Culture Shock Orang Jawa ketika Pertama Kali ke Mekkah dan Madinah

Culture Shock Orang Jawa Ketika Pertama Kali ke Mekkah dan Madinah Terminal Mojok

Culture Shock Orang Jawa Ketika Pertama Kali ke Mekkah dan Madinah (Unsplash.com)

Beberapa hari lalu saya membaca artikel di Terminal Mojok tentang culture shock. Ada yang menceritakan culture shock orang Jawa yang merantau di Sulawesi, culture shock anak SMA yang kuliah di UIN, culture shock wong Solo di Bandung, dan masih banyak culture shock lainnya. Sebagai manusia yang pernah mengalami hal serupa, saya juga ingin menceritakan perasaan shock atau terkejut yang pernah saya rasakan saat berkunjung ke Mekkah dan Madinah, tepatnya saat saya umrah untuk pertama kalinya.

Btw, saya umrah bukan karena banyak duit, tapi karena dapat gratisan. Beneran nggak mengeluarkan  uang sepeser pun, malah dapat sangu juga. Kapan-kapan saya ceritakan pengalaman dapat umrah gratis, deh. Sekarang saya ingin menceritakan tentang culture shock terlebih dahulu, bagaimana perasaan orang Jawa yang medok cum ndeso seperti saya ini saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah dan Mekkah, kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia.

#1 Salat nggak harus mengenakan mukena

Sebagai perempuan berhijab yang tumbuh dan besar di Jawa. Saya terbiasa menggunakan mukena ketika salat. Mayoritas masjid di Surabaya atau Indonesia pada umumnya juga selalu menyediakan mukena. Saya kira, di Mekkah dan Madinah pun demikian. Anggapan saya tersebut diperkuat dengan seringnya saya mendapat oleh-oleh dari orang yang pergi haji ataupun umrah berupa mukena. Ha yo makin yakin  saya kalau mukena adalah starter pack wajib perempuan saat salat. Jebule pikiran awam saya keliru.

Ketika salat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, sebagian besar perempuan justru salat dengan abaya, tanpa repot-repot menggunakan mukena lagi. Abaya yang dikenakan umumnya berwarna hitam, longgar, dan nggak banyak motif alias polosan. Kalau saya amati, perempuan yang masih memakai mukena saat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram adalah orang Indonesia dan Malaysia.

Tolong jangan dinyinyirin, yah, mungkin memang pengetahuan agama saya kurang atau gimana. Saya baru beneran ngeh dan paham kalau abaya sah-sah saja digunakan salat asalkan menutupi aurat ya pas umrah itu. Betapa cupunya saya ini. Hadeeeh.

#2 Nggak ada kotak amal

Seperti yang saya ceritakan di awal, saya umrah kan gratis, eh, diberi uang saku pula. Kalau dipikir-pikir, kok kurang ajar kalau saya ini nggak bersyukur kepada Gusti Allah. Jadi, saya berencana untuk menyedekahkan uang saku tersebut ketika berada di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram.

Namun, betapa terkejutnya saya ketika sampai di Masjid Nabawi ternyata di sana nggak ada kotak amal, begitu juga di Masjidil Haram. Kondisi tersebut jelas berbeda sekali dengan di negara kita. Sebagian besar masjid di Indonesia menyediakan kotak amal, biasanya posisinya juga sangat strategis, tepat di dekat pintu masuk masjid.

Selain kotak amal, ada hal lain yang nggak bisa saya temukan. Percaya atau nggak, di Madinah dan Mekkah, kita nggak bakalan menemukan pengemis. Ha lak yo bingung, terus yang disebut fakir miskin di sini siapa, Rek? Kalau kita ingin bersedekah diberikan kepada siapa? Pikiran tersebut terus menghantui saya sampai dua hari dua malam. Lalu saya memberanikan diri bertanya kepada teman. Blio pun menyarankan untuk diberikan ke tukang sapu atau tukang bersih-bersih di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Atau, uangnya bisa dibelikan Al-Qur’an untuk ditaruh di masjid.

#3 Speaker masjid hanya untuk azan

Culture shock selanjutnya yang saya rasakan di Mekkah dan Madinah adalah soal speaker masjid. Di Surabaya—dan Indonesia pada umumnya—speaker atau toa masjid nggak hanya digunakan untuk azan. Kadang untuk pengeras suara saat mengaji, kadang juga untuk mengumumkan barang hilang, kadang untuk mengumumkan jumlah sumbangan yang diterima masjid, dan beberapa informasi lainnya.

Bukan, saya bukan ingin menyalahkan hal tersebut, apalagi ikutan perdebatan tentang toa masjid yang dianggap mengganggu oleh salah satu tokoh agama di negeri ini. Saya hanya berpikir kalau di Masjid Nabawi, toa masjidnya juga akan melantunkan ayat suci Al-Qur’an setiap saat, dari pagi sampai ketemu pagi lagi. Atau, mungkin saja melantunkan selawatan. Ternyata nggak, Bestie. Toa Masjid Nabawi benar-benar hanya untuk azan.

Kalau misalnya barang kita ada yang hilang di Madinah, ya langsung saja diikhlaskan. Sebab kita nggak bisa minta ke manajemen masjid untuk mengumumkan barang hilang, seperti yang biasa kita lakukan di Indonesia. Hehehe.

#4 Pedagang akan meninggalkan dagangannya begitu saja ketika masuk waktunya salat

Saya yang ketika di Indonesia sering mendengar tentang pencurian di ruko atau toko di pasar, cukup terheran-heran saat berada di Madinah dan Makkah. Pasalnya, ketika waktu salat tiba, para pedagang di sana langsung pergi ke masjid tanpa perlu repot-repot memasukkan dagangannya ke dalam almari atau menguncinya di dalam ruko. Mereka langsung meninggalkan barang dagangan begitu saja untuk salat tanpa khawatir ada yang mencuri.

Selain itu, kalau sedang berada di Madinah dan Mekkah, nggak perlu pusing belajar bahasa Arab biar bisa menawar harga saat beli oleh-oleh. Ha wong para pedagangnya banyak sekali yang bisa bahasa Indonesia. Menariknya lagi, banyak pedagang di sana (Mekkah dan Madinah) yang mau menerima uang rupiah. Nggak harus ditukar riyal dulu.

#5 Imam membaca surat pendek

Sebagai muslim yang nggak taat-taat amat, plus ilmu agamanya pas-pasan, saya sempat berpikir kalau salat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram bakalan lama. Ini kan kota suci, pasti semua orang ingin salat berlama-lama di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Imamnya juga pasti pro banget. Nggak mungkin dong hanya membaca kulhu. Jadi, sebelum berangkat saya sudah latihan fisik, banyak olahraga, agar badan tetap fit saat harus salat lama. Biar nggak kena culture shock dong waktu di sana.

Ndilalah, sekali lagi, saya keliru. Bacaan salat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram nggak menggunakan surat Al-Baqarah atau Ali Imran yang panjang-panjang, melainkan surat-surat pendek saja.

Seingat saya, surat yang agak panjang hanya saya temui saat salat subuh. Pernah sekali saya salat subuh dengan bacaan Al-Baqarah. Saat imamnya membaca Alif lam mim, saya sudah deg-degan. Saya sudah mbatin, ini bakalan menjadi salat subuh paling lama yang pernah saya lakukan. Eh, ternyata nggak, dong. Meskipun membaca Al-Baqarah, tapi nggak dibaca full, hanya dibaca sebagian.

#6 Lantai di Masjidil Haram dingin sekali

Sebelum berangkat umrah, saya sudah prepare barang-barang yang nantinya akan menyelamatkan saya dari kekeringan dan kepanasan. Saya membawa sunblock dan pelembap kaki. Lantaran pasti nggak boleh menggunakan sepatu di dalam masjid atau area masjid, saya juga menyediakan kaos kaki tebal, jaga-jaga kalau kaki saya akan kepanasaan saat tawaf di Masjidil Haram, tepatnya di Safa dan Marwa.

Eh, dugaan saya keliru lagi. Sebab, lantai di Masjidil Haram ternyata halus, bersih, nggak ada debu sama sekali. Istimewanya lagi, lantainya tuh dingin banget meskipun suhu Mekkah mencapai 45 derajat Celcius! Seriusan, Rek. Nggak lebay, lho, saya ini. Memang lantainya seadem itu.

#7 Makanan

Saya nggak ingin menceritakan tentang ketidakcocokan antara lidah Jawa saya dengan masakan Arab. Saya justru mengalami culture shock ketika di hotel selalu mendapatkan ayam penyet, rawon, soto, dan masakan Indonesia lainnya. Lho, ini sebenarnya sedang di Arab apa di Surabaya, sih? Saya sih oke-oke saja bisa menemukan masakan ala orang Jawa di sana. Hehehe.

Selama di sana, saya bahkan nggak makan masakan Arab sama sekali. Sekadar makan nasi briyani pun nggak, lho. Satu-satunya makanan yang saya beli di luar hotel adalah es krim. Kagetnya, es krimnya orang Arab lembutnya di atas rata-rata. Tapi, hal seperti ini jangan ditiru ya, Rek. Arab suhu panasnya cukup ekstrem bila dibandingkan dengan Indonesia. Jadi, kalau kita makan es krim, nggak lama kemudian tenggorokan justru kering dan sakit.

#8 Starbucks di depan Masjid Nabawi nggak punya kursi

Sebagai duta Starbucks cabang Terminal Mojok, kok rasanya nggak pas kalau belum membicarakan soal Starbucks di negara lain. Btw, saya nggak mampir Starbucks di Mekkah, saya hanya membeli Starbucks di Madinah.

Untuk rasa minumannya sih sama saja, ya. Yang membedakan Starbucks di dekat Masjid Nabawi Madinah dengan Starbucks di Surabaya adalah kursinya. Iya, KURSI. Starbucks di depan Masjid Nabawi nggak menyediakan tempat duduk, Bestie. Jadi, setelah memesan minuman, kita nggak bisa nongkrong cantik, deh. Sekadar duduk sebentar pun nggak bisa. Ha wong sama sekali nggak ada kursinya.

Itulah beberapa culture shock sebagai orang Jawa yang pernah saya alami saat berada di Mekkah dan Madinah. Saya berdoa, semoga semua jamaah Terminal Mojok yang muslim bisa beribadah umrah dan memiliki pengalaman-pengalaman seru juga. Aamiin.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Culture Shock Orang Jawa yang Merantau ke Sulawesi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version