Dunia begitu Indah Sebelum Ada Tombol Like

like

like

Like atas status orang di fesbuk alangkah kerennya kalau tidak secara khusus dimaksudkan sebagai bentuk suka dan setuju. Tapi bagi sebagian orang, “like” memang sudah seperti garis demarkasi keberpihakan yang memisahkan antara kejahatan dan kebaikan. Kok bisa “like” jadi serasa halal dan haram begitu?

Bisa jadi karena memang “obyektifitas” di era paska kebenaran memang tidak terlalu diperlukan lagi. Pikiran orang lebih didorong oleh emosi belaka. Orang tidak bisa lagi berpikir jernih bahwa bubur mau diaduk atau tidak, tetap bernama bubur.

Padahal, “like” terjemahannya bisa macam-macam. Bisa karena asal pencet karena kawan seiring, bisa karena memang setuju, bisa juga tidak setuju tapi suka dengan caranya dalam membangun opini. Dunia ini terlalu indah kalo kita persempit dengan “like” harus berarti setuju dan sejalan. Serius, perbedaan itu indah selama kita bisa mengesampingkan.

Terhadap orang yang mendukung khilafah, “like” dari kita bisa jadi berarti lain. Ini orang kok nggak kapok-kapok mengatakan “hanya khilafah solusinya”. Nalarnya bagaimana?

Bagi orang dengan pikiran sederhana, situasi rumit itu solusinya terkadang sangat sederhana. Makan kenyang, tidur nyenyak, dan selalu berharap hari esok akan lebih asoy. Bagi yang pikirannya sedikit rumit, solusi itu banyak sepanjang disepakati sebagai usaha untuk mendapatkan kebaikan. Dari mulai berpendapat di media sosial, jadi politisi, hingga demonstrasi. Sah semuanya!

Terhadap orang yang menggebu-gebu mendukung kiblat politiknya, “like” bisa karena membangun opini berdasarkan data.

Ya, walau pun datanya sangat memilih, dan cenderung mengabaikan hal kurang baik. Setidaknya mereka tidak membangun narasi palsu. Tepat di titik ini muncul berkelindan istilah buzzer dan SJW. Mana lebih baik? Sejatinya tidak baik semua karena kata tersebut terlanjur dimaknai secara peyoratif.

Buzzer diidentikkan dengan dibayar dan membabi buta membela rezim. SJW disebut sebagai asal anti rezim dan menyebar fitnah atas serangkaian kebijakan pemerintah. Faktanya, keduanya ada dan pembuktiannya tidak mudah.

Hal yang menyedihkan dari medsos sebenarnya soal jenis mencari jenis. Hanya gara-gara kita like orang yang mengapload ceramah Abdul Somad kita dianggap sealiran. Hanya karena kita like opini teman yang berseberangan dengan teman di daftar pertemanan, kita diartikan sebagai lawan politik.

Lawan? Lha lawan kita semua pengguna medsos ini sama, literasi yang rendah!

Lawan politik itu jelas, misal Masinton vs Fadli Zon. Kalo kita ini ya cuma rongsokan demokrasi. Rongsokan yang kalau berserikat langsung diteriaki “rongsokan lainnya” sebagai usaha untuk menjungkalkan pemerintah.

Benar budaya membaca kita tinggi. Dari mulai bungkusan tempe hingga tempo dibaca. Tapi tingkat literasi kita bermasalah. Tanpa membaca, berinteraksi, dan berproses mudah saja terpengaruh influencer yang kita rujuk sebagai sumber kebenaran.

Pernah kita dibodohi Ratna Sarumpaet. Pernah kita dibodohi ambulan isi batu dan bensin untuk menyokong demo. Ini apa-apan? Rakyat nyebar hoax, aparat ikut nyebar hoax juga.

Adakah penjelasan lebih tepat selain literasi kita rendah?

Hidup bermedsos situasinya jadi begini genting. Apa kita harus ngelike yang bikin ndomie saja? Itu pun bermasalah, karena seorang teman pernah menasehati dengan mengatakan, “ndomie selain bisa menyebabkan bodoh, juga otak lu bisa kopong”

K̶o̶p̶o̶n̶g̶ ̶n̶d̶a̶s̶m̶u̶!̶ ̶

Entah apa jadinya nasib kita di mata teman-teman, sudah like status Fadli Zon, eh di situ dia sedang bertemu Abdul Somad dan Felix Siaw sambil makan ndomie. Apa kita akan diartikan sebagai sekumpulan orang bodoh yang sedang ingin makar? Makan sih iya ?

Mengerikan betul hidup kita. (*)

BACA JUGA Anggota DPR Periode Ini Sungguh Asoy, Banyak Nama Kontroversialnya! atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya. Follow Facebook Haryo Setyo Wibowo.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version