Berangkat dari kesukaan akan film aksi dari beberapa aktor macam Barry Prima, George Rudy, Jackie Chan, dan Jet-Li, saya tertarik belajar bela diri. Namun, karena hidup di pedesaan, niat saya terhalang oleh sedikitnya orang yang menguasai ilmu bela diri.
Sebenarnya, di beberapa daerah (terutama pedesaan) di Jawa, justru banyak yang jadi pusat perguruan silat. Namun, tetap saja berbeda dengan daerah pedesaan saya di pelosok Sulawesi.
Demi cita-cita ini, saya mencoba mengutarakan keinginan belajar bela diri ke om sendiri. Namun, nyatanya, tidak semudah angan-angan. Kedekatan kerabat tidak menjamin diterima dengan mudah untuk jadi murid. Dan lagi, menurut orang-orang, om saya ini bukan ahli dalam bela diri, lebih kepada ilmu pernapasan.
Entahlah, seperti apa itu bentuknya. Yang pasti, setelah itu saya tidak pernah lagi punya keinginan berguru kepada om saya sendiri. Walau keinginan saya untuk bisa salto dan menggunakan jurus ala ala tokoh dunia persilatan di film-film laga makin tidak bisa saya bendung.
Setelah drama dengan om saya, saya bersama beberapa teman yang juga ingin jago beladiri mulai melakukan konsolidasi, “Bagaimana kalau kita otodidak saja? Bukankah di film-film juga begitu? Banyak jagoan yang berangkat dari belajar kitab-kitab ilmu bela diri secara mandiri lantas jadi jagoan pamungkas?”
Narasi film yang kami telan bulat-bulat, menambah semangat. Hanya perlu menemukan kitab ilmu silat macam di film-film itu, pikir kami.
Berbekal uang yang kumpulkan secara mandiri dan sukarela, kami memperoleh kitab ilmu silat (lebih tepatnya kumpulan jurus kungfu). Mulailah kami belajar dasar-dasar teknik kuda-kuda, pukulan, dan tendangan.
Beberapa film laga dengan pameran bintang-bintang terkenal juga tidak lupa jadi santapan kami hampir setiap hari. Film aksi Jackie Chan, Jet-Li, Tony Jaa, Scott Adkins, dan sebangsanya tidak luput dari daftar film yang kami tonton. Tapi semua itu tidak menjamin ilmu kanuragan kami bertambah. Mentok sampai bisa salto dan teknik tendangan salto ala pesepak takraw. Akhirnya teman-teman saya menyerah.
Kesempatan emas saya dapatkan ketika hijrah ke Surabaya. Saat awal kuliah, saya kembali tertarik belajar bela diri lagi. Kebetulan di kampus, ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebagai wadah kreativitas dan bakat mahasiswa. Awalnya saya ikut capoeira, namun hanya beberapa kali pertemuan saja, UKM Capoeira ini lantas tutup. Penyebab jelasnya saya kurang tahu.
Tidak mau patah arang, saya daftar di UKM taekwondo. Awalnya coba-coba, karena jujur saya lebih tertarik Wing Chun, yang saat itu mulai populer berkat film Ip Man. Atau kalau tidak, ya muay thai yang dipopulerkan Tony Jaa lewat salah satu filmnya, Ong Bak.
Setelah jalan beberapa bulan, saya semakin tertarik mendalami taekwondo. Karena ternyata, mirip-mirip sama muay thai yang lebih banyak menggunakan teknik tendangan itu. Semakin semangat lagi karena, salah seorang gebetan kebetulan ikut taekwondo juga. Awalnya saya berpikir, “Kalau nggak dapet ilmu bela dirinya, minimal si gebetan bisa jadi pacar saya.” Walau pada akhirnya, saya lebih memilih fokus taekwondo.
Awal saya mendalami bela diri sekaligus awal mula segara huru-hara. Selama masih tingkatan geup (sabuk putih sampai merah, atau sebelum sabuk hitam) saya beberapa kali juga mengalami kondisi “merasa paling jago”.
Kalau dalam tingkatan pencari ilmu, masih pada tahap sombong dan merasa paling tahu. Dan karena kesombongan sudah mulai menguasai, semua orang saya anggap sebagai lawan sparring. Bahkan sekelas dosen yang masuk kategori “killer” juga saya incar jika berani macam-macam sama nilai saya.
Saya sempat tanya beberapa senior dan pelatih, kenapa saya sepertinya bar-bar. Dan jawaban mereka malah bikin penasaran. “Nanti kalau udah sabuk hitam, kamu bakal tahu.”
Sebagai seorang yang masih belajar, saya tidak tanggung-tanggung. Beberapa tempat latihan menjadi markas saya menimba ilmu. Kalau dihitung-hitung, selama menjadi junior taekwondo, saya sudah berlatih kepada sekira lima orang guru. Walau pada akhirnya tetap satu guru yang saya anggap paling berkontribsi. Namun, jasa guru yang lain juga tetap tidak bisa saya lupakan begitu saja.
Saat saya menyandang sabuk hitam DAN II sekira 2016 dan menjadi pelatih di kampus, terjadi “gesekan kecil” saat Pekan Olahraga Mahasiswa. Kejadian ini tidak ada hubungannya dengan saya, juga fakultas. Apalagi saat itu, saya juga sudah lulus.
Namun, murid-murid saya di dojang (tempat latihan) memohon saya masuk ke “arena” bentrokan itu hanya karena saya sudah sabuk hitam. Lah, mereka yang bentrok dan tawuran itu pada bawa balok kayu, batu, dan senjata tajam lainnya. Dipikirnya karena saya sudah sabuk hitam lantas kebal senjata tajam gitu?
Lagian, saya tidak ada hubungannya sama tawuran itu, kenapa harus sok jagoan? Biar dikira setara Donnie Yen di film Ip Man yang lawan 10 orang sabuk hitam karate itu? Yang ada, saya mati konyol. Pasalnya ini tawuran, bukan pertarungan fair satu lawan satu. Lagian nih ya, menyandang sabuk hitam itu bisa dikatakan bisa berkelahi. Tapi ya nggak berarti suka berkelahi. Tolong bedakan.
Suatu ketika di sebuah kejuaraan silat, saya mengajak teman untuk menonton. Ndilalah, teman yang ikut ini ternyata tidak tahu apa-apa soal bela diri. Sesaat sampai di tempat, saya ditanyai begini, “Kamu kok nggak ikutan?”
Saat itu, rasanya saya ingin menendang muka teman saya itu pakai tendangan tanpa bayangan. Jadi, teman saya ini mikirnya, bisa bela diri itu berarti semua bentuk kejuaraan bisa saya ikuti. Kenyataanya, bahkan di kejuaraan khusus taekwondo saja, masih dikategorikan berdasarkan umur dan berat badan.
Pernah juga pada suatu waktu, saat saya sedang memimpin latihan, di luar tempat latihan ada huru-hara. Seorang mahasiswa mengalami kesurupan. Orang-orang berkumpul. Beberapa orang mencari dukun atau orang pintar agar si mahasiswi ini bisa segera disembuhkan.
Lalu salah seorang dari penonton adegan kesurupan itu menghampiri saya. “Bro, ada cewek lagi kesurupan di luar. Bisa bantuin gak?” Seketika semua murid saya tertawa terbahak. Saya ingin menjelaskan kepada orang yang mendatangi saya meminta bantuan tersebut, tapi saya juga sudah kadung ikutan ketawa.
Dan masih banyak sekali pengalaman yang saya pikir, agak sulit untuk dinalar tapi nyata terjadi. Sayangnya, mungkin cukup ini saja dulu yang bisa saya bagikan. Dan lagi, pengalaman saya di atas bisa saja berbeda dengan teman-teman lain yang menggeluti bela diri berbeda.
BACA JUGA 5 Alasan Mengapa Kita Perlu Berdamai dengan Mantan atau tulisan Taufik lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
—