Dear Bapak Ibu Dosen, Jangan Menilai Mahasiswa dari Keaktifan Bertanya setelah Presentasi. Mahasiswa Zaman Sekarang Pintar Membodohi, lho

Dear Bapak Ibu Dosen, Jangan Menilai Mahasiswa dari Keaktifan Bertanya setelah Presentasi. Mahasiswa Zaman Sekarang Pintar Membodohi, lho

Dear Bapak Ibu Dosen, Jangan Menilai Mahasiswa dari Keaktifan Bertanya setelah Presentasi. Mahasiswa Zaman Sekarang Pintar Membodohi, lho (Unsplash.com)

Beberapa hari kemarin, ada artikel yang memaparkan trik bertanya ke dosen biar nggak dikira caper. Selesai membaca tulisan dari Mas Muhammad Rifai tersebut, saya jadi teringat pengalaman saat masih semester awal kuliah. Saya pernah dikucilkan dan dianggap caper gara-gara aktif bertanya di kelas. Makasih, Mas Rifai, sampean sudah memantik ingatan itu meskipun saya terpaksa nggak bisa memakai trik sampean karena sudah berada di semester akhir.

Tapi nggak apa-apa, setidaknya Mas Rifai juga memantik ingatan saya pada suatu kejadian tragis yang kala itu saya lupa nggak menuliskannya. Kejadian itu bersamaan dengan momen bertanya di kelas. Hanya saja kejadian itu sepertinya masih menjadi rahasia di kalangan mahasiswa, khususnya mereka yang menganggap mahasiswa aktif bertanya adalah mahasiswa caper.

Saya merasa perlu menguak hal ini dan memberitahukan pada bapak ibu dosen di luar sana. Sebab, hal ini menurut saya sangat penting untuk moral mahasiswa sebagai pelaku akademis. Bukan saya sok-sokan jadi moralis. Tapi, secara manusiawi, saya kira kita semua sepakat kalau “membodohi” adalah tindakan yang bengis. Dan kejadian tragis yang mau saya kuak ini termasuk dalam kategori tindakan itu.

Kongkalikong sebelum presentasi di depan dosen

Jadi begini, kejadian tragis yang pernah saya alami ini terjadi ketika model belajar kami adalah presentasi per kelompok. Awalnya saya merasa curiga pada beberapa teman yang sering menganggap saya caper. Biasanya mereka diem-diem aja waktu presentasi di kelas, tapi tiba-tiba mereka aktif bertanya.

Kecurigaan saya semakin menguat ketika sesi pertanyaan yang dibatasi dengan tiga pertanyaan itu langsung diisi dengan cepat oleh beberapa mahasiswa yang saya maksud tadi. Seolah-olah, tiga si penanya nggak mau memberi jeda waktu sedikit pun untuk saya bertanya. Sialnya, mereka melakukannya secara konsisten di semua mata kuliah yang sama dengan saya.

Kecurigaan saya sebenarnya sempat pupus karena saya berpikir, mungkin mereka sudah berubah dan niat untuk kuliah. Tapi ternyata saya salah. Kecurigaan saya akhirnya terjawab setelah salah seorang teman saya bercerita bahwa ketiga penanya dan anggota kelompok yang presentasi sebenarnya satu sirkel pertemanan. Dan mereka semua memang berniat untuk membuat saya nggak lagi aktif bertanya.

Teman saya bahkan menunjukkan bukti chatting-an antara dia dengan salah satu anggota kelompok presentasi. Jadi isi chat mereka adalah si anggota kelompok presentasi mengajak teman saya untuk kongkalikong menyusun pertanyaan sekaligus mencari jawaban sebelum presentasi. Bahkan pertanyaan dan jawabannya copas dari Google. Sungguh cerdik strategi mereka, bukan?

Supaya terlihat aktif bertanya dan menjawab di depan dosen serta mendapat nilai bagus, mereka bersekongkol membuat daftar pertanyaan sekaligus jawabannya. Untungnya teman saya nggak tergoda dan malah membocorkan rahasia itu pada saya yang menjadi korban monopoli akademis.

Baca halaman selanjutnya

Mencemari mutu dan moral

Mencemari mutu akademis dan moral dosen

Sebenarnya saya nggak masalah dengan kelakuan teman-teman saya itu. Lagi pula sehabis sesi presentasi per kelompok, masih ada sesi penjelasan dari dosen kami yang setelahnya juga membuka kesempatan untuk bertanya.

Tapi masalahnya, mutu akademis yang ada pada sesi tanya jawab akhirnya tercemar. Sesi tanya jawab yang seharusnya berangkat dari orisinalitas pemikiran intelektual, berubah menjadi pembodohan intelektual. Apalagi ditambah dengan pertanyaan dan jawaban yang copas dari Google. Padahal sesi tanya jawab di kelas itu sebenarnya momen melatih intelektual agar ketika di kehidupan nyata kita bisa siap menjawab atau mempertanyakan masalah yang datang secara tiba-tiba.

Selain itu, moral dosen sebagai pendidik pun ikut tercemar. Sang dosen yang biasanya memberi mahasiswa nilai bagus berdasarkan keaktifan bertanya di kelas, jadi tampak—maaf—bodoh karena nggak tahu kalau ternyata memberikan nilai bagus pada mahasiswa yang sudah mencemari mutu akademis.

Sebaiknya jangan menilai mahasiswa berdasarkan keaktifan bertanya setelah presentasi

Saya berharap bapak ibu dosen di luar sana, khususnya dosen di kampus saya, segera berhenti memberikan penilaian berdasarkan keaktifan bertanya mahasiswa setelah presentasi. Tentu saja nggak semua mahasiswa yang aktif bertanya melakukan hal yang saya ceritakan di atas, tapi apakah bapak ibu dosen bisa tahu mana mahasiswa yang memang beneran aktif bertanya atau mahasiswa yang “sengaja aktif” seperti beberapa oknum teman saya?

Kalau memang tahu, syukur alhamdulillah. Tapi kalau nggak, ya siap-siap saja mutu akademis rusak dan moral bapak ibu dosen tercemar gara-gara dibodohi sama mahasiswa yang bodoh.

Atau, kalau tetap mempertahankan penilaian berdasarkan keaktifan bertanya, bapak ibu dosen bisa melakukannya ketika panjenengan selesai menjelaskan materi perkuliahan. Tepatnya setelah panjenengan biasanya bilang, “Oke, silakan kalau ada yang perlu ditanyakan.” Sebab, dengan cara itu, saya yakin nggak mungkin oknum mahasiswa yang bersekongkol tadi akan berani bertanya.

Tapi ya terserah bapak ibu dosen saja, sih. Yang penting, saya sudah memberi tahu bahwa sekalipun ilmu bapak ibu dosen sekalian luas dan sundul langit, ada lho hal-hal “jahat” yang mungkin nggak diketahui. Misalnya ya seperti mahasiswa yang kongkalikong tadi demi bisa mendapat nilai bagus.

Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Trik Bertanya Ke Dosen biar Nggak Dikira Caper.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version