Baru-baru ini ada sebuah gebrakan wisata yang membuktikan bahwa orang Jogja itu memang ndableg tapi sekaligus juga nyeni. Di saat pemerintah menyuruh rakyatnya berdiam diri dan banyak obyek wisata terpaksa menutup usahanya karena pandemi, ini malah ada orang yang ngajak keliling kota sambil ngopi-ngopi ke lokasi wisata. Coffee On The Bus, nama yang digunakan untuk mem-branding usaha mereka.
Konsepnya sederhana sekali. Ngopi yang biasa dilakukan di atas meja dan kursi, kali ini dialihkan ke dalam bus yang fancy. Jadi, jika selama ini di dalam bus kita terbiasa menikmati sebotol air mineral, roti sepuluh ribuan tiga, kali ini kita bisa mencium aroma wangi dari seduhan kopi sambil memandang mbak-mbak dan mas-mas barista yang wara-wiri dengan wajah yang berseri-seri.
Sebenarnya konsep ini tidak hanya dilakukan di Jogja. Di kota-kota lain seperti Solo, Malang, Gresik, Purwokerto, dan Pekalongan pun juga ada meskipun jelas namanya berbeda.
Wiwit Kurniawan, kreator dari Coffee On The Bus, awalnya termasuk salah satu dari pelaku pariwisata yang terkena dampak pandemi. Selama berbulan-bulan blio tidak mendapatkan pemasukan yang memadai. Mungkin karena itulah Mas Wiwit teringat quote Steve Jobs yang paling termasyhur “Stay foolish, stay hungry”. Dan berhubungan sudah setiap hari dalam keadaan literally hungry , maka muncul konsep di kepalanya yang nggak tanggung-tanggung lagi seperti ini,
“Kalau wisatawan tidak bisa ke sini, kenapa tidak kami saja yang menjemput mereka.”
Awalnya saya sangsi kalau jenis wisata seperti ini akan laku terlebih di tengah pandemi, tetapi kenyataannya bus mereka selalu penuh. Setidaknya di akhir Minggu yang sudah saya ketahui sendiri. Dan hal tersebut dapat terjadi bukan serta-merta hanya karena keberhasilan promosi saja. Ada hal-hal lain yang menurut saya jauh lebih bermanfaat dan justru menjadi kekhasan dan nilai lebih yang lebih bagi usaha mereka.
Menambah wawasan tentang dunia perkopian
Isi busnya sama halnya dengan bus wisata pada umumnya. Sebuah televisi layar datar terpampang di bagian depan, tentu dengan dukungan speaker yang suaranya terdengar jelas dan jernih hingga ke kursi paling belakang. Bedanya, jika biasanya video yang diputar tidak jauh-jauh dari lantunan biduan seperti Mbak Via dan Mbak Nella, maka dalam Coffee On The Bus, penumpang disuguhi tayangan edukatif tentang kopi.
Tidak sampai di situ. Barista yang bertugas pun ikut memberikan wawasan tentang kopi yang sedang disuguhkan dan terkadang memberikan saran. Seperti saat mereka menyarankan kepada saya kalau kopi Lampung—yang termasuk jenis kopi robusta—akan lebih enak disajikan dengan susu daripada gula. Hebatnya lagi mereka melakukan itu semua sambil menuangkan air panas ke dalam gelas di dalam bus yang sedang berjalan.
Nggak berbahaya tuh? Tenang saja, mereka sudah terlatih kok. Kalaupun nanti meleset sedikit, para barista ini akan mengorbankan badan mereka sendiri agar konsumen tidak terluka. Memang sepertinya itu sudah menjadi jalan ninja mereka. Bahkan sebelum perjalanan pulang, dan masih di dalam bus lho ini, barista-barista tadi bergantian memainkan atraksi membuat teh tarik ala Uncle Muhto.
Sek,sek. Ini judulnya Coffee On The Bus atau Tea On The Bus yah? Halah nggak perlu dipikirkan, nikmati wae. Gitu aja kok repot.
Mengulang pelajaran sejarah
Coffee On The Bus memiliki beberapa rute yang masing-masing bertujuan ke lokasi wisata khas Jogja yang berbeda-beda. Saya kebagian ke wisata Candi Plaosan.
Setelah sebelumnya penumpang diberikan tayangan dan penjelasan tentang kopi, tour leader mengambil alih dan gantian bercerita tentang sejarah. Utamanya sejarah di kawasan wisata yang menjadi destinasi. Yah boleh dibilang apa yang disampaikan oleh blio sudah cukup usang, tetapi toh nyatanya semua penumpang tetap mendengarkan dengan khidmat.
Seakan-akan tak cukup dibawa pergi mengelilingi kota Jogja, kami pun diajak menyelami lagi masa-masa sekolah khususnya dalam kelas sejarah. Saya penasaran bagaimana jika saya dapat rute dengan tujuan bandar udara Jogja yang baru. Kira-kira sejarah apa yang terjadi di sana ya? Akankah diceritakan bagaimana banyak demonstrasi dan perlawanan warga sekitar?
Menghidupkan perdagangan cendera mata di tempat wisata
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, di setiap rute ada destinasi. Meskipun lokasi yang saya tuju masih tutup karena pandemi, banyak juga yang turun dari bus dan asyik ber-selfie. Di sana beberapa pedagang pun ternyata masih giat mengais rezeki.
Memang jika dilihat dari banyaknya lapak yang masih tutup dapat menggambarkan bahwa kondisi perekonomian di kawasan itu masih sepi. Sehingga kehadiran Coffee On The Bus dengan segerombolan wisatawan setidaknya cukup membantu agar asa dan harapan mereka tidak mati.
Di luar fungsi dan manfaatnya di bidang pariwisata, sebenarnya gebrakan ini dapat juga dilihat sebagai sebuah respom terhadap lambatnya pemerintah dalam merespon kelesuan perekenomian. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari bagaimana mas Wiwit dan teman-temannya mampu memanfaatkan bus yang ngangkrak. Tanpa ba-bi-bu, mereka sukses menelurkan jenis wisata kekinian yang tetap melek protokol kesehatan.
Mungkin sejak awal, Mas Wiwit, tidak bermaksud melemparkan kritik. Namun, dengan apa yang telah dilakukannya ini justru menjadi sentilan yang unik dan asyik apalagi bentuk sindiran sosial tersebut justru memudahkan wisatawan untuk menikmati Jogja sebagaimana lagu dari Katon Bagaskara yang melegenda.
“…Tiap sudut menyapaku bersahabat. Penuh selaksa makna …”
BACA JUGA Dalam Situasi Seperti Ini, Berbelanjalah! dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.