Saya barangkali satu dari sedikit orang di Indonesia yang sering dicemooh ketika berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Bukan lantaran logat atau penguasaan bahasa yang kaku. Tapi benar-benar karena telah menggunakan bahasa Indonesia. Cukup aneh, tetapi begitulah keadaannya.
Saya tinggal di kampung yang jauh dari mana-mana. Jauh dari ibukota kecamatan apalagi kota sungguhan. Jalannya buruk sedemikian rupa seperti dendeng kata para warga. Di tempat saya ini, sehari-hari warga berbicara dengan bahasa Sasak. Bahasa Indonesia jarang sekali terdengar. Sekali dua dibawa oleh para pedagang bakso dan belakangan oleh televisi.
Hal ini akan menjadi sangat ironis ketika sekolah mengajarkan kepada saya untuk membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia. Sedikit cerita, ketika SMP, sekolah saya menerapkan aturan yang begitu ketat. Seperti di film-film, ada mata-mata bahasa, yang tugasnya mencatat siapa pun yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Satu kali saya pernah diminta membersihkan halaman sekolah yang hampir seluas lapangan sepak bola karena kedapatan berbahasa Sasak.
Sejak itu, saya yang selama SD selalu menggunakan bahasa Sasak, harus belajar benar-benar berbicara dengan bahasa Indonesia. Tiga tahun cukup memberi hasil. Apalagi ketika SMA saya bergaul dengan anak-anak dari lingkungan yang disebut kota itu, dan berlanjut ketika masuk perguruan tinggi. Semasa kuliah, bahasa Indonesia memang mutlak dipakai karena teman-teman di kampus berasal dari berbagai daerah.
Menghabiskan begitu banyak waktu dengan bahasa Indonesia tentu memberi pengaruh dalam pembicaraan sehari-hari. Semasa kuliah, saya jarang sekali pulang kampung. Ketika pulang, atas sebab tidak sadar, keluar saja satu dua kosakata bahasa Indonesia yang seketika membuat para warga tercengang. Berbagai olok-olok pun tak terhindarkan.
“Kamu sudah jadi artis! Wih, bahasa orang di Tipi, jangan lupa daratan,” bahkan ada yang tidak segan-segan menyebut saya sombong dan memberikan nasihat kuno: di atas langit masih ada langit! Astaga!
Saya akhirnya jarang berbicara dan kalaupun bicara sangat berhati-hati, daripada dibilang sombong. Tapi, ada saja kondisi yang tidak memungkinkan untuk menghindari bahasa nasional ini. Misalnya, kalau saya membawa pulang teman-teman saya yang dari berbagai daerah itu. Pasti pakai bahasa Indonesia, kan?
Keadaan menjadi begitu menyebalkan. Ketika berbicara dengan bahasa Indonesia, pasti akan terdengar suara-suara sumbang dari kiri kanan. Tertawa dan kadang tidak tanggung-tanggung ikut meniru. Sehingga saya jadi serba tidak karuan. Berbicara juga salah, dan tidak berbicara pun pasti dipandang salah. Tamu harus diperlakukan seperti raja, diam sedikit sudah dituduh tidak ramah. Tamat sudah jika begitu.
Sebelum saya, ada satu keluarga yang mencoba mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama kepada anaknya. Entah apa motifnya tetapi ada kejadian yang dipandang sangat lucu oleh para warga dan terus diulang-ulang. Suatu ketika, si anak hendak memanjat sebuah pohon. Si ayah melarang, “awas jatuh!” Anak itu tetap bandel. “Awas jatuh kamu nanti!” kata si ayah. Anak itu tetap saja naik, dan tiba-tiba dia sungguhan jatuh. Sontak si ayah berkata, “Noh kan, geran kamu!”
Noh kan geran kamu ini bahasa Sasak yang berarti, tu kan jatuh kamu. Cerita itu diulang-ulang seolah untuk menegaskan betapa tindakan berbahasa Indonesia itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Berbagai pesan moral pun berusaha dipetik dari cerita ini. Entah karena takut atau alasan apa, sampai saat ini tidak ada lagi yang berani macam-macam mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak-anak mereka. Meskipun pendidikan kebanyakan keluarga telah tinggi dan banyak pula yang telah menjadi pegawai di kantor-kantor.
Panggilan kepada orang tua pun dicemooh jika memasukkan unsur bahasa nasional ini. Bapak, ibu, apalagi mama dan papa seperti di sinetron. Seorang teman saya, lagi-lagi teman, bahkan dibicarakan terang-terangan di depannya dan penah ditegur lantaran ia dipanggil bapak oleh anaknya. “Padahal dia amaq kangkung!” kata orang itu. Amaq kangkung ini kira-kira berarti masyarakat biasa, awam, dan sejenisnya.
Di zaman semodern ini, masih saja ada anak yang tidak boleh memanggil orang tua mereka bapak atau dengan panggilan yang keluarga mereka sepakati. Hanya lantaran itu dianggap sebagai panggilan untuk orang-orang kaya, orang kota, dan apa pun itu.
Tentu sebenarnya mempertahankan bahasa daerah itu penting. Bahkan sangat penting. Bahasa Indonesia memang tidak boleh sampai menenggelamkan keberadaan bahasa-bahasa di daerah. Bukankah suatu bahasa dianggap mati ketika tidak ada lagi penuturnya? Terlebih bahasa adalah suatu kekayaan yang bisa menjadi cermin dari suatu cara pikir dan kebudayaan penuturnya. Jadi mempertahankan bahasa daerah mutlak diperlukan. Tetapi tidak perlu juga mengolok-olok orang yang barangkali karena berbagai situasi kondisi dan pertimbangan macam-macam terpaksa menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi sampai menuduh orang sombong dan sok kota.
Anak yang memanggil orang tuanya dengan papa mama pun boleh-boleh saja, tidak perlu ditegur dan dicemooh. Karena selama kita tinggal di Indonesia akan sangat mungkin kita berhadapan dengan situasi yang mana bahasa Indonesia tidak bisa dihindari. Seperti penulisan artikel remeh ini misalnya. Tidak bisa menggunakan bahasa Sasak, kan?
BACA JUGA Ketika Menggunakan Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Malah Ditertawakan dan tulisan Arianto Adipurwanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.