Judul: Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis
Penulis: Puthut EA
Penerbit: Buku Mojok
Ketebalan: 247 halaman
Tahun Terbit: 2022
Pertama, mari kita ulas buku Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis ini dari penampakan sampulnya terlebih dahulu. Wajah sampul buku ini menampilkan ilustrasi seseorang yang melayangkan satu kakinya ke belakang sebagai ancang-ancang hendak menyepak. Dari sini saja sudah amat jelas betapa buku ini sudah menyematkan “sepak bola” bahkan sejak dari muka.
Namun, alih-alih ikon bola, objek sepakannya justru diganti dengan ilustrasi molotov cocktail yang seakan menyiarkan kewaspadaan akan sebuah ledakan. Ikon tersebut jelas lekat kaitannya dengan ihwal suporter sepak bola (ultras).
Pendeknya, sebelum membaca buku ini, kita seakan diperingatkan bahwa buku ini adalah tentang sepak bola, dedikasi, dan fanatisme. Sebuah rasa cinta yang keras kepala; tidak mau tahu betapa parahnya kekecewaan menerpa, cinta akan tetap menyala. Sebab, cinta adalah cinta sebagaimana sepak bola adalah sepak bola.
Kombinasi warna cokelat-oranye-putih pada sampul seperti mengindikasikan corak identitas kesebelasan tertentu. Apalagi begitu tahu pengarang buku ini adalah Puthut EA dan kita mengikuti jejak si penulis di dunia maya, pasti paham kesebelasan mana yang dimaksud. Benar: AS Roma!
Dalam blog pribadinya, Puthut EA juga mengonfirmasi hal tersebut. Dua puluh dua tahun wani ngeyel mencintai AS Roma dan kehadiran pelatih hebat Jose Mourinho di awal musim, cukup untuk memantik lubuk hatinya untuk menulis novel tentang rasa cinta akan tim kesayangannya tersebut.
Sekalipun begitu, novel adalah novel. Sebuah balutan fiksi yang tetap membutuhkan data empiris guna bahan meramu dan mengolahnya.
Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis berkisah tentang perjalanan sosok Mou dalam menukangi kesebelasan Romajaya, sebuah klub sepak bola di kota Yogyaraya yang berlaga di Liga Utama dan Liga Konferen. Rentang waktu dalam kisah ini terbentang sejak pekan ke-12 hingga pekan ke-34 liga domestik (Liga Utama), dan selama 22 pekan itu pula kita akan menyimak naik-turun karier seorang pelatih.
Mou adalah pelatih masyhur. Segudang trofi pernah ia raih selama karier profesionalnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Mou telah dua kali didepak dari kursi kepelatihan, yang membuat banyak pandit bola mencibir bahwa senjakala karier seorang Mou telah tiba.
Kedatangannya ke Yogyaraya untuk menukangi tim Romajaya juga dinilai publik sebagai degradasi kariernya, mengingat Romajaya sendiri adalah tim yang telah lama puasa gelar. Sudah dua puluh tahun sejak Romajaya terakhir kali meraih scudetto dan sudah sepuluh tahun berlalu sejak Romajaya memenangkan sebuah kejuaraan, yakni Piala Coppa.
Pertemuan keduanya, Mou dan kesebelasan Romajaya, menjadi semacam suratan takdir dalam belanga luka batin yang saling membalut lara satu sama lain. Di titik inilah peran suporter hadir.
Para Romanza (sebutan fans Romajaya) adalah suporter setia yang menitipkan harap dan cita mereka terhadap Romajaya kepada Mou. Lain dari Latsio, klub rival sekota Romajaya yang lahir karena bentukan pemerintah daerah yang bekerja sama dengan orde militer, Romajaya lahir dari akar rumput; dari darah daging Yogyaraya yang sebenar-benarnya. Tak heran jika mayoritas para Romanza datang dari kalangan rakyat biasa yang mewariskan rasa cinta tersebut seperti orang tua mewariskan iman agama kepada anak-anaknya.
Kekalahan demi kekalahan diterima oleh tim Romajaya. Dengan skuad yang tidak terlalu mentereng namun tak bisa dibilang buruk juga, semestinya Romajaya bisa meraih kemenangan lebih sering lagi. Terlebih, dipecundangi oleh tim-tim yang levelnya notabene berada di bawah Romajaya tentu menjadi pukulan yang memalukan.
Mou dituntut untuk tetap memberikan kinerja yang maksimal di tengah keterbatasan skuad akibat badai cedera dan akumulasi kartu, serta tren negatif dari kekalahan beruntun. Mou berjuang menekan pesimisme yang mulai meracuninya. Menyulam kembali optimisme yang kusut setiap kali keputusasaan muncul.
Mou menyelisik, mencari-cari apa yang sebetulnya terjadi pada Romajaya. Pelatih berumur 58 tahun tersebut lantas banyak terlibat obrolan dengan banyak entitas Romajaya. Dari mulai petinggi klub, staf pelatih, para pemain, legenda klub, wartawan, sampai para Romajaya dari segala kalangan dan usia. Mendengar banyak doa, kritik, nasihat, dan cerita dari bermacam sudut pandang.
Mou akhirnya tahu bahwa beban yang dipikulnya memang berat, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa cinta yang abadi dari para Romanza. Dedikasi dan totalitas para Romanza inilah yang membuat Mou menolak tawaran menukangi Everson, salah satu klub Liga Tiga Singa, yang menawarinya gaji berlipat ganda, sokongan dana transfer pemain yang melimpah, dan tawaran menggiurkan lainnya.
Prolog-prolog dan kutipan-kutipan dari Mou juga menjadi poin menarik dalam novel setebal 247 halaman ini. Kita bisa belajar seni berbicara dari seorang Mou. Bagaimana cara dia membalikkan provokasi, menjawab pertanyaan wartawan dengan elegan, dan memotivasi para pemain meskipun dirinya juga sedang dalam keadaan rentan.
Mou mengajarkan bahwa determinisme juga tak kalah penting. Bagaimana tetap teguh pada prinsip dan ideal diri sendiri, meski tak jarang hasil mengecewakan harus dipetik. Namun, justru dari akumulasi kekecewaan-kekecewaan itulah kematangan berpikir kian ranum.
Novel Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis ini sejatinya merupakan kumpulan cerbung yang sebelumnya pernah dimuat di Mojok, dua kali dalam sepekan. Sudah ada 30 edisi yang diunggah secara keseluruhan dan telah dibaca lebih dari 50 ribu pembaca hingga kemudian ditarik dari pengunggahan untuk ditambahi beberapa bab dan disempurnakan menjadi bentuk novel.
Teknis menulis novel dari cerbung ke cerbung tentu agak beda dari menulis novel pada umumnya. Bagaimana menulis satu cerita ke cerita selanjutnya yang tidak hanya mengalir serta memikat rasa penasaran pembaca, namun juga tetap holistis dan konsisten dalam koridor tema.
Judul Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis ini diambil dari salah satu judul cerbungnya, tepatnya pada edisi ke-17. Judul yang penuh wanti-wanti. Seakan memberi tahu bahwa nada getir, ironis, dan pesimistis akan menjadi warna dominan dalam novel ini. Dan di balik sela-sela itulah optimisme diam-diam mengendap. Ia tetap ada meski senantiasa ditebang oleh rasa muak dan frustasi.
Jika kamu seorang penggemar sepak bola dan hafal nama-nama pemain dan entitas sepak bola (khususnya sepak bola Eropa) di luar kepala, tentu akan sedikit tergelitik dengan sentuhan lokalitas dalam novel ini. Banyak tokoh yang ada dalam novel ini diadaptasi dari nama-nama pelaku sepak bola di dunia nyata.
Sentuhan lokalitas itu mampu menyentil daya baca fiksi pembacanya, yang biar bagaimanapun akan tetap mengilik-ngilik nalar faktual pembaca. Hal ini juga menjadi warna tersendiri dalam novel Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis ini.
Dalam novel ini masih terdapat rumpang alur di dalamnya yang semestinya sudah terpangkas kala proses penyuntingan berlangsung. Kejadian yang membingungkan tersebut adalah menyebut Romajaya sebagai nama kota dengan begitu gamblang secara redaksional. Hal ini “sedikit” mengacaukan narasi yang telah dibangun bahwasanya Romajaya ialah nama klubnya, sedangkan nama kotanya adalah Yogyaraya. Hal ini terulang dua kali, yakni pada halaman 19 dan 185.
Selanjutnya yang bikin bingung pembaca seperti saya adalah kutipan tokoh Mou kala memberi konferensi pers pascalaga melawan Glim di babak perempat final ajang Liga Konferen. Mou menyebut bahwa ada tiga gol yang terjadi pada babak pertama, namun faktanya hanya terjadi dua gol.
Kesebelasan Romajaya adalah adaptasi dari klub AS Roma, klub favorit si penulis, yang mana di akhir musim berhasil meraih gelar juara UEFA Conference League. Sayangnya, novel ini tidak berlanjut hingga Romajaya berhasil merengkuh juara Liga Konferen, yang barangkali akan menjadi penutup yang dramatis alih-alih ditutup dengan adegan sunyi Mou duduk seorang diri di stadion dan menulis email kepada istrinya.
Oh, barangkali tulisan tentang itu sudah ada dalam draf pribadi sang penulis dan kabar baik tersebut akan memantik penulis untuk meneruskan sekuel lanjutan dari novel ini? Who knows?
Toh, kekecewaan tidak boleh berumur panjang. Benar begitu, kan, Mas Puthut?
Penulis: Lindu Ariansyah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Parade yang Tak Pernah Usai: Teriakan dari Mereka yang Dipinggirkan.