Ayam goreng tak bisa dimungkiri, adalah panganan favorit banyak orang. Bukan hanya dikonsumsi sebagai makanan pendamping nasi alias lauk pauk, dilahap langsung begitu saja pun, ayam goreng tetap terasa nikmat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika banyak pengusaha kuliner memilih makanan kesukaan Upin dan Ipin tersebut sebagai sajian utama yang hendak mereka jajakan kepada para calon pembelinya.
Selain terhitung gampang diolah, ayam goreng membuka peluang kepada para pelaku usaha kuliner untuk berinovasi agar masakan tidak terasa membosankan. Biasanya, inovasi tersebut terlihat jelas dari beragam pilihan sambalnya. Namun tidak sedikit pula, pelaku usaha kuliner yang melakukan inovasi memasak ayam goreng dengan campuran tepung terigu untuk menciptakan efek renyah dan rasa yang lebih gurih.
Berbeda dengan ayam goreng biasa, masakan ayam goreng berbalut tepung ini seringkali disebut sebagai fried chicken oleh masyarakat Indonesia. Padahal, kalau diterjemahkan juga artinya tetap ayam goreng, nggak ada bedanya antara yang pakai tepung maupun tidak. Hal ini bisa jadi dikarenakan dampak kepopuleran franchise McDonalds dan Kentucky Fried Chicken (KFC) yang lekat dengan imej ayam goreng tepung. Berawal dari nama besar dua franchise restoran cepat saji tersebut, banyak pengusaha lokal yang turut menelurkan produk fried chicken dengan kearifan lokal. Salah satunya adalah Daffa Fried Chicken atau yang sering disingkat menjadi DFC.
Daftar Isi
Ayam goreng pelosok yang yahud
Walaupun kata orang Daffa Fried Chicken adalah “ayam goreng pelosok”, nyatanya DFC mampu berkembang cukup pesat hingga menguasai pangsa pasar ayam tepi jalan. Ya, konsep DFC ini memang lebih condong ke arah street food dengan menggelar dagangan lewat gerobak dorong ketimbang membuka outlet tempat makan.
Meski terhitung pemain anyar lantaran baru berdiri selama kurang lebih tiga belas tahun, keberhasilan DFC dapat ditilik dari banyaknya lapak DFC yang kini sangat mudah dijumpai manakala orang berlalu-lalang menyusuri panasnya aspal jalanan. Tentu saja, kesuksesan yang diraih saat ini tidak lepas dari usaha serta strategi bisnis yang diterapkan.
Pertama, menggotong konsep fried chicken gerobakan dan memposisikan diri sebagai ayam goreng pinggir jalan justru membuat DFC mampu memperluas pangsa pasarnya. Oke, McD dan KFC memang sudah menjamur di berbagai tempat dan banyak orang beranggapan harga makanan di sana tidaklah seberapa. Akan tetapi, bagi sebagian orang yang sebelumnya tidak pernah menyambangi restoran cepat saji modern, memesan makanan di meja kasir atau mesin otomatis layar sentuh kadang kala terasa menakutkan seperti momok.
Jujur saja, orang yang sudah sering ke mall saja terkadang masih bingung dan deg-degan kalau harus order ke gerai Starbuck, kan? Nah, kurang lebih, perasaan seperti itulah yang dipikirkan sejumlah orang yang enggan pesan fried chicken ala international fast food. Alhasil, untuk mengobati rasa penasaran mereka atas gurihnya ayam goreng crispy, fried chicken gerobakan menjadi jalan ninja mereka.
Harga murce adalah kunci
Kedua, harga yang murah menjadi andalan untuk menggaet konsumen baru. Sebagaimana yang sudah banyak orang tahu, pasar terbesar masyarakat Indonesia adalah golongan menengah yang juga menjadi segmen pasar DFC. Di sisi lain, golongan tersebut cenderung memiliki karakter sensitif terhadap harga. Mereka hobi membandingkan produk serupa dengan harga yang lebih murah khas kaum mendang-mending. Boleh dibilang, kualitas produk bukan merupakan prioritas mereka, yang penting harga masih terjangkau kantong. Apalagi, ini soal makanan yang istilah kata, numpang lewat di mulut dan perut saja.
Seandainya mau bersikap objektif, tidak ada yang istimewa dari DFC ini selain harganya. Soal rasa, banyak fried chicken lokal lain yang lebih enak. Sambalnya pun hanya berupa sambal sachet. Namun sekali lagi, pertimbangan harga murah sudah tentu tak boleh dikesampingkan. Siapa, sih, yang dapat menolak sepotong fried chicken yang crunchy dengan hanya bermodalkan di bawah sepuluh ribu rupiah?
Cost leadership strategy
Ketiga, DFC ini sangat fokus dalam mengoperasikan usahanya dengan menekankan cost leadership strategy. Harga ayam DFC yang murah di poin sebelumnya, tidak terlepas dari penerapan strategi ini. Pemilihan gerobak sebagai alat bantu penjualan menjadi salah satu faktor utamanya. Secara logika, berdagang menggunakan gerobak akan jauh lebih menekan biaya ketimbang harus menyewa tempat untuk diubah sebagai warung makan.
Belum lagi, harus ada biaya interior, pemeliharaan tempat, dan gaji karyawan yang harus dikeluarkan bila membuka tempat makan. Dengan perhitungan matematis, semua variabel biaya tersebut akan mempengaruhi harga jual produk. Hal tersebut berbeda sekali dengan sistem franchise gerobak yang ditawarkan oleh DFC.
Kualitas tetap diutamakan
Keempat, DFC tetap memperhatikan kualitas kesegaran ayam goreng yang dijualnya. Para pelaku usaha DFC tidak menyetok ayam matang sebelum pembeli datang. Supaya ayam tetap hangat, penjual hanya akan menggoreng ketika pesanan datang. Dengan demikian, efek kriuk tepung yang dibalurkan akan tetap terjaga dan rasa juicy daging ayam di dalamnya lebih terasa.
Sebagai info tambahan, cukup banyak konsumen yang berpendapat bahwa pelayanan ramah para penjual DFC ini menjadi salah satu pendorong mereka setia membeli ayam goreng di gerai tersebut. Bahkan, ada pula yang mengaku pernah diberi bonus tahu kriuk ala DFC lantaran membeli ayam dalam jumlah tertentu.
Itulah tadi rahasia kesuksesan Daffa Fried Chicken, ayam goreng pinggiran yang sukses mendulang rupiah dari jalanan. Pastinya, titik yang dicapai saat ini sudah melalui proses jatuh bangun yang tidak terjadi secara instan. Konsistensi dan kerja keras menjadi kunci utama dalam membangun sebuah bisnis, bahkan jika itu berasal dari trotoar.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Fakta Cak Yunus, Fried Chicken Jawa dari Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.