Derita Punya Rumah Dekat SMP Negeri

Derita Punya Rumah di Dekat SMP Negeri

Derita Punya Rumah di Dekat SMP Negeri (Unsplash.com)

Lagu dari God Bless yang berjudul “Rumah Kita” adalah salah satu lagu favorit saya yang sering diputar di rumah. Lagu ini memberi pesan bahwa tiada tempat yang paling nyaman di dunia ini selain rumah. Di rumah, kita bebas menjadi diri kita sendiri tanpa topeng dan nggak perlu pencitraan.

Salah satu faktor kenyamanan terhadap situasi di rumah selain kebebasan menjadi diri sendiri adalah lingkungan sekitar. Letak sebuah rumah biasanya menjadi salah satu pertimbangan utama seseorang sebelum membangun atau membeli tempat tinggal. Hal ini nggak bisa dipandang sebelah mata, Gaes. Kalau lingkungan sekitar kita nggak sehat dan bising, tentu berpotensi mengganggu kenyamanan keluarga kita. Kalau rumah sudah nggak nyaman, ke mana lagi kita harus mencari tempat berlindung?

Kebetulan rumah tempat tinggal saya berdekatan dengan sebuah sekolah. Tepatnya sebuah SMP negeri. Posisi sekolah tersebut berada persis di seberang rumah saya. Jangan dikira punya rumah dekat dengan sekolahan menyenangkan, ya. Memang menyenangkan sih kalau saya bersekolah di sekolah tersebut. Kan deket banget kalau mau berangkat sekolah. Tapi, khusus kali ini saya mau menceritakan penderitaan yang saya alami karena tinggal di dekat instansi pendidikan, utamanya SMP negeri.

Teras rumah jadi lahan parkir

Seperti yang saya bilang sebelumnya, rumah saya berada persis di seberang sebuah SMP negeri. Kebetulan para siswa yang bersekolah di SMP tersebut boleh membawa motor. Sebab, nggak ada kendaraan umum yang melintas di sini. Dulu pernah ada sih angkutan desa yang menjadi moda transportasi umum di daerah saya, tapi kini sudah nggak beroperasi lagi.

Sebelum ada parkiran desa, teras depan saya jadi salah satu tempat favorit para siswa memarkirkan motor mereka. Bukan cuma teras depan saya yang jadi area parkir dadakan, sebelah kanan, kiri, hingga bagian belakang rumah saya pun penuh motor para siswa. Kadang bapak saya sampai kesulitan mau mengeluarkan mobil dari garasi saking banyaknya motor siswa yang numpang parkir.

Baca halaman selanjutnya

Jadi basecamp siswa yang bolos…

Jadi basecamp siswa yang bolos

Letaknya yang strategis membuat rumah saya sering dijadikan tempat membolos para siswa SMP negeri yang ada di seberang. Kadang, para siswa ini beralasan enggan mengikuti pelajaran karena malas bertemu gurunya. Bahkan, sesekali ada juga di antara mereka yang mencuri-curi waktu sambil merokok di belakang rumah saya.

Pernah suatu hari guru SMP tersebut menggerebek rumah saya, lho. Kan orang tua saya jadi nggak enak sama gurunya. Takutnya dikira orang tua saya mengajari para siswa ini membolos. Padahal ibu saya sebenarnya juga risih dengan kehadiran mereka, sih.

Banyak sampah

Lantaran dijadikan area parkir dadakan dan basecamp membolos para siswa, rumah saya jadi ramai. Biasanya keramaian terjadi saat jam berangkat sekolah, jam istirahat, dan jam pulang sekolah. Para siswa ini kadang membuang sampah sembarangan di sekitar rumah saya. Mending kalau beli jajannya di warung ibu saya, lha seringnya beli jajannya di warung kelontong lain. Beli jajannya di mana, buang sampah di mana. Duh.

Berisik

Kalau risiko yang satu ini memang nggak bisa dimungkiri. Punya rumah dekat sekolahan, contohnya rumah saya yang berseberangan dengan SMP negeri, memang harus tebal telinga. Sejujurnya, saya paling nggak suka kalau ada siswa yang ke sekolah naik motor dengan knalpot bobokan. Saya pernah kebangun saat sedang asyik-asyiknya tidur siang. Mau saya marahin, tapi kasihan. Kalau nggak dimarahin, kok para siswa itu makin kurang ajar.

Nggak punya privasi

Saya sudah bilang kan kalau rumah saya sering jadi tempat parkiran para siswa SMP negeri yang membawa motor ke sekolah? Nah, gara-gara parkiran motor ini saya dan anggota keluarga lainnya jadi nggak punya privasi.

Kebetulan toilet saya terletak di belakang rumah dan hanya disekat dengan bilik bambu. Suatu ketika, saya sedang buang air besar, eh, tiba-tiba ada segerombolan siswa datang sepertinya hendak mengambil motor mereka yang diparkir di belakang. Alhasil saya nggak bisa cebok sampai mereka pergi.

Selain itu, saya juga merasa canggung kalau menjemur pakaian, apalagi daleman. Duh, mosok jadi tontonan para siswa yang nongki di belakang, sih? Beneran deh, saya seperti nggak memiliki ruang gerak sama sekali meski di rumah sendiri.

Itulah beberapa penderitaan yang saya alami selama ini. Satu hal yang membuat saya tetap bertahan tinggal di sini adalah karena melihat kesabaran bapak ibu saya yang cuma bisa menghela napas dan tersenyum melihat tingkah para siswa yang aneh dan nyeleneh.

Kalau kalian tinggal di mana, Gaes? Apa penderitaan yang kalian rasakan?

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 3 Derita Punya Rumah di Gang Kecil.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version