Baru beberapa jam lalu, saya melihat sebuah video dari Opini yang menyoroti bagaimana kultur dangdut koplo yang kini semakin menggila. Genre yang awalnya dimainkan di kampung-kampung, dengan penonton kelas menengah, kini sudah marak dijumpai di bar, klub, atau gigs-gigs gaul anak muda. Dangdut koplo yang dianggap sebagai identitas atau salah satu musik khas Indonesia kini dikatakan sudah mengalami pergeseran strata sosial. Peralihan pemain, penonton, hingga penikmatnya inilah yang menyebabkan anggapan genre musik ini naik kelas, marak tersebar.
Salah satu penyebabnya adalah Feel Koplo, duo pemandu lagu, yang menyuguhkan musik rekayasa digital (mengubah musik-musik populer dari genre lain menjadi musik koplo) sejak tahun 2018. Feel Koplo secara gamblang menggiring musik koplo masuk ke dalam ruang-ruang yang sebelumnya tak menyediakan tempat untuk musik koplo. Mulai dari bar-bar di kawasan Senopati, hingga festival musik skala internasional sudah pernah dijamah oleh Feel Koplo. Akibatnya, orang-orang yang tadinya anti atau jijik dengan musik koplo, sekarang akan bergoyang sukarela menikmatinya.
Kultur anak muda saat ini yang lebih memilih membeli selera daripada membeli barang, menjadi pasar yang menjanjikan untuk Feel Koplo. Apa yang disajikan duo ini bukan sebuah penampilan artistik semacam live music, atau skill memainkan instrumen di atas panggung. Mereka hanya menyuguhkan pengalaman menikmati musik koplo, di tempat-tempat yang cenderung asing untuk musik koplo itu sendiri. Entah itu bar, klub, atau panggung festival musik.
Tren seperti ini memang sedang menjamur. Ketika tempat-tempat musik lebih memilih menghadirkan penampilan musik seperti ini, dengan format duo/trio yang memutar musik dari pemutar musik, bukan dari instrumen musik. Apalagi dengan musik-musik seperti dangdut koplo yang notabene nggak sesuai dengan tempat seperti bar-bar atau klub malam.
Tapi anggapan bahwa genre musik ini naik kelas sepertinya agak kurang benar menurut saya. Mengapa begitu? Karena ini fenomena yang wajar bila sebuah genre musik atau tren musik sedang hingar bingar dan digandrungi anak muda. Sudah banyak genre musik atau tren musik yang mengalami masa seperti apa yang dialami dangdut koplo saat ini. Meroket, digandrungi anak muda, dimainkan di semua tempat, dan berakhir sebagai sisa-sisa ketenaran dan mulai dilupakan.
Coba tanya pada pelaku atau mereka yang tahu bagaimana musik emo, pop, dan Electronoc Dance Music (memangnya EDM itu “musik” ya?) yang pernah mengalami masa jaya selama dua puluh tahun terakhir. Setelah mereka meraih masa jayanya, musik-musik mereka juga akan tenggelam perlahan dan mulai dilupakan. Ya karena selama masa jayanya, musik-musik mereka cenderung tidak menawarkan hal baru lagi. Mereka terlalu nyaman dengan ketenaran. Itu juga yang mungkin akan dialami oleh musik dangdut koplo tahun depan, mungkin.
Okelah anggapan bahwa dangdut koplo naik kelas karena musik ini bisa masuk ke tempat-tempat yang sebelumnya nggak terjamah oleh dangdut koplo. Ya itu wajar saja sebenarnya, nggak harus ditinggikan dengan menyebut genre musik ini naik kelas atau bagaimana. Kalau urusan banyak orang yang sebelumnya jijik atau geli dengan dangdut koplo lalu berubah menjadi suka, ya itu manusiawi. Mereka hanya mengeluarkan apa yang sebenarnya mereka rasakan bahwa mereka sebenarnya suka-suka saja dengan dangdut koplo.
Kalau bicara dangdut dan kelas secara general, dari dulu musik dangdut juga sudah punya kelas tersendiri. Di era 80-an misalnya, dangdut sudah punya tajinya. Selain meledaknya maestro-maestro seperti Rhoma Irama, dangdut juga berhasil bersaing dengan musik rock melalui perseteruan Rhoma Irama dengan Benny Sorbardja. Maksudnya, dari dulu dangdut dan musik-musik lain sudah punya kelasnya masing-masing. Terlebih lagi, harusnya tidak ada kelas-kelas semacam hierarki yang membedakan musik dengan kelas sosial.
Jadi, kalau dibilang bahwa saat ini dangdut koplo naik kelas atau bagaimana, ya itu terlalu berlebihan saja. Nggak ada musik yang naik kelas, baik itu secara musik itu sendiri atau secara kelas sosial. Kalau urusan musik dangdut koplo (melalui Feel Koplo, salah satunya) bisa menarik penggemar dari kalangan “atas”, ya itu hal yang wajar saja sebenarnya. Toh, bukankah seharusnya musik itu bisa merangkul penggemar seluas mungkin?
BACA JUGA Kenapa Dangdut Koplo Bisa Bertahan Setidaknya Sampai 100 Tahun ke Depan atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.