Bagi warga Banyuwangi, Desa Sumberagung di Kecamatan Pesanggaran menjadi magnet berburu cuan. Bukan tanpa alasan, di sana terdapat Tambang Emas Tumpang Pitu yang konon memiliki cadangan emas terbesar di Pulau Jawa.
Tidak heran banyak kalau perantauan yang mengadu nasib di sana. Namun, alih-alih memberi manfaat, tambang ini justru menjadi ancaman bagi mata pencaharian warga sekitar.
Fyi, masyarakat Desa Sumberagung yang berada di pesisir Selatan Banyuwangi banyak menggantungkan hidup dari pertanian dan perikanan tangkap. Dua sektor yang sebelum perusahan tambang datang seakan menjadi urat nadi kehidupan warga pesisir pantai.
Namun, setelah tambang datang, perlahan namun pasti, kerusakan terlihat. Mulai air pantai yang tercemar material blasting yang dilakukan saat memecah batuan gunung untuk di tambang. Hingga lahan pertanian yang terdampak lumpur saat musim penghujan tiba karena gunung sudah digundul.
Niat baik perusahan yang dikira akan membuat warga sejahtera justru berakhir menyedihkan. Ada banyak hal yang luput dari perhatian pemangku kebijakan sehingga warga hanya menjadi penonton rusaknya alam sekitar tanpa menikmati hasil yang dijanjikan.
Warga asli Desa Sumberagung tak selalu bisa jadi karyawan tambang
Di awal eksplorasi, ada klausul yang disepakati mengenai persentase warga lokal yang bisa bekerja di sana. Namun faktanya, jauh dari kenyataan.
Data di lapangan tidak sedikit pemuda Desa Sumberagung memilih merantau ke Bali karena peluang kerja di desa sendiri terganti orang lain. Ya tidak salah, Tambang Tumpang Pitu yang merupakan perusahaan multinasional memang membuka peluang bagi pekerja lain sesuai kualifikasi perseroan meski dari luar Banyuwangi.
Ini membuat peluang warga asli tereduksi. Ibarat anak ayam mati di lumbung padi, para warga Desa Sumberagung lebih memilih peruntukan lain. Salah satunya merantau ke daerah lain. Semacam anomali memang.
Di satu sisi tambang memberikan rezeki bagi perantauan dari luar Banyuwangi. Namun, di sisi lain, justru membuat warga asli tersingkir. Setelah adanya tambang, banyak peluang di Desa Sumberagung mulai hilang. Termasuk pertanian dan perikanan tangkap. Akhirnya warga desa yang harus tersingkir dari tanahnya sendiri untuk pergi ke tempat lain.
Muncul konflik berkepanjangan di Desa Sumberagung dan Banyuwangi yang seakan tanpa solusi
Waspada jika kalian kalian melintas dari Jajag, Gambiran menuju Desa Sumberagung, Pesanggaran ketika malam. Di jalur ini, truk tonase besar akan banyak melintas meski jalurnya tidak sesuai kelas jalan.
Biasanya, jamnya diatur untuk kendaraan keluar dulu dari area tambang di pukul 10 malam. Lalu, menjelang dini hari, iring-iringan truk dari SPBU Petahunan, Jajag, Gambiran akan konvoi hingga masuk areal tambang.
Tidak jarang konflik terjadi ketika konvoi berlangsung. Ada banyak hal yang jadi pemicunya.
Mulai penolakan warga Desa Sumberagung, Banyuwangi, karena truk yang melintas tidak sesuai kelas jalannya. Hingga seringnya jalan yang dilalui mengalami kerusakan namun respons perbaikan berlangsung lambat.
Perbaikan dari pihak tambang hanya berupa tambal sulam tanpa menyelesaikan masalah inti. Sudah tidak terhitung berapa banyak insiden imbas jalan berlubang. Lagi-lagi pengguna jalan yang dirugikan.
Ekosistem hancur, ekonomi rakyat tersungkur
Seperti yang sudah saya singgung di awal, eksplorasi besar-besaran yang dilakukan Tambang Emas Tumpang Pitu membuat sektor pertanian dan perikanan tangkap Desa Sumberagung tersungkur. Gambaran ekosistem yang hancur ini pernah ditampilkan secara nyata oleh Dandhy Laksono dkk saat melakukan “Ekspedisi Indonesia Baru”.
Lewat video berjudul “Tujuh Bukit” yang diunggah satu tahun lalu di kanal YouTube Indonesia Baru seakan mengajak penonton untuk melihat kerusakan yang terjadi setelah eksplorasi bagi akamsi Desa Sumberagung, Banyuwangi.
Implikasi kerusakannya tidak hanya pada alam yang sudah mulai hancur. Bahkan jika dilihat dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer di Selatan lokasi tambang. Tampak bukit yang dulu menjulang tinggi kini sudah separuhnya terpotong.
Bahkan di beberapa video yang beredar proses blasting yang dilakukan membuat material batu dan tanah mencemari pantai selatan yang merupakan rumah pencari nafkah bagi para nelayan Banyuwangi.
Jadi tidak heran kalau nelayan semakin jauh memilih lokasi tangkapan ikan. Tidak hanya itu saja imbas pencemaran beberapa wisata di selatan Banyuwangi juga terancam akibat kerusakan lingkungan.
Ya begitulah dinamika yang dialami warga Desa Sumberagung di Kabupaten Banyuwangi. Daerah yang dulunya disebut gemah ripah loh jinawi kini harus berakhir menjadi ironi. Utamanya bagi warga asli, ingin kerja di tambang tapi tidak dibutuhkan.
Tetap dengan mata pencaharian awal semuanya sudah mulai menunjukkan kerusakan. Apesnya, pemangku kebijakan di Pemda Banyuwangi seakan tutup mata dan enggan memberikan solusi nyata. Dan alam serta warga akan selalu jadi tumbal.
Penulis: Ferika Sandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tambang Emas Tumpang Pitu, Mimpi Buruk yang akan Menghantui Warga Banyuwangi di Masa Depan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















