Di kampung saya, tabiat anak dipercaya ditentukan oleh tabiat dukun beranak yang membantu proses persalinan. Seorang ibu yang mendapati anaknya melakukan kesalahan suatu hari berkata, “Puq Bijoq yang mengeluarkanmu,” katanya. Puq Bijoq salah satu dukun beranak terakreditasi yang kampung kami miliki.
Puq Bijoq memiliki jam terbang tinggi. Ketika ada ibu-ibu yang melahirkan, ia telah dipesan jauh-jauh untuk tidak akan pergi ke mana-mana. Karena itu, betapa banyak anak yang dipercaya mewarisi sifat dirinya.
Lantaran jumlah dukun beranak selalu lebih sedikit bahkan sangat sedikit dibandingkan jumlah ibu yang melahirkan, maka perlu dukun sewaan dari kampung lain. Itulah rupanya yang menyebabkan tabiat anak-anak di kampung kami berbeda-beda.
Kekacauan—dan lebih jarang perilaku terpuji—yang dilakukan sang anak sering dikaitkan dengan dukun yang menyentuh mereka ketika muncul ke dunia dari rahim ibu mereka pertama kali. Saya kurang tahu kenapa perilaku yang baik jarang diapresiasi. Hal ini barangkali lantaran para orang tua jarang melihat perilaku yang baik dari anak-anak mereka.
Si Bagong, salah seorang teman saya, sangat suka melempar ayam-ayam warga yang sedang mencari makan. Jika tidak mati, ayam-ayam itu menjalani hidup selanjutnya dengan terpincang-pincang. Orang-orang percaya itu karena dukun beranak yang membantunya lahir dulu suka maling ayam.
Hebatnya, banyak dari orang tua itu yang melupakan bahwa sifat sang anak adalah warisan dari mereka. Entah sebagai warisan dari gen, maupun dari pola pendidikan yang telah mereka berikan.
Secara biologis, sifat sang anak sebagian dimiliki dari orang tua. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu kata orang. Selanjutnya, ditentukan oleh lingkungan. Lingkungan pertama sang anak adalah keluarga. Mengherankan ketika ada orang tua yang memarahi anak mereka karena gemar mengumpat dengan cara melayangkan umpatan yang justru lebih membabi buta.
Ada sebuah keluarga yang memiliki anak tidak penurut, tidak sesuai harapan. Mengutuk sang anak menjadi sebongkah batu seperti cerita Malin Kundang, mereka tidak bisa. Seolah dapat mengubah keadaan, dukun beranak yang meskipun telah mati disalah-salahkan kembali dan mereka menyesali tindakan meminta sang dukun untuk membantu proses persalinan mereka.
Upaya menggugat sang dukun selalu datang belakangan, setelah sang anak diketahui bertabiat tidak baik. Barangkali ini sebuah watak dari manusia, mempersoalkan segala sesuatu setelah lama terjadi.
Sejauh pengamatan saya, kebaikan yang dilakukan sang anak sering kali jarang diberi perhatian seperti yang dilakukan pada keburukan mereka. Kalaupun dipuji, jarang sekali dihadirkan kembali sifat baik dari sang dukun beranak yang berjasa membantu proses persalinan. Semangat mencari pihak lain yang salah ini dapat dilihat dari cara orang tua mendidik anak mereka.
Ketika ada anak yang jatuh, maka yang pertama-tama dilakukan sang ibu adalah mencari pihak yang bisa disalahkan dan yang sering jadi korban adalah keluarga katak. Ya, katak! Kataklah yang telah menyebabkan sang anak terjatuh. Sang ibu bahkan berpura-pura untuk menginjak-injak tanah dan berkata dengan penuh sandiwara, “Mati kamu katak mati!”
Bagi anak kecil apalagi yang baru belajar, jatuh sampai lecet pun adalah hal wajar. Tetapi akan menjadi tidak wajar ketika ada pihak lain yang telah dikorbankan dalam kejatuhan itu. Tanpa maksud berlebihan, upaya mencari pihak lain sebagai biang keladi setiap persoalan telah dimulai sejak kecil dan terbawa-bawa sampai besar. Apes sekali jadi katak!
Beberapa tahun lalu, ada seorang anak yang tidak mau memenuhi keinginan orang tuanya untuk sekolah. Setiap pagi, ketika teman-temannya berangkat ke sekolah, ia duduk saja di teras rumah berselimutkan kain.
Orang tuanya yang sangat ingin anaknya mendapatkan masa depan cerah, memaksanya bersekolah dan tidak jarang dengan upaya sangat keras. Selalu gagal, ia berpikir anaknya dirasuki jin dan aneka tempat keramat didatangi untuk meminta pertolongan. Aneka sesangi—janji—diucapkan asalkan anaknya kembali ke jalan yang ia anggap benar.
Akan tetapi, sang anak tidak menunjukkan perubahan. Lantaran terlalu peduli pada hidup anaknya, orang tuanya memaksa sang anak tidak jarang dengan menggunakan kekerasan atau main tangan bahkan juga kaki. Hasilnya, sang anak semakin memberontak. Ia pergi memakai seragam sekolah tetapi tidak lama datang surat dari pihak sekolah: mengabarkan bahwa anak mereka tidak pernah masuk.
Kedua orang tuanya tidak pernah mencoba melihat kembali tindakan mereka selama ini, baik cara didik mereka dan sebagainya. Sebaliknya, dukun beranak bertahun-tahun lalu yang telah damai di alam kubur yang dikorbankan. Jiwa pemberontak sang anak diyakini sekali terwariskan dari dukun itu. Tidak sulit bagi mereka untuk mencari bukti-bukti. Aneka kelakuan buruk sang dukun dan bahkan nenek moyangnya segera terbeberkan. Sekali lagi tanpa pernah sedikit pun berusaha melihat ke dalam diri sendiri.
BACA JUGA Pernah Bayangin Rasanya Jadi Anak Dukun? Sini, Saya Kasih Tahu dan tulisan Arianto Adipurwanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.