Di tengah bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sebagian wilayah Gunungkidul akhir-akhir ini, Pemkab berencana ingin mengurangi kawasan bentang alam karst Gunung Sewu. Kawasan karst seluas 75.835, 45 hektar itu akan dikurangi menjadi 37.018, 06. Katanya, pembukaan lahan ini dilakukan untuk pembangunan wisata dan perbaikan infrastruktur.
Gunung Sewu sendiri merupakan kawasan krast yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Global Geopark Network (GGN) pada 2015 lalu. Kawasan ini mencakup tiga segmen, yang meliputi Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Dari tiga segmen tersebut, hanya Pemkab Gunungkidul saja yang berinisiatif untuk “menghancurkan” sebagian perbukitan itu. Sungguh keputusan brilian!
Rencana pengurangan kawasan karst ini ditolak banyak pihak, terutama para pemerhati lingkungan, karena berpotensi merusak ekosistem lingkungan. Mengingat karst dinilai bisa menahan air, maka dikhawatirkan dengan dihancurkannya sebagian bukit ini akan membuat air bawah tanah semakin berkurang dan hilang.
Buat saya pribadi, agenda Pemkab Gunungkidul ini sangat ironi. Kok bisa, ada rencana seperti ini di daerah yang notabene rentan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Terlebih usulan ini mencuat saat sebagian warga Gunungkidul masih berjuang bangkit dari keterpurukan akibat bencana longsor beberapa waktu lalu. Bukannya membantu warga yang terkena dampak tanah longsor dan berupaya menanggulangi bencana, malah membahas hal-hal yang justru berpotensi merusak lingkungan serta meningkatkan risiko bencana alam. Pitikih.
Rencana menyengsarakan warga
Dengan dalih membangun wisata dan meningkatkan taraf ekonomi, Pemkab terkesan (berusaha) membodohi warga demi keuntungan segelintir orang saja. Kalau alasannya untuk pembukaan wisata demi menyejahterakan warga, tentu terjadi cacat logika yang cukup fatal. Sebab, selama ini sebagian warga Gunungkidul cuma jadi penonton saja di tengah wisata yang semakin mendunia. Ini serius!
Sebagai warga Gunungkidul, saya sudah sangat kenyang dengar istilah “demi meningkatkan taraf ekonomi warga” dari para pembuat kebijakan. Dengan alasan itu, pemerintah seolah punya hak berbuat apa saja, termasuk “memperkosa” bentang alam Bumi Handayani. Padahal, melihat fakta di lapangan, proyek seperti ini (biasanya) justru bakal semakin menyengsarakan warga.
Ya, usulan pengurangan kawasan karst tentu jadi ancaman nyata bagi masyarakat Gunungkidul. Kita tahu, karst memiliki fungsi utama sebagai penyimpanan air. Jika rencana pengurangan bentang karst ini benar-benar terjadi, jelas berpotensi akan mengurangi sumber air yang ada di dalamnya. Dan nggak menutup kemungkinan tanah kelahiran saya bakal makin rentan kekeringan, yang setiap tahun jadi momok menakutkan.
Rencana pengurangan kawasan karst ini juga bukti nyata ada upaya eksploitasi alam yang dilakukan secara terang-terangan oleh pihak Pemkab. Kegiatan ini disinyalir bakal merusak instalasi pengelolaan sungai bawah tanah yang ada di Goa Bribin I, Goa Seropan, Bribin Baron, dan Bribin II. Padahal, unuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian warga Gunungkidul sangat bergantung dengan instalasi sumber air tersebut.
Lagian sudah tahu daerah ini rawan kekeringan, lha kok malah bikin wacana yang justru berpotensi mengurangi sumber air, piye sih jane logikane?
Gunung Sewu ora didol!
Dengan berat hati harus saya katakan, Pemkab Gunungkidul tampaknya memang sudah kehilangan nurani. Ketika sebagian warga tengah berjuang bangkit dari keterpurukan akibat bencana tanah longsor, mereka justru sibuk berencana mengeksploitasi alam. Sebuah keputusan yang amat, sangat, disayangkan karena kurang memahami mana prioritas dan terkesan nirempati.
Jujur, melihat fenomena ini, saya jadi curiga, apakah di balik keputusan ini ada peran pemodal rakus yang berusaha mengambil semua lahan di Gunungkidul?
Kalau itu benar-benar terjadi, jelas, Gunung Sewu dalam kondisi darurat. Sebab, di mata para investor “lapar”, kekayaan alam yang dimiliki Gunungkidul adalah ladang subur menumpuk pundi-pundi uang. Demi memuaskan hasratnya, para cukong nggak segan-segan merusak ekosistem di Gunungkidul. Dan sudah pasti, warga dan anak cucu nanti yang bakal menelan pil pahit dari proyek ambisius ini.
Lihat saja pembangunan taman kota di kawasan Bukit Patuk itu. Demi mempercantik kota dan “menghibur wisatawan”, puluhan tanaman bambu segitu banyaknya harus dibabat habis, lalu digantikan proyek betonisasi. Padahal kita tahu, tanaman bambu merupakan mitigasi bencana alami yang mampu mencegah banjir dan tanah longsor. Tak ayal, beberapa waktu lalu, tanah longsor benar-benar terjadi di kawasan bukit ini.
Apa yang kini tengah terjadi di Bukit Patuk adalah contoh kecil dari perilaku manusia rakus yang cuma mementingkan perutnya sendiri. Wacana pengurangan kawasan wisata karst tentu juga akan menambah daftar panjang masalah lingkungan di Gunungkidul. Tanpa melibatkan para pemerhati lingkungan, Pemkab acap kali tampak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu selalu merugikan warga.
Keinginan warga Gunungkidul itu sebenarnya sangat sederhana. Kami cuma pengin hidup tenang dan tentram tanpa dibayang-bayangi “kutukan alam” akibat tangan-tangan berlumur darah yang terus-terusan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Ya, tanah di Bumi Handayani tidak dijual! Kami, warga Gunungkidul, masih ingin melihat anak-cucu tumbuh sehat dan bisa menghirup udara segar di sekitar rumah. Bukan kepengapan yang keluar tembok-tembok menjulang penuh kepulan asap. GUNUNG SEWU ORA DIDOL!
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja (Sudah Tidak) Istimewa, Gunungkidul (Tetap) Merana