Di dunia kerja, ada satu mitos yang hanya dipercayai oleh mereka yang masih polos dan penuh harapan: jatah cuti tahunan. Di atas kertas, ia tampak manis. Tertulis jelas di kontrak kerja: “Karyawan berhak mendapat cuti tahunan sebanyak 12 hari setelah masa kerja 3 bulan.” Tapi bagi banyak pegawai outsourcing, kalimat itu cuma hiasan administrasi. Ada di kertas, tapi tiada di kenyataan.
Begini, di sistem kerja outsourcing, setiap agent (sebutan bagi karyawan bawahan) dibawahi oleh seorang Team Leader alias TL. Nah, si TL ini memegang kekuasaan kecil, yaitu menentukan siapa saja agent yang bisa mengambil cuti.
Masalahnya, setiap TL biasanya membawahi belasan hingga puluhan agent, sementara jatah cuti yang boleh disetujui cuma tiga orang. Iya, tiga. Bukan per hari atau per minggu, melainkan tiga orang seluruhnya. Jadi kalau ada satu agent izin cuti karena mau menikah, dua lagi mau pulang kampung karena orang tuanya sakit, maka agent lain yang cuma pengin rehat sejenak dari burnout sudah pasti harus legawa.
Padahal cuti itu hak, bukan hadiah. Tapi di dunia outsourcing, hak bisa berubah jadi semacam lotre: siapa cepat dia dapat, siapa belakangan ya sabar dan pasrah.
Dan lucunya, alasan cuti pun seolah harus selevel darurat nasional dulu baru disetujui. Kalau cuma mau “me time” atau rebahan seharian di kasur sambil nonton Netflix, besar kemungkinan ditolak.
Cuti ya cuti aja, nggak harus mikir ini itu
Padahal nggak ada undang-undang yang bilang cuti tahunan harus digunakan untuk urusan hidup dan mati. Mau cuti buat healing, buat rebahan, atau sekadar buat nyuci baju yang sudah menggunung pun sah-sah saja. Namanya juga cuti, bukan kerja versi lain.
Yang bikin tambah ngenes, jatah cuti yang nggak diambil pun nggak bisa diuangkan. Artinya, sekalipun kamu rela menahan diri, nggak pernah izin, dan tetap masuk kerja walau demam 38 derajat, perusahaan nggak akan kasih cash back sepeser pun.
Cuti yang tidak dipakai akan lenyap begitu saja di akhir tahun, seolah waktu istirahatmu tidak pernah dianggap penting. Beda nasib dengan ASN, misalnya. Walau prosedur cutinya kadang ribet, setidaknya mereka tetap bisa mengajukan dan menggunakannya.
Sementara pegawai outsourcing? Sudahlah cutinya susah, diambil susah, diuangkan pun tidak bisa. Lengkap sudah penderitaan. Kata orang, “Kerja keraslah sampai bosmu tidak bisa hidup tanpamu.” Tapi di outsourcing, kadang rasanya seperti: “Kerja keraslah sampai bosmu lupa kamu juga manusia yang butuh libur.”
Bagaikan lingkaran setan
Sistem ini menciptakan lingkaran setan. Karyawan lelah karena nggak bisa libur, performa menurun, kena tegur TL, makin stres, tapi nggak bisa ambil cuti tahunan buat memulihkan diri.
Cuti yang seharusnya jadi waktu untuk menata ulang tenaga dan pikiran, malah jadi barang mewah yang mustahil dimiliki.
Di sinilah bedanya pegawai outsourcing dan ASN. ASN mungkin sering jadi bahan lelucon karena “cutinya banyak”, tapi setidaknya mereka bisa benar-benar mengambilnya. Sementara pegawai outsourcing, cuti itu seperti mantan yang masih ada di kontak tapi sudah nggak bisa dihubungi. Ada namanya, tapi sudah tidak berfungsi.
Kalau boleh jujur, hak cuti itu bukan sekadar waktu libur. Ia adalah pengingat bahwa manusia bukan mesin. Tapi selama sistem di outsourcing masih seperti sekarang, dibatasi kuota dan tidak bisa diuangkan, maka cuti akan terus jadi legenda kantor:. Semua orang tahu, tapi tak banyak yang pernah merasakannya.
Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nestapa Sarjana Muda Pekerja Outsourcing, Setiap Bulan Khawatir Kena Pecat Mendadak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
