Mas Dicky tempo hari menulis di Terminal Mojok tentang orang Jogja-Solo yang suka menyederhanakan kata umpatan. Sebenarnya, di daerah ngapak alias lingkup Banyumas Raya, hal tersebut juga menjadi pilihan utama untuk keadaan-keadaan tertentu hingga menggunakan umpatan secara politis untuk kesopanan, sekadar menyapa, guyon, atau saat kepengin-mengumpat-saja-gitu dengan orang-orang terdekat.
Dalam kondisi tanpa ketegangan seperti itu, sejujurnya kami lebih ra mashok lagi dalam menyederhanakan umpatan. Sebab, jika di Jogja-Solo menyiasati umpatan dengan memelesetkannya, di sini kami justru hanya memotong sebagian suku kata dan mengambil selebihnya.
Pada kata umpatan “asu” misalnya, alih-alih jadi “asem” atau “hasyu” justru kami menyederhanakannya menjadi hanya “su”. Penggunaannya pun sering diletakkan saat sedang mengeluh, memprotes, atau memastikan dengan halus seperti ini; “Ya aja kaya kuwe mbok, Su,”; “Su banget koh, ya,”; “Ya ora, ya, Su,”; dan lain-lain.
Walau demikian, hal tersebut menjadi bentuk pengaplikasian misuh versi lite yang sebenar-benarnya. Mengartikan maksud “menyederhanakan” secara harfiah sehingga menjadikannya orisinal. Tapi, kalau mau mengartikan orang ngapak nggak berbakat dalam menyembunyikan atau memlesetkannya, ya nggak masalah.
Soalnya, saya pikir itu merupakan salah satu bagian dari perwujudan nyata “blakasuta” sebagai falsafah hidup kami, orang ngapak: yang terang-terangan, jujur, tersurat, tanpa mlipir dan tedeng aling-aling. Langsung gas dan ‘bress’ saja, gitu.
Ya, bagaimana tidak, wong untuk membuat umpatan agar terkesan nggak kasar, hanya dilakukan dengan memotong suku katanya macam itu, sehingga siapa pun yang mendengar atau menjadi lawan bicaranya tentu akan tahu persis bahwa itu sebuah umpatan.
Hal tersebut saya kira akan menjadi masalah jika diterapkan di luar wilayah ngapak, di daerah Jogja-Solo misal. Tentu saja, akan dikira suatu umpatan sebagaimana maksud aslinya oleh mereka. Sekalipun sudah menggunakan nada-nada yang diperhalus.
Tapi, memang begitu sial kami ini, entah karena berbeda atau karena unik. Selain logat yang kerap menjadi bahan tertawaan, omongan ngapak biasa tanpa menggunakan kata umpatan saja, nada bicara kami bagi mereka sudah seperti sedang marah-marah. Apalagi kalau menerapkan potongan-potongan umpatan seperti yang sering kami lakukan, ya bisa-bisa dikira nantangin nantinya.
Untung saja, kata-kata dan tingkat kekasaran suatu umpatan di daerah ngapak dan Jogja-Solo begitu berbeda. Di luar daerah kami, terutama dari Purworejo-Temanggung-Pekalongan hingga ke ujung timur Pulau Jawa, tentu nggak ada kata umpatan seperti “gabér”, “gatél”, “gudal”, “celék”, dan “pej*h”. Jika pun mengerti artinya, pasti tidak digunakan sebagai umpatan.
Maka dari itu, saya nggak khawatir jika keceplosan misuh dengan kata-kata itu jika sedang di daerah Jogja atau Solo. Ya, nggak ada yang tahu ini.
Pernah kejadian suatu waktu, saat saya praktik lapangan di salah satu rumah sakit di Jogja, saya sedang bercanda dengan teman, kemudian di tengah kumpulan pegawai yang sedang istirahat, saya keceplosan, “Lah lek laaah, aja nakal, ya.” Namun, anehnya tidak ada satu pun dari mereka yang berbalik dan menatap saya.
Padahal, saya langsung pucat karena nggak sengaja mengucapkannya. Setelah saya tanya ke salah satu teman yang kuliah di Jogja, ia membenarkan bahwa di Jogja tak mengerti kata “celék”. Untunglah.
Pasalnya, jika kejadian itu saya alami di sini, tentu saya akan dipelototi dan ditegur habis-habisan. Hahaha.
Oh, iya, kelima kata umpatan di atas, ditulis berdasarkan tingkat kekasarannya menurut saya yang tiap hari tak bisa lepas dari misuh-memisuhi. Dan saking kasarnya kata yang terakhir itu, saya harus menyensor huruf “u” di dalamnya.
Hukum menyederhanakan umpatan dengan mengambil sebagian suku katanya juga berlaku pada kelimanya, loh, dan akan menjadi hanya “bér”, “tél”, “dal”, “lék”, dan “j*h”. Setelah disederhanakan, maka kadar kekasaran di dalamnya berkurang, sehingga bisa digunakan secara “sopan” dan bukan untuk mengumpat.
Maka dari itu, pernyataan Mas Dicky yang menganggap kata “asu” atau “bajingan” sebagai kata umpatan terkasar di wilayah Jateng dan DIY, tidak sepenuhnya tepat. Tanya saja orang Banyumasan, pasti masih lebih mending diumpat dengan “asu” daripada “celék” apalagi “pej*h”.
Dan kata-kata umpatan dalam bahasa Ngapak, akan bertambah damage-nya bila ditambah dengan kata “mbok” atau “lah” di belakangnya. “Celék mbok!” atau “Gatel lah!”.
Lebih nggak ada obat lagi, jika dua umpatan dijadikan satu kata seperti “pej*h” ditambah “asu” yang menjadi “pej*ngasu”. Atau, dua kata dijadikan satu menggunakan kata hubung, yang menjadikan suatu umpatan lebih tak terampuni lagi seperti “celék mbok asu” dan “celék lah pej*uh”.
Nah, begitulah ensiklopedi kata-kata umpatan di daerah ngapak. Selain untuk menanggapi tulisan Mas Dicky, saya juga ingin menyalurkan emosi pada situasi belakangan yang begitu memuakkan dengan menuliskan kata-kata umpatan di atas.
Terakhir, jika kamu mendapatkan umpatan seperti itu nantinya, bermuhasabah diri lah (jangan kaya pemerintah). Sebab, bisa jadi kamu memang menjengkelkan sehingga pantas menerimanya.
BACA JUGA Nostalgia Album ‘Hybrid Theory’, Musik Metal di Segala Mental dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.