Sebentar lagi kita akan masuk ke bulan di mana politik akan sangat menggeliat di seluruh Indonesia. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan digelar di setiap penjuru negeri. Kita cuma bisa prenges-prenges melihat betapa antusiasnya pemerintah buat menggelar pilkada serentak ini. Antusiasme yang salah kaprah, pikir saya. Sama salah kaprahnya dengan konsep kata “relawan” setiap paslon yang tertera di baliho di pinggir jalan dan selokan.
Biasanya, dalam baliho ini, foto seorang relawan akan ditempatkan di bawah foto setiap pasangan calon. Macam-macam daerah, tentu macam-macam pula relawannya. Yang pasti, mereka yang dijadikan relawan adalah seorang tokoh masyarakat yang berpengaruh di suatu desa. Mereka secara sukarela (atau dipilih dan diberikan uang?) mengajukan diri (mengajukan diri?) untuk mendulang suara masyarakat di tempatnya agar memilih salah satu paslon tertentu saat waktu pencoblosan tiba.
Dalam KBBI, relawan adalah bentuk tidak baku dari kata “sukarelawan” yang berarti, orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). Dalam konteks sosial, dalam penanggulangan bencana alam misalnya, rasanya saya masih bisa memahami konsep dari relawan itu sendiri karena mereka benar-benar membantu warga yang terdampak bencana tanpa pamrih.
Ada semacam tanggung jawab moral dan sosial di balik aksi yang mereka lakukan entah itu dalam bentuk donasi pakaian, makanan, uang, atau terjun langsung ke lapangan. Setidaknya, itulah yang saya pahami tentang “relawan” meski tentu masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Masalahnya, dalam hal politik, apalagi di musim pilkada atau pemilu, benarkah mereka yang ada di setiap baliho yang dicatut sebagai “relawan” benar-benar membantu setiap paslon atas dasar tanggung jawab moral dan sosial?
Bapak saya kebetulan adalah salah seorang tokoh masyarakat yang bisa dibilang cukup banyak menjadi langganan untuk dijadikan relawan (atau tim sukses) ketika musim Pilkades atau Pilkada tiba. Beliau memang cukup aktif dalam dunia perpolitikan duniawi ini. Sepengamatan saya, bapak adalah seorang ideologis yang pada saat bersamaan juga oportunis. Dia mau mendukung suatu paslon yang sesuai dengan kriterianya sekaligus dengan catatan ada under table transaction atau transaksi di bawah meja.
Transaksi ini bisa macam-macam. Entah itu uang (yang tentu saja wajib), atau menempatkan orang-orang terdekatnya dalam hierarki pemerintahan, sekalipun itu hanya selevel desa. Lagi pula, jangan meremehkan kekotoran politik yang ada di desa. Sama seperti pemilihan umum kelas elite, punya kapasitas saja tidak cukup, tapi juga butuh duit yang banyak. Di desa, setiap pilkades tiba, setiap paslon paling tidak harus merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Jumlah yang menurut saya biasa saja mengingat iklim politik kita yang memang udah goblok dari sananya. Bayangkan, betapa bersemangatnya setiap paslon yang terpilih nanti untuk membalikkan modalnya.
Dalam satu dan lain hal, relawan ini mirip seperti bapak saya. Tidak mungkin ada orang yang mau menjadi relawan dalam konteks pilkada tanpa diiming-imingi sesuatu. Uang (dan jabatan) sudah pasti menjadi tujuan mereka (walau tentu nggak semua). Lihat saja relawan-relawan Jokowi di pilpres kemarin yang sekarang udah duduk di kursi Komisaris BUMN. Tentu Anda nggak perlu nanya-nanya ke saya, apakah mereka dipilih karena kapasitas atau anu-nya?
Oleh karena itu, saya rasa setiap paslon harus berhenti mencari-cari atau mengangkat seseorang dengan embel-embel “relawan”. Cukup sematkan kata “tim sukses” saja itu udah bikin hati saya tenang. Tentu saya paham bahwa kata “relawan” dimaksudkan mereka agar setiap orang tahu, “Ini loh, tokoh masyarakat kalian benar-benar mendukung kami dari suara hati mereka sendiri”. Tetapi, please, kata “relawan” ini udah sangat nggak cocok dan nggak berkorelasi dengan makna yang sebenarnya.
Secara pribadi, saya nggak pernah keberatan jika ada orang yang mendukung suatu paslon dengan tujuan-tujuan material. Itu biasa saja. Toh, kalau pun paslon yang mereka dukung kalah itu nggak akan berdampak terlalu besar pada mereka, apalagi cuma di level desa. Hal ini pula yang mendasari kenapa pilkades ditunda dan kenapa pilkada lanjut terus. Ya karena relawan di kelas elite ini (pilkada) adalah relawan yang benar-benar rela melakukan apa pun, Bos!
BACA JUGA Rekomendasi Relawan dan Influencer yang Pantas Dapat Jatah Jabatan dan tulisan Raihan Rizkuloh Gantiar Putra lainnya.