Dilema Penduduk Ketapang: Dominasi Lion Air yang Meresahkan

Dilema Penduduk Ketapang: Dominasi Lion Air yang Meresahkan

Dilema Penduduk Ketapang: Dominasi Lion Air yang Meresahkan (Pixabay.com)

Mencari tiket penerbangan pulang dari Jakarta ke Ketapang, Kalimantan Barat, akan selalu membuat siapa pun mengelus dada. Pasalnya dari hasil pencarian atas hingga pencarian bawah hanya diisi oleh satu logo maskapai, sang Singa yang Mengudara, Lion Air. Selain itu, harga minyak dunia yang naik dan memicu kenaikan harga avtur memperparah ujian hidup pemudik via udara di bulan puasa ini. Dominasi dan mahal, itulah dua kata yang paling tepat menggambarkan kondisi konektivitas udara kabupaten di Kalimantan Barat itu.

Sekitar 6-8 tahun yang lalu, penerbangan dari kota-kota di Jawa ke Ketapang dan sebaliknya masih menyediakan banyak sekali opsi dengan harga yang affordable bahkan worth jika dibandingkan dengan alternatif transportasi laut. Sebelum Lion Air menjadi pemain dominan di Ketapang, masih ada Trigana Air yang menghubungkan Ketapang dengan kota-kota di Kalimantan, lalu ada Kalstar yang menjadi opsi utama direct flight dari Ketapang ke Surabaya dan Semarang. Dan yang paling membuat berdecak kagum adalah maskapai Aviastar yang berani menyediakan direct flight Ketapang-Jakarta dan sebaliknya.

Masa-masa itu, bagi para perantau asal Ketapang yang bekerja atau kuliah di pulau Jawa maupun Kalimantan luar Ketapang, adalah masa yang sangat disyukuri jika dibandingkan dengan sekarang. Tiket antarpulau dan antarkota yang murah dan serba di bawah satu juta rupiah, kenikmatan untuk tidak transit, dan berbagai macam berkah lainnya.

Saya masih ingat harga tiket Trigana Air rute Ketapang-Pontianak yang kurang dari 400 ribu rupiah. Pun saya juga masih ingat pernah menikmati tiket Kalstar rute Ketapang-Semarang yang berkisar 800-900 ribu rupiah. Bahkan saya pernah menikmati harga tiket Aviastar Jakarta-Ketapang dengan hanya membayar sekitar 900 ribu rupiah. Masa indah di mana ada banyak pilihan maskapai yang bersaing secara sehat. Mencari tiket pesawat selalu menjadi hal normal yang dilakukan saat musim liburan tanpa harus berkeluh kesah. Tidak perlu menjadi orang yang benar-benar kaya untuk bisa merasakan sensasi menaiki burung baja.

Tapi itu dulu, saat semua masih baik-baik saja, dan di langit, tak hanya Singa yang berjaya.

Badai pun tiba

Semua hal nikmat tersebut sirna total sejak maskapai-maskapai itu mulai menghentikan operasionalnya. Trigana Air tutup sekitar 2015-2016. Kal Star secara resmi berhenti beroperasi di Ketapang pada 2017. Aviastar tidak lagi melayani penerbangan ke Jakarta mulai sekitar 2016, meskipun pada 2017 sempat membuka lagi 2-3 kali penerbangan per minggu, tetapi pada akhirnya tetap tutup.

Konsekuensinya, masyarakat Ketapang hanya punya satu opsi maskapai udara untuk bepergian. Ya, Lion Air. Maskapai yang dikenal merakyat karena murah, tetapi juga karena layanannya benar-benar seadanya. Pada waktu saya masih SMA hingga awal-awal menempuh perkuliahan, Lion Air sangat jarang menjadi opsi utama untuk bepergian, tetapi sekarang mau tidak mau hanya itu yang ada. Sudahlah cuma satu, harganya juga selangit. Tiket Lion Air Rute Jakarta-Ketapang dan sebaliknya selalu dibanderol mendekati dua juta rupiah.

Baca halaman selanjutnya

Harga elit, pelayanan sulit…

Harga elit, pelayanan sulit

Meskipun demikian, monopoli Lion Air dan mahalnya harga tiket tidak serta merta menghasilkan layanan operasional yang baik. Selain masalah delay yang menjadi konsumsi umum penumpang, masalah scheduling juga menjadi momok. Lion Air sering sekali melakukan pembatalan penerbangan di jam tertentu dan menumpuk semua penumpang di jam penerbangan tertentu.

Alasan normatif yang didapat adalah gangguan operasional pesawat, tetapi semua penumpang pasti tahu itu hanya akal-akalan untuk menghemat biaya operasional. Hal-hal seperti ini sudah umum terjadi dan mengundang amarah penumpang, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Alternatif transportasi untuk ke Pulau Jawa hanyalah kapal laut, tetapi waktu tempuhnya relatif lama dan bisa mencapai dua hari. Sangat tidak feasible dan tidak mengenakkan bagi para perantau yang tidak memiliki banyak waktu. Selain itu, kapal laut juga tidak tersedia setiap hari.

Monopoli Lion Air di Ketapang juga menyebabkan enggannya mereka untuk meningkatkan kualitas layanan mereka. Tidak adanya pesaing jelas membuat Lion Air merasa jumawa dan enggan untuk memperbaiki diri. Lion Air dan anak maskapainya, Wings Air, kerap kali menjadi sasaran media untuk berita-berita miring. Sudah banyak juga video beredar yang memperlihatkan penumpang Lion Air yang komplain kepada maskapai karena berbagai macam masalah. Meskipun demikian, tidak ada yang bisa dilakukan. Warga Ketapang tidak punya pilihan lain.

Tindakan cepat untuk Ketapang

Pemerintah daerah atau bahkan pusat harus segera melakukan tindakan terhadap hal ini. Monopoli transportasi udara oleh satu maskapai akan memberikan dampak buruk. Pelanggan akan terus dihantui mahalnya tiket pesawat karena maskapai akan seenak hati menaikkan harga, kualitas layanan akan terus buruk dan tidak diperbaiki, dan opsi transportasi menjadi tidak banyak.

Semua dampak buruk ini jelas dirasakan oleh konsumen, utamanya masyarakat Ketapang. Tidak semua masyarakat Ketapang itu memiliki tingkat ekonomi memadai dan Kabupaten Ketapang sendiri belumlah tergolong daerah yang maju baik secara pendidikan maupun sarana prasarana. Hal ini sering memacu orang Ketapang untuk merantau ke Pontianak atau kota-kota di Jawa demi nasib yang baik. Monopoli transportasi udara oleh satu maskapai dengan harga yang mahal hanya akan menghambat peningkatan sumber daya manusia di Ketapang.

Imbas yang mungkin terjadi ialah, Ketapang akan sulit berkembang dan maju, dan tentu saja kita semua tak ingin itu terjadi bukan?

Penulis: Raja Pranatha Doloksaribu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Alasan Saya Selalu Setia dengan Lion Air

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version