Bulan Juni tahun ini dunia sinema Indonesia boleh berbangga hati karena ada anak bangsa bernama Hanung Bramantyo yang menciptakan sebuah film dengan genre yang masih jarang ditemui di industri perfilman tanah air: genre superhero. Melalui Satria Dewa: Gatotkaca, sutradara hebat yang sudah punya segudang pengalaman itu berhasil membawa Gatotkaca, salah satu pahlawan fiksi Indonesia yang paling populer, untuk hadir ke medium layar lebar.
Lantas, bagaimana hasilnya? Apakah film yang dibintangi oleh Rizky Nazar itu sukses memenuhi ekspektasi penonton yang sudah melambung tinggi sejak melihat trailer-nya yang begitu menjanjikan?
Kalau harus berkata jujur, saya akan mengaku kalau saya belum menonton film tersebut secara langsung. Namun, berdasarkan penuturan beberapa teman saya yang sudah menyaksikannya di bioskop beberapa hari lalu, Satria Dewa: Gatotkaca masih memiliki beberapa kekurangan dalam aspek-aspek tertentu, terutama jalinan cerita yang terlalu terburu-buru serta adegan aksi dan CGI yang kata mereka tidak semegah seperti yang dijanjikan dalam media promosinya.
Melalui tulisan ini, saya tak akan membahas film Satria Dewa: Gatotkaca saja, tetapi juga film-film bergenre serupa dari Indonesia yang telah dirilis di masa lalu, seperti Gundala karya Joko Anwar yang tayang di bioskop tahun 2019 lalu. Untuk Gundala, saya bisa memberikan review pribadi lantaran telah menyaksikan filmnya dengan mata saya sendiri.
Bagi saya, film tersebut sudah sangat mampu menjadi bukti bahwa sineas-sineas tanah air sebetulnya mampu menciptakan film-film kepahlawanan yang berkualitas. Namun, Gundala juga tak dapat dimungkiri masih memiliki kekurangan-kekurangan yang membuatnya belum layak untuk dibandingkan dengan karya-karya Marvel Studios.
Jika sudah membandingkan film superhero Indonesia dengan produksi luar negeri, pasti salah satu komentar yang akan langsung muncul adalah: Nggak fair dong kalau dibandingin, wong dari bujet-nya aja udah beda jauh!
Kita memang harus mengakui bahwa Marvel Studios dan Warner Bros—studio yang memproduksi film-filmnya DC Comics—memang memiliki kemampuan untuk mengucurkan dana yang berlimpah bagi produksi layar lebar mereka. Tak usah disebutkan secara detail berapa nonimalnya, yang jelas jumlah 0-nya sangat banyak dan tak beda jauh dengan harga transfer bintang-bintang sepak bola Eropa.
Makanya karena kita sudah tahu bahwa rumah produksi di negeri ini mayoritas belum bisa menandingi studio-studio tersebut dalam urusan bujet, sebaiknya kita juga tak usah besar kepala dan mengatakan bahwa karya yang kita buat tak kalah jika dibandingkan dengan film-film Hollywood. Ini saya bicara dalam konteks film superhero, lho, ya. Kalau dalam genre lain, horor misalnya, saya akan lantang berbicara dan mengatakan bahwa karya-karya dalam negeri memang sekeren itu. Tidak percaya? Coba nonton film-filmnya Joko Anwar, deh.
Balik lagi ke masalah film superhero. Sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa untuk urusan bujet, kita masih kalah kelas. Alhasil yang paling terdampak dari bujet yang terbatas untuk sebuah film superhero biasanya adalah kualitas CGI.
Dalam film Gundala, kita sudah melihat efek-efek visual dan permainan komputer yang bagus. Tetapi jika dibandingkan dengan buatan Marvel, maaf, saya harus berkata jujur dan lagi-lagi berkata bahwa kita masih kalah kelas. Lantas, bagaimana solusinya? Apakah kita tidak bisa “mengakali” masalah terbatasnya biujet yang berdampak pada sulitnya menciptakan efek CGI yang betul-betul dapat memukau indra penglihatan ini?
Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya sangat menyarankan agar kalian terlebih dulu menonton serial-serialnya Marvel yang dahulu diputar di Netflix seperti Daredevil dan Jessica Jones. Dalam kedua series tersebut, efek CGI yang digunakan sangat minim dan jarang sekali terlihat. Bahkan, dalam Jessica Jones, saya yakin jumlah adegan yang menunjukkan adegan-adegan bertarung khas superhero dengan penuh polesan komputer masih bisa dihitung jari.
Lalu, apakah series-series tersebut seketika menjadi sebuah karya yang buruk dan memalukan genre superhero? Wah, tentu tidak. Jika kalian bertanya pendapat saya pribadi, saya berani mengatakan bahwa kedua serial tersebut malah layak dikategorikan ke dalam lima besar karya terbaik yang diciptakan oleh Marvel Studios dan semesta MCU-nya.
Kenapa keduanya bisa menjadi karya yang bagus, padahal efek visual—yang biasanya menjadi ciri khas dari film-film superhero—yang digunakan teramat terbatas? Ya jawabannya karena mereka “mengakalinya” dengan cara lain, yaitu dengan “memperkuat” naskah sehingga bisa menciptakan sebuah alur cerita yang begitu dalam, penokohan setiap karaker yang mumpuni, serta konflik antartokoh yang begitu menegangkan dari menit pertama sampai terakhir.
Dalam Daredevil, saya sampai dibuat takjub dengan betapa cerdasnya Marvel menyajikan konflik (baik secara fisik maupun batin) di antara Matt Murdock dan Wilson Fisk. Kemudian pada Jessica Jones, saya pikir penontonnya serialnya takkan lupa dengan begitu ikoniknya penampilan sang antagonis, Kilgrave the Purple Man, yang mampu memberikan intimidasi dan trauma masa lalu yang sungguh mendalam kepada sang karakter utama.
Selain itu, layaknya karya bergenre superhero pada umumnya, kedua serial tersebut juga tetap menyajikan adegan pertarungan. Namun, kembali lagi, karena terbatasnya dana untuk membuat CGI yang megah seperti film-film layar lebar, para kreatornya lantas terpaksa memutar otak dan menciptakan adegan aksi jalanan yang pada akhirnya justru mampu memberikan keunikan tersendiri dan tak akan kita temukan dalam film Iron Man ataupun Thor.
Mereka sadar akan “keterbatasan” mereka, dan alih-alih mencari “pembelaan”, mereka justru mencari alternatif lain yang justru berujung sukses dan menjadi ciri khas tersendiri. Hal-hal berupa inovasi seperti inilah yang harus diterapkan para sineas Indonesia jika ingin menciptakan judul-judul film superhero baru di masa mendatang.
Akhir kata, saya ingin mengucapkan selamat kepada Hanung Bramantyo dan semua yang terlibat dalam film Satria Dewa: Gatotkaca. Semoga film tersebut bisa menjadi pemicu dari terciptanya lebih banyak lagi karya-karya sineas tanah air yang mengangkat genre tersebut. Maju terus perfilman Indonesia!
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Satria Dewa: Gatotkaca, Film Superhero Lokal yang Berisik.