Di Kota, Saya Disebut Kampungan Hanya Karena Tidak Menggunakan Helm

Juara 1 Orang Paling Menyebalkan Adalah yang Pinjam Helm Tanpa Izin terminal mojok.co

Juara 1 Orang Paling Menyebalkan Adalah yang Pinjam Helm Tanpa Izin terminal mojok.co

Saya ingat pertama kali berkendara di kota besar—Surabaya—dengan niat tidak menggunakan helm. Maka dengan nada antara meneriaki setengah kaget, teman-teman saya mempertanyakan apa yang saya lakukan ini. Terselip juga sebuah omongan, “jangan kampungan. Ini kota, Boy!”

Saya lantas mengiyakan apa yng menjadi keinginan mereka semua. Juga menjadi keinginan para polisi pengatur lalu lintas ini dengan bergegas menggunakan helm. Ya hal yang di kampung menjadi lumrah itu kini di kota seakan menjadi momok. Di kampung, untuk berkendara dalam jarak yang dekat sampai dengan lumayan jauh, kita tidak terlalu membutuhkan helm—dan memang selalu tidak menggunakannya.

Dalam aturan berlalu lintas, tidak menggunakan helm jelas sebuah pelanggaran—bahkan tertuang dalam Undang-Undang. Lebih jelasnya, cari sendiri lah ya? Yang jelas di sana juga tertuang segala bentuk pelanggaran tidak menggunakan penutup kepala ini bisa dipidana kurungan satu bulan atau akan didenda uang hingga 250 ribu rupiah. Ya setara harga kos sangat biasa sebulanlah ya?

Soal penggunaan penutup kepala ini sebenarnya bisa juga masuk dalam tradisi dan kebiasaan yang dibangun dari ketakutan. Walaupun semua juga berawal dari peraturan tertulis secara hukum. Bahwa setelah adanya aturan ini orang-orang kota lebih disiplin dalam penggunaan helm saat berkendara—saya yakin itu lebih besar kepada ketakutan kena tilang aja. Pada ngaku ajalah. Karena bahkan beberapa teman yang sering saya ajak berdiskusi soal penggunaan helm ini pun tidak menyangkal—karena saya pun juga begitu, shay~

Para pembangkang aturan ini berpikir secara logis atau justru terdoktrin omongan sang Presiden Jancukers, Sujiwo Tejo. Bahwasanya aturan penggunaan helm justru salah alamat ketika selanjutnya kepada yang melanggar diberi sanksi kurungan atau denda. Tentu saja—bahkan menurut saya sendiri—ini masuk akal.

Jika bisa menyimpulkan secara dangkal saja, kita bisa beranggapan bahwa ketika saya membahayakan diri saya sendiri, saya harus membayar kepada negara. Kan ya konyol, Ferguso~

Apakah dengan menggunakan helm—dalam hal ini saya tidak membahayakan diri sendiri—saya diberi kompensasi atau santunan berupa limpahan uang atau semacamnya dari negara?—kan ya ora to? Tetep kudu “qerja qeras bagai quda” juga kan?

Kebijakan penggunaan helm sebenarnya lebih kepada keterpaksaan. Alih alih sebagai bentuk kepatuhan, kebijakan ini mengantar kita pada sebuah titik ketika ketakutan sudah di luar batas kewajaran—bahkan logika bisa dibokongi. Dan kesempatan untuk berkendara tanpa menggunakan helm itu semacam keinginan besar yang sengaja dipendam karena ketakutan tersebut.

Lalu apa yang kita dapat? Mentok hanya sampai layanan keselamatan berkendara saja—sampai disitu saja? Hellauuwww~

Kecelakaan lalu lintas terjadi bukan hanya atau bahkan bisa jadi bukan karena tidak menggunakan helm. Bahwa banyaknya kecelakaan kendaraan terjadi di kota besar bahkan setiap harinya juga bukan akibat tidak menggunakan penutup kepala ini. Kebanyakan kecelakaan lalu lintas justru terjadi ketika orang-orang tidak memperhatikan aturan untuk keselamatan berkendara—ugal-ugalan di jalan, berkendara pada kecepatan di atas rerata, atau kendaraan dan pengendara yang tidak dalam kondisi yang fit untuk berkendara misalnya.

Kita bisa membayangkan semua orang tidak menggunakan helm saat berkendara namun tetap berada pada kecepatan yang aman atau semua orang dengan sangat disiplinnya—tentu saja dengan tidak menggunakan helm namun tidak saling zig zag saat memacu kendaraannya. Dan atau-atau yang lainnya yang membawa kita pada pemikiran logis macam Sujiwo Tejo tadi—bahwa berkendara dengan atau tanpa helm itu sebenarnya aman-aman saja.

Di hampir semua desa di seluruh pelosok Indonesia, penggunaan helm saat berkendara adalah sebuah hal yang tabu. Saya lantas tidak mendebat teman saya ketika disuruh menggunakan helm saat di kota dan dianggap kampungan karena memang seperti itu adanya. Di desa, orang-orang justru menjadi sangat disiplin berkendara tanpa harus menggunakan helm.

Mereka—entah sadar atau ngawur atau berusaha melogiskan pemikiran sendiri—berkendara dengan tidak menggunakan helm pada batas yang wajar-wajar saja. Kecepatan standar, tidak lebih dari 60 km/jam. Tidak zig zag saat berkendara—karena lebar jalannya emang tidak memungkinkan hal itu. hahaha

Dengan segala macam disiplin berkendara lain agar menggunakan atau tidak menggunakan helm, keselamatan mereka tetap terjaga. Kalo tidak selamat ya berarti emang lagi apes aja. Toh menggunakan helm atau tidak, jika sudah ajalnya untuk kecelakaan ya tetep aja tidak bisa dihindari.

Exit mobile version