Saat berbelanja di Alfamart, Indomaret atau minimarket lainnya, kita tentu sering menemukan price tag dengan harga yang “nanggung” atau tidak dibulatkan, sebut saja seperti mi instan yang dijual dengan harga Rp2.300 atau barang lainnya yang berakhiran ratusan perak. Meski begitu, minimarket juga tidak sembarangan membuat harga seperti itu. Mereka siap menerima konsekuensi dengan menyiapkan kepingan uang receh ratusan perak dalam jumlah yang banyak. Kita juga tak perlu sungkan untuk membayar belanjaan dengan satu kresek uang receh pecahan 1000, 500, 200, atau bahkan 100 perak. Mereka akan dengan telaten dan senang hati menghitungnya.
Akan tetapi setahun belakangan ini, saya sering sekali mengalami penolakan oleh berbagai UMKM saat hendak melakukan pembayaran mata uang rupiah dengan koin di bawah Rp500. Bukan hanya sekali dua kali saja, bahkan berkali-kali sampai tidak terhitung jumlahnya. Mulai dari kaki lima penjaja makanan dan minuman, warung kelontong, dan yang lainnya.
Saya juga sempat kesal saat oknum pegawai pom bensin di mana saya biasa menukar uang receh dengan bahan bakar juga melakukan penolakan. “Maaf, Mas, uangnya sudah nggak laku, ditukar saja dengan uang yang lain,” ucap oknum tersebut sama persis dengan pedagang-pedagang yang menolak uang receh. Sontak saja saya beri selembar uang seratus ribu agar tidak terjadi keributan lebih lama.
Padahal, pemerintah telah memiliki peraturan terkait penggunaan mata uang yang terkandung di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, masyarakat yang menolak uang koin rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual-beli bisa dikenakan sanksi.
Pasal 23 UU Mata Uang berbunyi: (1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian rupiah.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis
Adapun sanksi bagi setiap orang yang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) UU mata uang. Dalam pasal 33 ayat (2) tersebut orang yang menolak pembayaran dengan mata uang dipidana dalam kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta. Penolakan pembayaran dengan uang hanya boleh dilakukan ketika terdapat keraguan atas keaslian rupiah.
Saya tak akan membahas terlalu detail dari segi hukum. Toh, masih banyak soal pelanggaran uang lainnya seperti mencoret-coret, membakar, merobek, melebur, bahkan memalsukan uang juga masalah yang bikin pusing kalau dibahas.
Yang saya bingungkan adalah para pelaku usaha yang menolak transaksi menggunakan uang receh. Memangnya ada yang salah dengan uang tersebut? Kok sampai berani-beraninya mengatakan uang koin bernilai kecil sudah nggak laku lagi? Apa mereka merasa dagangannya sudah laris manis sehingga menolak pembayaran dengan uang receh?
Atau anggap saja jika salah satu yang menolak penggunaan koin receh ini adalah abang cilok dan penjual es cincau, mungkin saya berbaik sangka mereka lebih senang pembelinya menggunakan debit card atau dompet digital supaya lebih kekinian sebagaimana restoran-restoran besar.
Andaikan efisiensi tempat dan soal ribetnya uang receh menjadi alasan, mungkin para pedagang itu berpikir bahwa membawa pulang dagangan yang tidak laku atau membiarkan stok tidak keluar gudang itu lebih simpel dibandingkan harus berurusan dengan uang-uang receh yang cukup banyak jumlahnya.
Yang saya tanyakan adalah bagaimana jika pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada para mereka dengan uang receh, katakanlah Rp1 juta, apakah mereka akan tetap mengatakan uang receh tidak memiliki nilai atau tidak laku? Saya rasa, mereka tiba-tiba akan amnesia soal pernyataan tentang uang receh yang tidak laku dan tetap mengambil bantuan tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan jika para penolak uang receh itu mengalami sebuah masalah ekonomi sehingga uangnya benar-benar habis dan kelaparan. Mereka akan sangat menyesal karena tidak bisa mengais uang receh yang tercecer untuk ditukar dengan satu kilo beras atau beberapa bungkus mi instan.
Sebelum tulisan ini berakhir, saya hanya mengingatkan kepada para pelaku usaha UMKM, atau bahkan pedagang kecil untuk belajar dari para kapitalis. Mereka menghargai nilai mata uang. Hal itu dibuktikan dengan pelayanan mereka yang menerima transaksi dengan nominal kecil sekalipun. Mereka percaya bahwa yang sedikit jika dikumpulkan terus menerus akan menjadi banyak nantinya.
Coba saja Anda pergi ke dealer motor dengan pick up bermuatan uang receh puluhan juta. Saya yakin dealer akan menerima dengan senang hati sebagaimana yang pernah dilakukan oleh beberapa customer dalam tahun-tahun belakangan ini. Pihak dealer pun akan menghitung uang tersebut dengan telaten walau akan memakan waktu yang lama.
Kita juga dapat berpikir, berapa puluh juta uang donasi yang dikumpulkan hasil kembalian “receh” para pelanggan minimarket, berapa ratus juta pula yang dihasilkan dari dua ratus perak untuk selembar kantong plastik yang dibeli konsumen, berapa miliar uang pajak yang berhasil dikumpulkan dari receh Pajak Pembangunan Negara (PPN) restoran dan lainnya. Ingat! uang satu juta pun akan disebut sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus jika kurang seratus rupiah.
Jadi, jika ingin bisnis kecil yang Anda kelola menjadi besar, jangan pernah remehkan uang bernominal kecil berapa pun jumlahnya. Karena yang sedikit jika dikumpulkan secara terus menerus tentunya akan menjadi banyak. Jika Anda merasa hal itu merepotkan, berpikirlah bahwa bisnis yang Anda bangun juga dilalui dengan berbagai hal yang merepotkan, dan pada akhirnya hampir semua bisnis didirikan bertujuan untuk mmenghasilkan uang.
BACA JUGA 3 Tempat yang Cocok untuk Tukar Uang Receh.