DPR ‘Pemburu Sunrise’: Wakil Rakyat yang Nir-Empati dan Kita yang Pelupa

DPR 'Pemburu Sunrise': Wakil Rakyat yang Nir-Empati dan Kita yang Pelupa terminal mojok.co

DPR 'Pemburu Sunrise': Wakil Rakyat yang Nir-Empati dan Kita yang Pelupa terminal mojok.co

Grup WhatsApp Karang Taruna kembali geger siang ini. Grup yang dijadikan sebagai jejaring informasi bagi warga selama masa pandemi ini, semalaman riuh gegara anak Pak Kamitua kembali positif corona sepulang berplesir ke Bali. Semalaman Cak Narto ngedem-ngedemi para pemuda desa yang geram setelah warung Yu Marmi, tempat mereka biasa menghabiskan waktu, ditutup lagi karena dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran virus sialan itu.

Klunthing… Kanapi meneruskan sebuah gambar kepceran dari postingan Instagram salah seorang anggota DPR RI dengan kepsyen, “MBOKNE ANCUK”. Ya, persis seperti itu. Capslock semua.

Kekesalan Kanapi jelas beralasan. Pasalnya, gambar anggota DPR RI (yang terhormat) bersama koleganya itu tampak berkumpul santai di Bali dengan latar sebuah gunung berawan, tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker, dan ditempeli kepsyen “Pemburu Sunrise”. Kanapi, yang ekonomi keluarganya babak belur akibat menuruti imbauan #diRumahSaja itu, terang saja muntab.

“Kenapa lagi, Pi?” balasan Pardi dengan diiringi emotikon manusia kuning nyengir. Mereka berdua memang kerap saling menggoda.

“Gaes… minta tolong ya jempolnya diatur. Di grup ini ada Pak Babinsa sama Pak Babinkamtibmas, lho…UU ITE, Gaes…” saya menimpali. Tentu saja maksud saya menyindir.

*Pak Sunoto Babinsa is typing.…*

Wah… saya ketar-ketir, jangan-jangan dua nama yang saya mention barusan tersinggung dan menguliahi seisi grup, seperti ketika tempo hari Pardi bilang corona ini konspirasi elite global. Buru-buru saya mau menghapus komentar saya itu. Namun, balasan Pak Sunoto hanya sebuah stiker gambar Kim Jong Un meneropong dengan keterangan, “Izin memantau, Ndan”. Lega hati saya.

Amit sewu, Pak Babin…” kalau Kanapi sudah mengawali dengan uluk salam seperti itu biasanya akan panjang kalimatnya. 

“Postingan dari seorang anggota dewan seperti inilah yang membuat Pardi sempat percaya bahwa covid ini konspirasi global, Pak. Kita ini dari awal corona disuruh di rumah, ya nurut. Wong keluar paling juga ke sawah atau ke pasar, keluar kota paling banter kalau ziarah wali atau iring-iring manten. Anak-anak disuruh sekolah dari rumah dan kami pontang-panting jadi guru dadakan, ya kami jalani. Disuruh lockdown desa secara mandiri juga sudah kita laksanakan. Lha ini di tengah gelombang covid yang menggila lagi kok ya ada anggota DPR yang posting foto nir-empati seperti itu.” Saya bisa membayangkan kekesalan kawan saya ini.

“Kan mereka sudah divaksin, Pi… Ya, kan, Pak Babin?” balas Pardi singkat sambil me-mention sosok kepanjangan tangan pemerintah itu.

“Betul, Bapak-bapak! Anggota DPR dan para pejabat sudah divaksin sejak awal tahun ini. Jadi mungkin semua orang yang di foto itu sudah secure.” Pak Sunoto membalas dengan sangat diplomatis.

“Justru itu, Pak. Karena mereka ini sudah mendapatkan privilese vaksinasi lebih awal ketimbang kami-kami, rakyatnya yang diwakili ini, membuat postingan itu semakin nir-empati, Pak. Arogan, kalau boleh saya bilang. Beliau itu apa nggak mikirin perasaan kami yang di desa berjibaku untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti ini? Bagaimana perasaan ibu-ibu yang tidak kunjung bertemu dengan anaknya yang bertahun merantau karena penyekatan-penyekatan di kota besar itu. Nanti kalau ada gelombang baru penyebaran covid bolak-balik rakyat terus yang disalahkan. Tidak menerapkan prokes, katanya.” Kanapi memberondong grup dengan kalimat-kalimat panjang.

Klunthing… Pak Priyono, yang seorang Babinkamtibmas itu, mengirimkan sebuah tautan berita dari portal media online dengan judul, “Sandiaga: Work From Bali Bukan Pemicu Peningkatan Kasus Covid-19.” Grup hening beberapa saat. Tampaknya semua anggota grup sedang membaca berita itu.

Sejurus kemudian *Pak Pri Polsek is typing

“Bapak-bapak dan Mas-mas sekalian yang budiman, Pemerintah melalui Pak Sandiaga Uno, Menparekraf, telah mencanangkan program Work from Bali (WFB) sebagai program untuk menstimulus ekonomi pariwisata saudara-saudara kita di Bali, di tengah Pandemi Covid-19. Di tautan yang saya kirim di atas, bapak-bapak semua bisa lihat bahwa pemerintah kita sangat peduli dengan kondisi perekonomian masyarakat. Kebijakan WFB itu telah melalui serangkaian kajian mendalam. Jadi kehadiran anggota DPR kita di Bali bersama koleganya tersebut merupakan bentuk endorsement dari legislatif untuk bahu-membahu menyukseskan program dari pemerintah juga.”

Pak Pri mengakhiri penjelasannya dengan sebuah emotikon tangkupan dua tangan khas para birokrat yang penuh kesantuan. Kemudian Pak Pri menambahkan, “Btw, Mas Kanapi apa sudah mendapatkan izin ybs untuk menyebar tangkapan layar di atas? Hati-hati pencemaran nama baik ya, Mas.” *emotikon senyum*

Modyarrr kamu, Pi! Batin saya. Beberapa detik kemudian postingan Kanapi tadi telah dihapus. 

“Maaf, Pak. Matur suwun sudah diingatkan,” balas Kanapi kemudian.

Grup hening lagi. 

Tapi dasar Cak Narto, iya tak tahan untuk menggoda dua orang penegak hukum itu dengan pertanyaan retoris.

“Ooo… jadi kalau sudah divaksin boleh kumpul-kumpul ya, Pak? Boleh liburan? Boleh lepas masker di kerumunan?” pertanyaan Cak Narto menohok. Saya senyum-senyum sambil khawatir mengikuti rasan-rasan di grup ini.

“Yo ndak gitu, Cak. Mereka itu kan bukan orang sembarangan. Tujuannya juga mulia, untuk memberikan pesan kepada masyarakat bahwa unsur-unsur pemerintahan saling mendorong program pemulihan ekonomi, pariwisata khususnya. Ada motif politis di balik postingan foto itu. Lagian, Cak, mereka pasti melepas masker hanya untuk kebutuhan berfoto. Beberapa detik saja itu, Cak,” balas Pak Noto Babinsa.

“…jadi kalau untuk kebutuhan foto si virus bisa minggir sejenak ya, Pak? Baru tahu saya, Pak. Kalau sudah divaksin lantas mereka tidak punya potensi nulari orang lain yang belum vaksin gitu, Pak?”

*Pak Sunoto Babinsa & Pak Pri Polsek is typing…

Namun, beberapa saat kemudian keterangan itu hilang. Beliau berdua pasti sedang mencari referensi yang bagus untuk menjawab pertanyaan Cak Narto. 

Belum sempat balasan dari kedua orang itu muncul di grup, Cak Narto sudah meluncurkan kalimatnya.

“Gini lho, Pak. Saya ngerti betul apa yang dirasakan Kanapi dan temen-temen di grup ini, juga perasaan warga desa kita pada umumnya. Kami, rakyat, di desa, di pinggiran-pinggiran kota, bahkan di tengah-tengah kota, tidak benar-benar merasakan kehadiran pemerintah selama pandemi ini. Justru kami disuguhi drama-drama absurd tak berkesudahan. Mulai maju-mundur lockdown, yang akhirnya kami harus melakukannya secara mandiri. Kemudian ketika terjadi, itu sudah terlambat dan virus sudah menyebar sampai ke pelosok negeri.”

*Cak Narto is typing*

“Belum lagi tentang geger inakurasi data pasien2 covid, yang katanya dimanipulasi itu, Pak. Belum lagi berita tentang BUMN bidang kesehatan yang menggunakan alat rapid test bekas. Tentu ini ulah oknum ya, Pak. Hehehe.”

“Belum lagi gonjang-gajing korupsi bansos covid. Belum lagi rerasan tentang gelontoran dana APBN untuk mendanai selebriti dan mengendorse wisata di Bali, yang kemudian dianulir ketika masyarakat ramai-ramai pesan hotel dan tiket pesawat ke sana. Belum lagi, oknum pejabat yang tetap menyelenggarakan acara yang menimbulkan kerumunan dan tidak ada tindak lanjutnya… dan masih banyak lagi, Pak!”

“Tapi nggak apa-apa, Pak. Saya tahu bahwa Pak Noto dan Pak Pri sak dermo menjalankan amanah dari komandan. Untuk menjaga supaya tidak ada kegaduhan di masyarakat. Dan panjenengan tidak perlu khawatir. Kami ini, rakyat Indonesia, semacam diberkati oleh yang maha kuasa dengan kemampuan cepat marah tetapi nanti juga cepat lupa. Jadi ndak perlu panjenengan laporan ke Pak Kapolsek atau Danramil, njih, Pak.”

Arek-arek di sini cuma semacam putus asa dan harus menyalurkan energi kemarahan ini. Nggak ada tendensi mencemarkan nama baik seseorang apalagi pejabat. Nanti, setelah ada klarifikasi dari Pak DPR RI tersebut, arek-arek ini juga lupa sendiri, Pak. Kami ini rakyat pelupa yang sejati, Pak.”

Beberapa menit kemudian banjir stiker dan meme seronok di grup itu. Tampaknya semua orang sudah lupa dengan foto nir-empati itu. Keriuhan di medsos memang tidak pernah signifikan bagi kami orang kampung. Kami sudah terlatih berjuang bertahan hidup sendiri. Bergotong royong dengan sesama. Ada atau tidaknya pemerintah tak pernah terasa berpengaruh bagi kami.

BACA JUGA Suka Duka Saya Ketika Menjadi Fans DPR RI. Biasmu Siapa, Hyung? dan tulisan Suwatno lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version