Ya, benar, Indonesia memiliki satu kerajaan indigo, namun indigo yang dimaksud kali ini bukanlah sekelompok orang dengan kemampuan spiritual atau dapat membaca masa depan, bukan pula “Indigo-nya Niki Zefanya. Indigo yang kita bahas kali ini adalah warna indigo dan kerajaan indigo yang dimaksud adalah Kerajaan Tarumanagara. Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang pernah berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Nama Tarumanagara berasal dari dua kata, yaitu “Tarum” dan “Nagara”. Nagara adalah bahasa Sanskertanya “kerajaan”, sedangkan kata tarum digunakan karena kerajaan ini berpusat di sepanjang aliran Citarum.
Citarum sendiri berasal dari bahasa sunda “ci” atau sungai dan “tarum”, nama tumbuhan yang dulu banyak tumbuh di sekitar sungai tersebut. Tarum adalah tumbuhan penghasil warna biru keunguan (lembayung) alami. Di beberapa daerah di Indonesia, tarum dikenal sebagai nila. Sementara di dunia internasional, ia dikenal dengan nama tumbuhan Indigo (Indigofera tinctoria).
Dari tumbuhan tarum/indigo ini didapatlah zat pewarna biru alami yang dimanfaatkan dalam pewarnaan batik atau tenun ikat tradisional dari Nusantara. Pewarna indigo ini dipakai dalam proses pewarnaan shibori (sejenis batik dari Jepang) dan proses pewarnaan kain berbahan dasar jeans. Karena semakin maraknya pewarna biru sintetis dan kekhasan warna biru yang dihasilkan tanaman indigo, produk/busana yang masih menggunakan pewarna alami indigo relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan produk yang menggunakan pewarna sintetis. Hal itu juga disebabkan proses pewarnaan indigo yang relatif lebih rumit daripada pewarnaan sintetis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Tarumanagara layak kita sebut sebagai kerajaan indigo di Indonesia. Selain itu, karena bertumpu pada pertanian yang berpusat di sekitar Sungai Citarum, Tarumanagara adalah salah satu kerajaan dengan sistem irigasi atau pengaliran terbaik yang pernah ada di Nusantara, kehebatan tersebut diceritakan dalam salah satu prasasti peninggalan Tarumanagara, yaitu Prasasti Tugu.
Namun, kerajaan beserta tumbuhan tarum tersebut kini tidak dapat lagi kita temui di sekitaran aliran Citarum. Sekitar abad ke-7 Tarumanagara runtuh dan pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai pembatasnya. Sedangkan menghilangnya Tarum dari sekitaran Citarum baru terjadi belakangan, dan mungkin dapat dikaitkan dengan keadaan lingkungan sekitar Citarum yang telah banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an.
Industrialisasi yang pesat sejak akhir 1980-an di kawasan sekitar sungai ini telah menyebabkan menumpuknya limbah buangan pabrik-pabrik di Citarum. Sungai dengan nilai sejarah, ekonomi, dan sosial yang penting ini sejak 2007 menjadi salah satu dari sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. Jutaan orang tergantung langsung hidupnya dari sungai ini, sekitar 500 pabrik berdiri di sekitar alirannya, tiga waduk PLTA dibangun di alirannya, dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu.
Kini pemerintah dan berbagai elemen masyarakat telah memulai proyek revitalisasi Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum yang digaungkan dengan nama Citarum Harum. Detail dan publikasi mengenai Citarum Harum dapat diliihat melalui situs resminya di sini atau sini.
Hati ini pilu membiru rasanya melihat kondisi Citarum yang beberapa dekade terakhir telah tercemar. Kini yang terlihat hanya airnya yang hitam dan pekat karena tercemar. Semoga masa-masa seperti kejayaan Tarumanagara itu datang lagi, sungainya jernih, dan tanahnya yang biru oleh hamparan tarum.
Gambar: Prasasti Ciaruteun di Bogor peninggalan Kerajaan Taruma. Potret diambil sebelum tahun 1900, koleksi KITLV via Wikimedia Commons.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.