Jadi fresh graduate Sastra Indonesia itu rasanya kayak nyemplung ke kolam renang… tapi yang lain udah bawa pelampung canggih, sementara aku cuma bawa ban bekas. Buka Jobstreet, Glints, atau LinkedIn, isinya lebih mirip brosur kursus coding: software engineer, data analyst, front-end developer, UI/UX designer. Rasanya dunia kerja lagi bikin pesta, tapi yang diundang cuma anak IT.
Padahal aku ini lulusan Sastra Indonesia. Laptop kubuka bukan buat ngoding, tapi buat nulis puisi rindu. Background-ku jelas bukan Python atau Java, melainkan PUEBI dan Sapardi. Ironisnya, semakin rajin aku apply, semakin sadar kalau lowongan kerja buat jurusan kayakku itu mirip gerhana-langka, cepat hilang, dan kalau pun ada, persaingannya bisa bikin nangis di pojokan.
Dunia Lowongan: IT Everywhere
Ya, wajar sih kalau industri sekarang lebih doyan anak IT. Startup, e-commerce, fintech – semuanya berlomba cari coder andal. Tapi aku sering kepikiran: kalau semua perusahaan sibuk rekrut anak IT, siapa nanti yang bikin caption Instagram mereka? Masa tagline skincare harus pakai algoritma machine learning
Di titik ini, jadi fresh graduate Sastra Indonesia (dan sastra lainnya) berasa kayak minoritas. Lowongan buat content writer, editor, atau jurnalis ada sih, tapi sedikit banget dibanding banjir lowongan IT. Kadang lowongannya juga ngeselin: tulisannya “fresh graduate welcome,” tapi syaratnya “pengalaman minimal 2 tahun.” Lah, fresh graduate dari alam mana?
Pengalaman apply yang ngenes
Aku udah apply ke belasan, bahkan puluhan lowongan: penerbitan, media, sampai startup kecil. Hasilnya? Rata-rata berhenti di tahap “terima kasih sudah melamar, kami akan segera menghubungi Anda”, dan itu sudah berbulan-bulan jadi ghosting HR paling abadi.
Kadang aku mikir, mungkin HR liat CV-ku, baca “Sastra Indonesia”, terus langsung berhalusinasi: “Oh, ini pasti anaknya jago bikin puisi galau, bukan bikin laporan.” Atau yang lebih parah, mereka kira aku cuma cocok jadi guru les bahasa. Padahal, skill analisis teks, riset budaya, sampai bikin artikel – itu semua nyata adanya. Cuma, ya… kayaknya mereka lebih percaya sama Python ketimbang PUEBI.
Sastra Indonesia (dan sastra lainnya) juga punya nilai
Sekarang semuanya serba digital. Tapi bukan berarti anak Sastra jadi nggak relevan. Justru di tengah banjir data, orang butuh narasi. Orang butuh cerita. Orang butuh konten yang nyambung ke hati, bukan cuma angka di dashboard.
Anak IT mungkin bikin aplikasi canggih, tapi siapa yang bikin kata-kata promosi biar pengguna tertarik? Anak IT bisa desain interface kece, tapi siapa yang nulis microcopy biar tombolnya nggak terdengar kayak notifikasi BPJS? Nah, di titik itu anak Sastra harusnya tetap punya ruang. Masalahnya, ruang itu sering disingkirkan ke pojokan, kayak aku di pesta kawinan mantan, hmm.
Kadang aku membayangkan dunia kerja masa depan: HRD buka rekrutmen “Dicari Back-end Developer, wajib bisa bikin cerpen minimal 3 halaman.” Atau “Lowongan Content Writer, harus bisa ngoding Python.” Kalau sampai kejadian, mungkin aku harus kursus IT sambil tetap setor puisi ke redaksi (yang entah kapan dilirik).
Jujur aja, banyak lulusan Sastra akhirnya banting setir: jadi admin, customer service, sampai marketing produk. Ya nggak salah sih. Hidup butuh makan, bukan sekadar diksi. Tapi keresahan tetap ada: kenapa kontribusi ilmu humaniora sering diremehkan, padahal penting banget?
Akhirnya, jadi fresh graduate Sastra Indonesia di era “Codingland” ini memang harus tahan banting. Dunia kerja tampak penuh algoritma, tapi bukan berarti pintu buat kita beneran ketutup. Kita masih bisa menulis, mengedit, bikin konten, atau malah bikin ruang kreatif sendiri.
Lulusan IT mungkin sibuk menata barisan kode. Tapi jangan lupa: dunia tetap butuh kata-kata. Dan di situlah kami, anak-anak Sastra, masih berdiri-meski kadang cuma berdiri di pojok ruangan pesta, sambil nunggu ada yang ngajak ngobrol.
Penulis: Nilla Putri Anggraini
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
