KRL merupakan salah satu transportasi umum andalan kedua saya selain Transjakarta. Moda transportasi satu ini paling bisa diharapkan warga yang tinggal di daerah penyangga Jakarta. Hal ini membuat KRL Jabodetabek selalu pennuh sesak setiap hari. Selain di wilayah Jabodetabek, KRL juga beroperasi di Jogja ke arah Solo dan sebaliknya.
Sewaktu tinggal di Jogja, beberapa kali saya menggunakan KRL untuk berkunjung ke Surakarta. Biasanya saya naik dari Stasiun Maguwo karena lokasinya dekat dengan kontrakan. Sistem pembayarannya bisa tap uang elektronik atau kartu multi-trip.
Meski sama-sama produk KAI Commuter, ada perbedaan pada KRL Jabodetabek dan KRL Jogja Solo. Sebagai anker (anak kereta) sejati Jabodetabek, saya agak kaget juga dengan hal-hal unik yang saya jumpai di KRL Jogja Solo. Misalnya seperti 5 hal berikut.
#1 Jarak antarstasiun terasa jauh
Saya sempat dibuat bosan waktu naik KRL Jogja Solo dari Stasiun Maguwo. Jarak antarstasiun cukup jauh. Misalnya, waktu tempuh dari Stasiun Maguwo ke pemberhentian selanjutnya, Stasiun Brambanan, terasa lama. Begitu juga dari stasiun lainnya ke Solo. Total perjalanan sekitar 1 jam lebih. Hampir sama kayak naik kendaraan pribadi.
Lain cerita dengan KRL Jabodetabek. Baru duduk di Stasiun Tanah Abang, eh, udah sampai di Stasiun Manggarai saja. Padahal lumayan jauh jarak keduanya. Saya juga nggak paham kenapa bisa begitu.
Tetapi untungnya, kalau naik KRL Jogja Solo pemandangannya menyegarkan mata meski jarak antarstasiun cukup jauh. Pemandangan sawah ijo royo-royo ada di depan mata. Bukan gedung tinggi atau rumah kumuh kayak yang biasa saya lihat di Jakarta.
#2 Nggak ada drama rebutan kursi dan saling dorong di KRL Jogja Solo
Penumpang nggak sabaran dan menguras emosi banyak saya jumpai di KRL Jabodetabek. Apalagi di jam pulang kantor. Beuh, semua datang dengan egonya, nggak ada yang mau mengalah. Siapa cepat, dia dapat pokoknya.
Kondisi berbeda saya jumpai di KRL Jogja Solo. Saat kereta baru datang saja nih, orang-orang tertib masuk gerbong. Meski ada sedikit gerakan berburu kursi, masih wajar nggak barbar kayak di KRL Jabodetabek.
Semua orang terlihat sabar dan tenang. Nggak ada yang namanya sikut-sikutan apalagi adu mulut karena ada penumpang yang memotong antrean karena ingin cepat pulang.
Begitu kereta tiba di Stasiun Solo Balapan pun semua penumpang tampak kalem. Langkah mereka nggak tergesa-gesa. Padahal interval waktu kedatangan kereta cukup lama. Kalau nggak dapat KRL sekarang, tunggu saja yang berikutnya. Santuy, kawan.
#3 Penumpang berdiri searah lajunya kereta
Hal berikutnya yang bikin saya agak kaget adalah penumpang dalam KRL Jogja Solo berdiri menghadap arah lajunya kereta. Jadi terlihat seperti orang berbaris sambil berpegangan pada handgrip KRL. Saya jadi ikutan menghadap arah lajunya kereta meskipun terasa aneh.
Kebiasaan ini berbeda dengan penumpang KRL Jabodetabek. Jika nggak kebagian kursi, mereka akan berdiri menghadap penumpang lain yang duduk.
Asumsi saya, penumpang yang berdiri menghadap arah laju kereta untuk menjaga kenyamanan penumpang lain yang duduk. Risih juga kan kalau harus berhadapan dengan penumpang yang duduk. Apalagi kalau di dalam gerbong KRL padat, rasanya jadi sumpek.
Selain itu, kebiasaan penumpang KRL Jogja Solo ini membuat gerbong terlihat rapi dan enak dipandang mata. Mantap, deh!
#4 Vibes liburan, pikiran jadi rileks
Kalau naik KRL Jogja Solo, kamu akan merasakan vibes liburan tipis-tipis. Nggak ada tuh yang buru-buru dikejar waktu kayak di KRL Jabodetabek. Slow living pun ada di dalam transportasi umum.
Saya beberapa kali menggunakan KRL di weekdays untuk pergi ke Solo. Di sana saya berjumpa dengan berbagai macam penumpang. Ada yang mau berangkat kerja, ada mahasiswa, ada pula wisatawan yang mau liburan ke Solo. Mereka semua nggak terburu-buru kayak di Jabodetabek. Saya jadi lebih menikmati waktu-waktu berada di dalam gerbong kereta.
#5 Tidak ada gerbong khusus wanita di KRL Jogja Solo
Saya baru menyadari KRL Jogja Solo nggak memiliki gerbong khusus wanita layaknya KRL Jabodetabek. Penumpang laki-laki dan perempuan berada di dalam gerbong sama. Tapi nggak masalah juga wong keretanya nggak sepadat di Jabodetabek. Kondisinya masih nyaman karena penumpang juga nggak terlalu mepet satu sama lain.
Lagi pula kehadiran gerbong wanita juga belum tentu bikin nyaman. Bahkan area ini kerap dinobatkan sebagai area paling horor di KRL Jabodetabek. Saya sendiri juga jarang war kursi di sana. Meski begitu, seandainya nanti KRL Jogja Solo memiliki gerbong khusus wanita, saya rasa kondisinya nggak akan semengerikan gerbong wanita di KRL Jabodetabek.
Sebenarnya masih banyak lagi perbedaan kedua moda transportasi ini. Tetapi kelima hal di atas yang paling saya ingat. Kalau kalian lebih suka naik KRL Jogja Solo atau KRL Jabodetabek, Lur?
Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
