Menjalani long distance relationship memang banyak tantangan, di mana perjumpaan hanya dilakoni secara virtual dan pelukan hanya sebatas emote nakal, dan potensi ditikung begitu stonks. Selama LDR terkadang saya pulang untuk beberapa hari di Wonosobo, selain untuk bertemu dengan keluarga, tentu saja untuk meluangkan waktu berkencan dengan gebetan.
Dan perkara ditikung, tepatnya ditikung teman sendiri, saya punya cerita yang… ah, anjeng.
“Jam 12 jemput aku di kantor ya, Dear,” sebuah pesan BBM dari mbak gebetan yang membuat motor Karisma saya melaju kencang menyalip truk tronton agar secepatnya saya tiba tepat di depan kantornya.
Jam 12 sendiri merupakan waktu istirahat bagi karyawan sampai jam satu siang, sehingga saya memiliki waktu sekira 50 menit untuk melepas semua kerinduan yang terpendam. Resto Nasi Ayam adalah tempat pilihan kami untuk berkencan.
Selama 50 menit tersebut, saya dan mbak gebetan berusaha untuk menguatkan komunikasi satu sama lain, terkadang kami berdua juga bercerita tentang khayalan akan masa depan bersama dengan anak kami yang berlarian dan tertawa.
“Kamu kangen sama aku nggak?”, tanya Mbak gebetan.
“Jelas kangen lah” jawab saya singkat.
“Aku mau makan ayam punyamu, suapin”
Bak scene FTV, ritual saling menyuapi menjadi salah satu obat pelepas rindu paling hakiki.
Tak terasa, jam istirahat pun akan segera berakhir, setelah membayar makanan di kasir saya pun mengantarkan Mbak gebetan untuk kembali ke kantornya. Kedua tangannya yang melingkar di perut buncit saya membuat motor Karisma 125 X yang saya kendarai berjalan melambat, namun waktu terasa sangat cepat.
Setiba di kantornya, saya bertemu dengan salah seorang sahabat saya, sebut saja dia Mamet (bukan nama sebenarnya). Dia adalah adik kelas saya satu tingkat, lelaki tersebut terkenal humoris dan kerap membuat teman-temannya tertawa sehingga keakraban pun bisa terjalin dengan mudah.
“Kerja di mana sekarang, mas?” tanya Mamet sembari menikmati rokok filternya.
“Di Tangerang, Met” jawab saya
Obrolan kami pun menuju pada kenangan nostalgia saat SMK, mulai dari kabar sekolah terkini hingga kondisi guru yang ada pada almamater sekolah kami.
Ketika obrolan tersebut makin asyik, tetiba Mbak gebetan menemui kami dan meminta saya untuk segera pulang, saya pun mengiyakan dan mengambil helm serta menstarter Kharisma tersebut. Sebelum keluar dari halaman kantor, saya sempatkan untuk melambaikan tangan kepada kepada Mamet, dan dia membalasnya dengan anggukan kepala tanpa senyum di bibirnya.
Ketika saya tiba di Tangerang, Mbak gebetan mengirimkan pesan BBM yang tidak terduga sebelumnya.
“Aku mau ngasih tahu kamu, tapi janji jangan marah ya?” Tulisnya dalam pesan BBM.
“Iya, aku janji nggak marah” balas saya.
“Mamet kemaren nembak aku, dia suka sama aku”
Mendapati pesan tersebut, jantung saya berdegup tidak karuan, kedua lutut saya lemas dan dahi saya mengernyit seraya tak percaya dengan apa yang Mbak gebetan sampaikan.
“Terus kamu jawab apa?” Tanya saya
“Belum aku jawab.” Jawab Mbak gebetan.
Keesokan harinya, saya mendapatkan pesan inbox di FB dari Mamet, dalam pesannya tersebut ia meminta maaf kepada saya. Saya pun memaafkannya meski gegara hal tersebut, kami tidak pernah lagi saling berinteraksi di sosial media walau hanya memberikan like pada status Facebook.
Sejak saat itu, hampir tiap bulan mbak gebetan menanyakan kepada saya kapan mau melamar, pertanyaan tersebut seakan menjadi pertanyaan rutin bulanan yang ia kirimkan melalui pesan BBM.
Saya pun mengatakan kepadanya bahwa saya memang belum siap menikah, karena memang orang tua saya belum menyetujui saya menikah atas pertimbangan pendidikan saya yang dianggap belum selesai. Alias orang tua tidak mengizinkan saya menikah sebelum saya mendapatkan ijazah S1, padahal kala itu saya sudah mendapatkan gelar D3.
Sebagai anak yang berusaha berbakti kepada orang tua, tentu saja kalimat tersebut harus saya turuti. Alhasil, setelah menemukan waktu yang tepat untuk lanjut kuliah S1, saya memutuskan resign dari pekerjaan di perantauan untuk mewujudkan impian orang tua saya.
Oleh karena kuliah saya hanya tiga hari dalam seminggu, saya pun mencari kesibukan tambahan sebagai penyiar radio di Wonosobo. Selama menjalani perkuliahan tersebut, saya dan Mbak gebetan memang kerap terlibat perang dingin, namun semua prahara itu sirna ketika kami berdua bertemu, berkencan dan saling menyuap makanan.
Mengajak Mbak gebetan ikut seminar Tere Liye
Satu alasan yang membuat saya bertahan dengannya, yaitu karena dia memiliki literasi yang baik dan hobi mengoleksi buku. Saya pun kerap memberikannya buku sebagai hadiah, sampai akhirnya mbak gebetan bilang, “Kapan aku dikasih buku nikah?”
Kala itu di Purwokerto terdapat event seminar yang menghadirkan Tere Liye sebagai narasumber, saya pun menawari Mbak gebetan untuk ikut acara tersebut. Saya yang tidak pernah membaca novelnya, terpaksa harus berdamai dengan keadaan demi bisa membahagiakan sang tambatan hati.
Oleh karena perjalanan antara Wonosobo dan Purwokerto memakan waktu lebih dari dua jam, saya-pun menjemputnya jam enam Pagi. Saya menjemputnya dengan motor Blade Repsol yang ternyata lebih boros bensin daripada Karisma 125 X.
Ketika hendak keluar dari desa tempat Mbak gebetan tinggal, saya dibuat terkaget dengan adanya sosok Mamet yang berdiri di sisi kiri jalan dekat jembatan, sebagai sahabat yang baik saya pun mengklaksonnya dan Mamet membalasnya dengan anggukan kepala tanpa senyum.
“Ngapain Mamet di situ?” tanya saya kepada mbak gebetan.
“Mungkin lagi hunting foto, dia kan baru beli tripod”, jawab Mbak gebetan yang duduk manis di belakang saya.
Pikiran saya lega mendengarkan jawaban tersebut, tetapi hati saya merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Sesampai di venue, saya dan Mbak gebetan memilih untuk duduk di barisan tengah paling kiri, saya pun merasa bahagia karena berhasil membuat sang pujaan hati bertemu dengan penulis idolanya, meskipun tidak bisa foto bersama karena Bang Tere menolak untuk berswafoto dan book signing.
Rasa bahagia itu bertambah ketika Tere Liye bercerita tentang novel pertamanya “Hafalan Shalat Delisa” tidak terpajang di rak Novel, melainkan terpajang di buku agama tepat di sebelah buku tuntunan shalat sunnah. Cerita tersebut rupanya telah membuat 80 persen penonton tertawa, termasuk Mbak gebetan.
Setelah selesai dan mengantarkan Mbak gebetan pulang, ada hal berbeda yang ia tunjukkan, di mana setelah turun dari motor, dia tidak menawarkan kepada saya untuk mampir ke rumah dan tidak pula memberikan pesan “hati-hati di jalan ya”. Langkah kakinya tampak tergesa masuk ke dalam rumahnya, tanpa senyum dan lambaian tangan.
Sesampainya saya di rumah, tidak ada pesan BBM yang masuk dari mbak gebetan, padahal biasanya setelah kami berkencan dialah orang pertama yang mengucapkan terima kasih diiringi dengan emoticon titik dua bintang.
Lalu saya pun mencoba untuk menghubunginya terlebih dahulu.
“Thanks ya, Dear, udah nemenin hari ini” tulis saya dalam pesan BBM.
“Sama-sama, tumben setengah hari kita berkencan”
Setelah itu, pesan BBM saya-pun tidak terbalas hingga esok pagi. Saya berusaha untuk berpikir positif, mungkin mbak gebetan sedang lelah dan butuh banyak istirahat.
Keesokan malamnya, ketika saya sedang dinas malam di radio, saya pun menyempatkan diri mengirimkan pesan BBM kepadanya, sekadar untuk menanyakan kabar.
“Sehat, Dear?” Tulis saya
“Alhamdulillah sehat”, jawab dia.
“Eh, kita belum pernah ke Bukit Seroja, ke sana yuk?” Ajak saya.
“Nggak ah, aku udah khilaf.”
Kalimat tersebut membuat saya mengernyitkan dahi, jantung saya berdegup tidak karuan, kedua lutut saya kembali lemas, saya juga tidak bergairah membacakan SMS dari para pendengar yang request lagu.
Akhirnya tepat di jam 23.00, saya paksakan untuk menanyakan sesuatu kepadanya.
“Apakah kamu udah punya calon?”
“Sebenarnya, iya sudah ada.” Jawab dia.
Detak jantung saya semakin payah, otot bahu saya yang terlatih berkat nge-gym seakan runtuh ketika mengetahui jawaban darinya.
“Kalau boleh tahu, siapa calon pendampingmu?”
“Dia sahabatmu, Mas Mamet.”
Ternyata saya ditikung teman sendiri.
Melihat pesan tersebut, jiwa ini seperti tertimpa palu Thor, dipukul oleh Hulk dan terkena sambitan perisai Captain America. Mata saya masih kuasa menahan tangis, tetapi pikiran dan perasaan telanjur ambyar. Lagu “Galau” dari Yovie and the Nuno yang tengah diputar di radio saat itu mengiringi jiwa saya yang ambruk, runtuh dan ambyar. Ditikung kanca dewe, taeee.
Tak hanya sampai di situ, dirinya pun mengirimkan screenshot dari grup dakwah WhatsApp, di mana salah satu ustaz menyarankan kepadanya untuk meninggalkan saya, lengkap dengan kutipan ayat yang membuat saya merasa semakin ambyar dan berdosa.
Keambyaran tersebut masih berlanjut, ketika saya mengetahui bahwa Mbak gebetan (yang sudah menjadi mantan) malah mengunggah foto prewed bersama Mamet seakan melupakan wejangan dari Ustadz di grup WhatsApp.
Motor Blade dan seminar Tere Liye, rupanya menjadi moment kencan amburadul yang berujung pilu. Ditikung rasanya, hm, ya ngono kae. Mau misuh kok pekewuh, tapi kenyataane ditikung ki cen bajingaaan.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
BACA JUGA Jogja, Sebaik-baiknya Solusi untuk Mengobati Patah Hatimu atau tulisan Dhimas Raditya Lustiono lainnya.