Beberapa waktu yang lalu, media sosial X dihebohkan dengan tagar #janganjadidosen. Cuitan-cuitan dengan tagar itu terasa kontradiktif. Profesi dosen dianggap sebagai salah satu pekerjaan mulia. Sayangnya, predikat manis tersebut sepaket dengan kenyataan pahit di balik profesi ini. Kenyataan yang mengemuka bersama tagar #janganjadidosen.
Sejatinya, tidak ada satu pun larangan yang menghalangi seseorang untuk memiliki cita-cita menjadi dosen. Hanya saja, pekerjaan yang terkesan disegani ini tidak cocok untuk semua orang. Bahkan, mereka yang memiliki prestasi akademis luar biasa atau merupakan lulusan perguruan tinggi ternama juga belum tentu cocok jadi dosen.
Berikut ini sederet ciri-ciri orang yang sebaiknya menghapus harapan mereka untuk menjadi dosen kalau tidak mau kecewa nantinya.
Daftar Isi
#1 Berharap gaji dosen tinggi
Sudah jadi rahasia umum jika profesi ini tidak menjanjikan gaji tinggi. Padahal, biaya yang digelontorkan untuk menggapai pekerjaan tersebut terbilang cukup besar, sebab setidaknya seseorang perlu menuntaskan pendidikan setidaknya hingga jenjang S2.
Beruntung apabila pengeluaran selama kuliah dapat terbantu dengan adanya beasiswa. Namun, jika tidak, pendapatan yang diperoleh ketika menjabat sebagai dosen bisa jadi tidak akan sepadan dengan pengorbanan yang telah dilakukan.
Melansir dari Kompas.com pada 2024, rentang gaji dosen berada di angka Rp2,6 juta hingga Rp5,9 juta. Nominal tersebut dianggap kurang pantas mengingat beban kerja yang dinilai berlebih dibandingkan dengan penghargaan yang didapat. Tidak heran, tagar #janganjadidosen sempat menyeruak guna menyuarakan kondisi kerja dosen di Indonesia yang overwork dan underpaid. Intinya, jika ingin hidup kaya raya nan sejahtera, profesi dosen semata tidak akan sanggup mengabulkannya.
Baca halaman selanjutnya: Mengira pekerjaan dosen sebatas mengajar…
#2 Mengira pekerjaan dosen hanya sebatas mengajar
Publik mungkin menduga menjadi dosen itu enak. Faktanya, beban kerja berlebih itu benar adanya. Seorang dosen tidak hanya berkewajiban mengajar mahasiswa selama perkuliahan berlangsung maupun melakukan bimbingan skripsi. Demi meningkatkan jabatan fungsional, dosen juga mesti melaksanakan penelitian, membina KKN, dan menyelesaikan tugas belajar.
Belum lagi, apabila mengemban jabatan struktural, workload yang dipikul dosen praktis akan semakin lebih berat. Di luar itu semua, sejumlah tenaga pendidik yang memiliki empati tinggi seringkali turut meluangkan waktunya guna mendengarkan keluh kesah mahasiswa. Tidak sedikit yang kemudian turut menolong mahasiswa yang menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan studinya hingga di luar jam kerja. Segala macam peran tersebut akan menguras waktu dan energi.
#3 Tidak memiliki kecakapan dalam berkomunikasi langsung
Mengajar di kelas tampaknya memang sepele. Padahal, tidak semua dosen yang mempunyai wawasan luas dan pengetahuan mendalam diikuti dengan kemampuan mengajar yang mumpuni. Ketika menjadi mahasiswa, seseorang belajar hanya untuk dirinya sendiri. Sementara, saat menjadi dosen, seseorang dituntut mampu menularkan ilmu yang dimilikinya supaya dapat diserap dan dimengerti mahasiswa.
Dalam hal ini, kemampuan komunikasi memiliki fungsi penting. Tidak semua mahasiswa mampu memahami penjelasan yang bersifat sangat ilmiah atau menggunakan kosakata khusus. Oleh sebab itu, dosen diharapkan piawai memaparkan bidang keilmuannya dengan terminologi ataupun analogi yang sekiranya memudahkan penyampaian kepada mahasiswa.
#4 Kemampuan bahasa tulis yang memprihatinkan
Bukan hanya kelihaian dalam berbicara, seorang dosen selayaknya juga mahir dalam menulis meskipun tidak mengajar di jurusan bahasa. Sebab, mereka punya tanggung jawab menulis artikel ilmiah dan membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tesis, maupun disertasi. Sebagaimana yang publik ketahui, kemampuan mayoritas masyarakat dalam menguasai Bahasa Indonesia tergolong rendah.
Sialnya, tidak sedikit pihak yang justru mengkambinghitamkan faktor lain dengan menuduh bahwa kosakata bahasa Indonesia sangat terbatas dan sedikit. Keahlian dalam menyusun kalimat yang efektif dan efisien tidak dapat diacuhkan jika sudah memilih profesi ini. Sebab, alangkah lucu ketika maksud dan tujuan penyampaian suatu ilmu tidak dapat dieksekusi dengan baik lantaran pengajar yang bersangkutan gagal merumuskannya dalam kalimat yang tepat.
#5 Dosen dengan bahasa Inggris yang pas-pasan
Di samping menguasai perbendaharaan dan menjalin kata dalam Bahasa Indonesia, mereka yang memutuskan bekerja sebagai dosen mau tak mau menguasai bahasa Inggris. Soalnya, dalam mengerjakan penelitian, referensi kredibel dari jurnal bereputasi lazimnya menggunakan bahasa Inggris. Walaupun saat ini ada teknologi yang memudahkan dalam hal alih bahasa, terkadang esensi pengetahuan yang dimaksudkan tidak dapat ditafsirkan mentah-mentah hanya dengan menerjemahkan kalimat. Pun, keunggulan dalam berbahasa Inggris ini turut memudahkan mereka saat mengikuti berbagai seminar bertaraf global, mengampu kelas internasional, dan menempuh studi lanjut.
Mendedikasikan diri sebagai seorang dosen tentunya merupakan suatu hal yang luhur dan patut diapresiasi. Namun demikian, komitmen yang dipikul juga tidak ringan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan terjun di profesi ini, lebih baik pertimbangkan masak-masak apabila tidak ingin ada penyesalan. Sebab, jika idealisme yang dijunjung terbentur oleh urusan perut maka akan muncul kerumitan lain. Misalnya saja, kelulusan mahasiswa yang terhambat lantaran dosen pembimbing sulit ditemui demi menangani proyek di luar kampus.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jadi Dosen Itu Nggak Mudah, apalagi Jadi Dosen yang Nggak Bisa Nulis, Remuk!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.