Saya heran sama orang-orang yang banyak pusing. Terutama jika hal itu tak sepantasnya untuk dipusingin. Seperti misalnya soal kebersihan motor. Memangnya apa yang perlu dipusingkan jika motor saya kotor? Toh, itu urusan saya kok. Saya sendiri yang pake itu motor. Dan saya nyaman-nyaman ajah. Kenapa mesti banyak yang pusing dan nyuruh saya segera cuci motor?
Persoalan bersih tidaknya motor di kampung saya (di pojok paling selatan Sulawesi) — mungkin di kampung kalian juga — adalah persoalan yang pelik. Banyak yang menganggap kebersihan motor sebagai sebuah prestasi tersendiri. Bersih tidaknya motor jadi tolok ukur kepribadian seseorang. Kita bisa dicap malas, jorok, dsb. jika lalai pada kebersihan motor. Banyak yang rela menyisihkan waktunya untuk cuci motor, hanya karena takut diberi stigma negatif seperti itu.
Siapa bilang mencuci motor itu gampang?
Mencuci motor adalah aktivitas yang cukup berat dan ribet. Pasalnya mencuci motor memerlukan kesabaran dan ketabahan. Motor tidak sama seperti piring atau gelas yang gampang dicuci. Tinggal digosok dan dibilas selesai. Motor memerlukan kerja ekstra dan super teliti. Motor terdiri dari berbagai bagian yang berbeda-beda untuk dibersihkan. Beberapa bagian lebih susah dibersihkan daripada bagian yang lainnya. Misalnya bagian bawah dan di sekitaran mesin itu lebih susah dibanding bagian jok dan dasbor depan. Selain itu, kesusahan juga tergantung juga pada jenis motornya. Motor yang terlalu banyak variasi kapnya itu lebih susah, sebab bagian mesin dan bagian bawahnya susah dijangkau.
Tapi balik lagi, mau motor apapun. Mau matic, mau dua tak, mau pake gigi, tetap saja yang paling bertanggung jawab pada bersih tidaknya adalah pemiliknya. Jika bukan pemiliknya siapa lagi? Tapi, apakah beberapa orang memang adalah pemilik motor yang lalai? Tidak bertanggung jawab? Tidak pandai bersyukur diberi rezeki memakai motor? Mungkin beberapa pemilik motor tidak sedurjana itu. Mungkin ada alasan lain kenapa motor mereka jarang dibersihkan.
Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, maka saya akan jawab begini. Saya jarang cuci motor karena saya anggap mencuci motor itu hal yang absurd. Mencuci motor seperti kegiatan mengangkat batu ke atas gunung oleh Sisifus dalam Mitologi Yunani, yang sesampai di atas, batu itu jatuh lagi ke bawah, dan diangkat lagi, lalu jatuh lagi, begitu seterusnya. Motor tidak akan pernah mencapai titik di mana dia akan abadi dalam kebersihan. Ia akan selalu kotor dan kotor. Ia fana seperti semua makhluk di semesta ini.
Mencuci motor juga menjadi sangat susah di saat-saat tertentu. Seperti di saat musim hujan dan di saat motor itu bukan lagi sebuah kebanggaan. Pertama, di saat musim hujan, mencuci motor adalah hal bodoh, yang terkadang bisa dikatakan sia-sia. Apalagi jika jalanan di dekat rumah (tempat tinggal) banyak yang berlubang dan berlumpur, motor jadi sangat rawan untuk kotor lagi. Kedua, di saat motor itu bukan lagi sebuah kebanggaan, motor seperti ini akan sering dicampakkan dan diabaikan kebersihannya, baik di saat musim hujan atau musim salju. Baik dia punya banyak kap atau tidak. Dia tetap dipakai, tapi urusan kebersihannya tidak lagi jadi pertimbangan. Motor seperti ini sudah tidak lagi memiliki ikatan emosional atau posisi status sosial di mata pemiliknya. Yang tersisa darinya hanyalah nilai pakai (asal bisa dipakai, bisa digas).
Hak menentukan nasib motor sendiri
Hubungan motor dengan pemiliknya memiliki kompleksitas tersendiri. Pergulatan antara pemilik dengan motornya adalah sesuatu yang pelik dan ribet untuk ditafsirkan. Kita tidak bisa menilai hubungan seseorang dengan motornya hanya dengan melihatnya dari permukaan. Kita perlu menelusuri kondisi psikologis, sosio-geografis, dan ekonomis dari si pemilik, serta memahami anatomi motornya. Sesuatu yang tentu bukan barang yang gampang. Perlu penelusuran fakta yang mendalam dan memakan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan sebuah kesimpulan.
Lebih lanjut, hubungan motor dengan pemiliknya seperti hubungan sebuah keluarga. Memiliki konflik internal dan masalah tersendiri. Seperti kata Leo Tolstoy dalam Anna Karenina, “Setiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya sendiri.” Mungkin juga dengan pemilik motor, punya cara tersendiri untuk bahagia dan tidak bahagia dengan motornya. Hubungan motor dengan pemiliknya juga bisa dilihat dalam terma nasionalisme. Setiap pemilik motor, yang tidak dalam proses cicilan, memiliki kedaulatan atas motornya. Ia aktif dan bebas dalam merawat dan memakai motornya. Terserah si pemilik, apakah akan jadi otoriter eksploitatif terhadap motornya, ataukah jadi seorang yang progresif.
Maka dari itu, sebaiknya janganlah kita terlalu pusing dengan motor orang lain. Daripada kita pusing pada motornya, lebih baik kita memahami dan mengerti kehidupan pemiliknya. Terlalu banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum menilai. Dan sungguh hal yang sia-sia jika kita terlalu terpaku dengan kebersihan motor orang lain sampai menyuruhnya segera cuci motor. Sebab sebagaimana kata pepatah, untukmu motormu, dan untukku motorku. Cuci motor atau tidak yang jelas berani kotor itu… baik.
BACA JUGA Mempertanyakan Kepedulian Pemilik Mobil yang Hobi Cuci Mobil di Pinggir Jalan