang bijaknya tidak perlu dilalui. Kanan-kirinya dipenuhi gang perumahan dan banyak kendaraan belok dan putar balik. Sehingga membuat ruas jalan di wilayah Karang Tengah ini sangat padat, merayap, dan menyiksa.
Jalan Raya Raden Saleh Karang Tengah baru satu titik kemacetan yang tidak masuk akal. Titik kemacetan yang sangat parah di Tangerang juga ada di Islamic Village, Ciputat, Cisauk, dan Rawa Bokor. Mengalami hiruk pikuk di area-area ini layaknya ujian kesabaran. Jika setelah melaluinya masih ada masalah kehidupan menanti, mungkin rasanya akan lebih ringan.
Tinggal di Malang, tapi gaji Tangerang
Sesungguhnya pemerintah daerah Malang dan Tangerang sudah melakukan beberapa hal untuk menanggapi ledakan populasi di wilayahnya. Malang menetapkan 39 titik ruas jalan menjadi one way sebagai alternatif cara untuk memecah kemacetan. Sedangkan pemerintah Tangerang menambah dan memperbaiki infrastruktur jalan untuk mengakomodir jumlah kendaraan melintas yang semakin meningkat.
Upaya pemerintah Tangerang dan Malang untuk mengendalikan kepadatan lalu lintas mungkin berhasil di hari biasa. Tetapi sepertinya upaya ini masih belum cocok untuk momen ketika kepadatan jalan meningkat seperti hari libur panjang di Malang atau banjir di Tangerang. Di hari-hari istimewa tersebut saya akan memilih opsi menjaga mental health dengan rebahan dan di rumah saja.
Tangerang memang bukan Malang, tetapi sekarang saya menyebutnya tempat untuk pulang. Saya suka momen relaxing menyetir melalui jalanan rindang tanpa kabel semrawut dan berpelindung pepohonan besar yang ditanam developer. Walau semenit kemudian, suasana healing berubah karena kendaraan saya melalui jalanan somplak bak dihujani meteor.
Jadi enak mana tinggal di Malang atau Tangerang? Kalau bisa memilih, saya ingin tinggal di Malang dengan gaji Tangerang.
Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cisauk vs BSD, Kecamatan dengan Dua Wajah yang Kesenjangannya Bikin Serasa Pindah Alam