Kalau ditanya apa yang paling bikin pening pas kuliah, jawabannya pasti beda-beda. Ada yang bilang tugas yang numpuk kayak cucian kotor, ada yang bilang dosen killer yang hobi kasih nilai C, atau malah gebetan yang tiba-tiba nikah sama sepupunya.
Tapi nih ya, sebagai mahasiswa semester 8 yang udah kenyang makan mi instan dan kopi saset, saya nemuin tradisi gelap yang lebih bikin pening: karya ilmiah dan publikasi jurnal.
Sebenernya, wajar-wajar aja sih mahasiswa dituntut bikin karya ilmiah. Namanya juga kaum intelektual, agent of change, calon pemimpin masa depan (halah). Tapi yang bikin gregetan itu pas ketemu sama “tradisi gelap” yang udah jadi rahasia umum di kampus.
Kena mental gara-gara dosen
Jadi gini ceritanya. Di semester 7, saya lagi asik-asiknya magang sambil ngerjain tugas mata kuliah penelitian. Semangat sih masih menggebu-gebu, soalnya target lulus tepat waktu udah di depan mata. Eh tau-tau, muncul plot twist yang bikin kepala nyut-nyutan.
Ternyata, buat bisa nyusun skripsi, karya ilmiah kita HARUS dipublikasikan di jurnal SINTA. Oke, fine. Tapi tunggu dulu! Harga publikasinya bikin kantong mahasiswa menjerit: 600 ribu rupiah, sodara-sodara! Itu belum termasuk mi ayam yang harus dikorbankan demi nabung.
Nah, yang bikin cerita ini makin thriller adalah: ada oknum dosen yang dengan santainya minta namanya dicantumkan sebagai penulis pertama. Lah, padahal yang begadang sampai mata berkantung, yang bolak-balik revisi, yang nabung sambil puasa mi ayam siapa coba?
“Gimanapun ceritanya itu harus kamu publish, jangan lupa cantumkan nama saya sebagai penulis pertama. Saya tidak mau tahu urusan mempublish itu urusan mu,” begitu kata sang oknum dosen dengan nada yang bikin hati ini cenat-cenut.
Setelah diselidiki bak detektif swasta (sambil ngopi di warung kampus tentunya), ternyata ada udang di balik batu. Para dosen ini diwajibkan bikin penelitian sama LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), dan bakal dapet royalti kalau berhasil publish. Nah loh! Jadi ceritanya kita ini kayak ghostwriter gratisan gitu?
Masalahnya, kalau nggak nurut, nilai kita yang jadi taruhan. Dilema kan? Kayak milih antara dikejar debt collector atau mantan yang minta balikan.
Yang lebih miris lagi, ini udah jadi semacam tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi, kayak resep rahasia burger Krabby Patty. Bedanya, ini bukan rahasia yang bikin seneng, tapi malah bikin stress berkepanjangan.
Semoga ada pencerahan
Jadi, ketika mahasiswa lain demo soal UKT yang mahal atau fasilitas kampus yang kurang memadai, mungkin perlu ditambahin satu tuntutan lagi: evaluasi oknum dosen yang hobi numpang nama di jurnal mahasiswa. Masa iya tradisi gelap begini dibiarkan terus kayak cicilan kartu kredit yang nggak dibayar-bayar?
Buat para mahasiswa yang lagi berjuang sama karya ilmiah, semoga artikel ini bisa jadi penghibur di kala pening. Dan buat para oknum dosen… well, semoga ada pencerahan ya, Bu, Pak. Masak iya mau terus-terusan jadi vampir akademik yang mengisap darah (dan duit) mahasiswa?
Yah, saya berharap artikel ini nggak bikin nilai skripsi saya anjlok. Masak ya jadi masalah sih, kan curhat doang.
Penulis: Alberto Dio Nainggolan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menghadapi Dosen Killer: Bekal Menghadapi Bos dan Pekerjaan di Masa Depan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.