Saat pertama kali pindah ke Depok, saya tidak tahu harus berekspektasi seperti apa. Teman-teman saya langsung bercanda seolah saya baru saja memutuskan tinggal di planet lain. “Seriusan, lo tinggal di Depok?” atau “Gimana rasanya hidup di dimensi lain?” adalah reaksi yang paling sering saya dengar.
Stigma tentang Depok di internet memang nggak main-main. Dari kisah absurd soal buaya yang tiba-tiba muncul di got, ular sanca melintas di jalan, hingga biawak yang santai nongkrong di depan rumah orang.
Tapi setelah tiga bulan, saya sadar satu hal: Depok memang absurd, tapi itu yang bikin dia menarik.
Daftar Isi
Stigma dan keabsurdan Depok di internet
Saya akui, sebelum pindah ke sini, saya juga sempat skeptis. Depok sering digambarkan sebagai kota dengan tata kota yang kacau, lalu lintas yang bikin stres, dan hal-hal aneh yang nggak bisa dijelaskan dengan logika. Namun, ada satu hal yang tidak bisa disangkal: Depok adalah pusat dari kejadian-kejadian paling absurd yang pernah terjadi di Indonesia.
Coba saja cari di internet, dan akan muncul daftar panjang insiden unik yang pernah terjadi di kota ini. Dari legenda Babi Ngepet yang sempat menghebohkan warga, hingga kemunculan “Babi Ngepet Reborn” yang kembali memicu kehebohan. Lalu ada juga kisah tentang Nabi Palsu, tuyul yang katanya berkeliaran, hingga Winardi yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Bahkan, kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan terjadi di Depok, semakin memperkuat citra kota ini sebagai tempat penuh kejutan.
Depok itu seperti kota yang hidup di dalam alam semesta sendiri, di mana hal-hal yang tidak masuk akal bisa terjadi kapan saja. Dari orang yang tiba-tiba berantem di pinggir jalan tanpa alasan jelas, anak kecil kecebur got, sampai peristiwa aneh seperti kambing tiba-tiba nyasar di jalan raya. Tapi di situlah daya tariknya. Depok itu unik, aneh, tapi justru bikin betah kalau sudah terbiasa.
Belajar sabar dan ikhlas
Kemacetan di Margonda? Jangan ditanya. Itu sudah bagian dari ujian kesabaran sehari-hari. Tapi kalau sudah tahu triknya, hidup di Depok jadi lebih mudah. Saya mulai terbiasa mencari jalur alternatif dan mengatur waktu bepergian agar nggak kena macet parah. KRL Commuter Line juga jadi penyelamat, walaupun harus siap mental buat desak-desakan di jam sibuk.
Yang menarik, meskipun lalu lintasnya bisa bikin frustrasi, Depok masih punya ruang buat orang-orang yang mau menikmati hidup dengan santai. Ada banyak sudut kota yang ternyata nyaman untuk dijelajahi, kalau kita mau meluangkan waktu mencarinya.
Menerima dan menikmati Depok
Kuncinya adalah penerimaan. Depok memang bukan kota yang sempurna, tapi justru di situlah letak pesonanya. Saya mulai terbiasa melihat kejadian unik setiap hari—kadang lucu, kadang bikin geleng-geleng kepala. Dari pengamen dengan lagu-lagu absurd, pedagang yang teriak jualan dengan cara unik, sampai kejadian-kejadian tak terduga yang bikin hari selalu menarik.
Tiga bulan di Depok mengajarkan saya bahwa keindahan sebuah tempat bukan hanya soal fasilitas atau pemandangan, tapi juga soal bagaimana kita menerimanya. Kota ini mungkin penuh absurditas, tapi dengan cara yang aneh, justru itulah yang membuatnya terasa hidup. Depok bukan sekadar tempat tinggal, tapi pengalaman yang terus berjalan dan nggak pernah membosankan.
Penulis: Azyd Aqsha Madani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Depok: Antara Cimanggis yang Ngebut, Sawangan yang Sumpek, dan Margonda yang Nggak Ada Lawan