Derita Tinggal di Pertashop: Bisnis Warisan yang Meresahkan

Derita Tinggal di Pertashop- Sebuah Warisan yang Meresahkan (Foto milik penulis)

Derita Tinggal di Pertashop- Sebuah Warisan yang Meresahkan (Foto milik penulis)

Ini adalah kisah nyata yang saya alami di usia 23. Yah, sekarang sih masih usia segitu juga hehe. Inilah kisah suami dan istri yang “terjebak” oleh bisnis keluarga menjaga sebuah Pertashop yang jauh dari permukiman warga. Suami dan istri yang sebetulnya enggan melakukannya, tapi tidak punya pilihan karena ini adalah harapan dari seorang ibunda.

Sebelumnya saya mau minta maaf karena cerita Prestashop terus. Kisah kali ini masih kelanjutan dari tulisan yang tidak pernah saya duga tembus di rubrik Esai Mojok. Tulisan itu berjudul “Pertashop: Bisnis Halu yang Kata Agen Pertamina Bisa Bikin Sugih, tapi Nyatanya Perih”. Saya ceritakan lagi karena masih banyak keluhan terhadap bisnis meresahkan ini.

Satu cerita yang belum saya ceritakan adalah lokasi Pertashop milik bapak saya. Jadi, lokasi bisnis keluarga saya ini letaknya jauh dari permukiman. Kata agen dari Pertamina, lokasinya memang jangan dekat dengan permukiman. Sampai-sampai bapak saya pernah ditolak gara-gara mengusulkan lokasi yang dekat dengan rumah warga.

Lokasi Pertashop yang “menyedihkan”

Perlu pembaca ketahui, Pertashop di mana saya jadi satu-satunya pegawai, juga menjadi tempat tinggal saya dan istri. Iya, sebuah “rumah” yang jauh dari kata layak.

Tempat saya berumah tangga saat ini sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari permukiman. Kadang-kadang saya jumatan jalan kaki kok saat motor sedang dipakai istri, meskipun sebenarnya agak sedikit menggeh-menggeh. Rumah terdekat dari bangunan yang rencananya bakal jadi kantor ini sekitar 100 meter.

Di seberang jalan, tepatnya sisi timur dari Pertashop, ada kebun pisang yang entah punya siapa. Pisangnya banyak yang busuk, tidak ada yang memanen. Banyak paranormal experience yang menjelaskan bahwa kebun pisang adalah tempat kesenangan si “hantu permen”. Tapi hingga sekarang, belum pernah sekali saja saya melihat keberadaan hantu yang menurut saya bentuknya lucu itu.

Nah, di samping kebun pisang itu ada rumah tingkat kosong yang belum rampung dikerjakan. Katanya, si pemilik rumah yang belum layak huni itu merantau ke Batam. Kadang-kadang, burung hantu berwarna putih terlihat di atap. Suasana malam jadi tambah seram saja.

Selatannya, ada bengkel yang malamnya ditinggal oleh pemiliknya. Mas Yono namanya. Dia hanya bermalam di bengkel itu saat malam bulan Ramadan saja, selebihnya pulang ke rumah aslinya.

Utara dan barat, ada sawah Mbah Darmo yang saya sebut pegiat tani yang baik hati. Sawah yang hanya ditanami singkong ini mangkrak setelah panen jagung beberapa bulan lalu. Mungkin karena beliau punya banyak sawah sehingga sawahnya yang berada di pinggir jalan ini kurang begitu terurus.

Di sawah yang kurang terurus ini rumput-rumput tumbuh meninggi. Membuat wujud sawah didominasi semak, sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi hewan-hewan yang hidup perlu kelembaban. Sekitar 100 meter ke arah barat dari sawah Mbah Darmo, ada hutan jati yang membuat Pertashop ini semakin tak layak huni.

Alasan saya mau menghuni tempat yang tidak layak ini 

Dibilang mau sebenarnya tidak juga. Semua ini karena terpaksa. Sebelumnya saya tinggal di sini sendirian, tapi alhamdulillah, Mei tahun kemarin saya menikah dan istri saya ngikut saya di sini. 

Paksaan datang dari ibu saya sendiri. Beliau sangat khawatir terjadi sesuatu kepada usahanya yang jauh dari permukiman warga ini. Meskipun sudah membayar iuran keamanan 500 ribu rupiah per tahunnya, sepinya jalan di malam hari membuat hati ibu saya was-was jika Pertashop ini ditinggal pergi. 

Sebenarnya saya juga tidak tahu harus apa ketika ada pelaku kriminal yang datang di malam hari. Mau melawan tapi nggak pernah ikut beladiri. Mau tidak melawan, trus apa gunanya kami di sini? Tapi, ketimbang dikutuk karena tidak taat kepada ibu sendiri, saya menyanggupinya.

Penderitaan yang tidak saya ceritakan ke ibu

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bangunan dua petak ini sebenarnya difungsikan sebagai kantor agar lebih terlihat seperti Pertashop. Namun, lambat laun, bangunan ini beralih fungsi setelah barang-barang berharga seperti persediaan uang kembalian, tabung elpiji dan alat pengukuran takaran BBM yang harganya melebihi gaji satu sif gaji operator swasta pada umumnya, mulai berdatangan

Tempat yang awalnya hanya sebagai tempat transit sambil mengawasi pegawai, ya saat dulu punya pegawai sekarang nggak, kini berubah menjadi tempat saya membangun rumah tangga. Meskipun banyak halangan dan rintangan dari semak yang menjalar dari sawah belakang ke atap baja ringan Pertashop melalui dinding dan tembaga grounding.

Beragam binatang hidup bersama kami di sini. Semak-semak yang menjalar di tembok belakang sering memberikan kejutan. Kejutan yang pertama saya terima adalah adanya makhluk yang kami beri nama Biacil, seekor biawak cilik yang entah sejak kapan menjadi imigran gelap di tempat tinggal kami. 

Baca halaman selanjutnya

Hidup bersama hewan-hewan “eksotis”

Hidup bersama hewan-hewan melata

Saat itu saya sedang santai sambil mengawasi karyawan. Tiba-tiba saya dikejutkan dengan hewan dengan kepala berbentuk segitiga. Awalnya saya tidak yakin itu hewan apa. Namun, setelah baca-baca, saya jadi tahu kalau itu biawak. Menggunakan bantuan sapu dan cikrak, saya beranikan diri mengusirnya meskipun sedikit terjadi histeria.

Selain Biacil, ada juga sepasang ular cecak yang dikenal sebagai pemangsa cicak. Ia ditemukan istri saya di langit-langit kamar mandi, yang hanya berupa baja ringan tanpa plafon. Ular itu hinggap di pojokan. 

Untungnya kami berdua berhasil mengusir ular itu dengan rasa penuh ketakutan. Setelah kami buang, keesokan harinya ada ular yang sama, mungkin pasangannya yang nggak terima.

Pertashop yang penuh “jebakan”

Selain dua hewan berdarah dingin tersebut, Pertashop kami juga sering dikunjungi beberapa hewan berbahaya seperti lipan dan kalajengking. Biasanya mampir di kamar mandi hingga jemuran baju. 

Pernah suatu ketika, saya merasa ada sesuatu di dalam celana saya saat sedang jumatan. Saya merogoh celana saya dari bawah dan mendapati adanya kalajengking berukuran sedang. Gokil.

Selain hewan berbahaya, istri saya sering teriak karena merasa jijik dengan cacing besar dan kaki seribu yang menjadi tamu sehari-hari. Sebagai suami yang baik dan sayang istri, saya mengusirnya dengan sigap. Masalahnya, hewan-hewan itu hampir setiap hari. Mungkin karena betah. 

Yah, walaupun geli dengan lipan, saya harus jadi suami yang ikut histeris. Mengingat istri sangat histeris, saya juga harus ikutan. Demi terjaganya stabilitas rumah tangga, lur.

Pesan untuk ibu

Itulah curhatan saya dan istri selama menjalankan amanah menjalankan bisnis keluarga yang meresahkan ini. Semoga ibu saya membaca tulisan ini supaya mengerti betapa “mengerikan” hidup di Pertashop dan tidak memaksa kami lagi. 

Apalagi saat ini istri saya sedang hamil besar. Saya jadi berpikir bagaimana jadinya kalau anak saya lahir dan hidup di tempat tidak layak huni ini. hmm, amit-amit jabang bayi.

Penulis: Muhammad Arif Prayoga

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sisi Gelap dari Pekerjaan Menjaga Pertashop Milik Bapak Sendiri

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version