Cerita Penyintas Gangguan Mental yang Dapat Stigma Negatif di Masyarakat

Cerita Penyintas Gangguan Mental yang Dapat Stigma Negatif di Masyarakat terminal mojok.co

Cerita Penyintas Gangguan Mental yang Dapat Stigma Negatif di Masyarakat terminal mojok.co

Banyak sekali orang awam menganggap, ketika seseorang pergi berobat untuk mengatasi gangguan kejiwaan yang dialaminya adalah bagian dari orang “stres” atau orang gila. Tidak sedikit penyintas gangguan mental yang dapat stigma tidak enak dari orang-orang.

Seperti halnya beberapa minggu lalu, saat sebelum saya menuliskan artikel ini, ketika saya berkunjung ke rumah sahabat saya. Di sana saya disambut hangat, kemudian kami berbincang sebentar dengan tema obrolan yang ringan.

Di saat perbincangan kami akan berakhir, sahabat saya menginformasikan kepada saya bahwa suaminya bertemu dengan tetangga lamanya yang juga kenal dengan saya. Di dalam perbincangan mereka, orang tersebut dengan santainya menyebut saya dengan sebutan orang “stres” (kata yang diperhalus dari sebutan orang gila).

Suami teman saya tersebut spontan merevisi ucapan orang itu. Dia memberikan penjelasan kepadanya bahwa saya hanyalah seorang yang sedang mengalami depresi serta gangguan kecemasan. Bukan orang gila yang telah benar-benar kehilangan kesadarannya.

Ya, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sekaligus seorang penyintas gangguan mental di antaranya gangguan kecemasan, BPD (Borderline Personality Disorder), dan bipolar. Memang, saya sedang dalam pengobatan langsung dari psikiater di daerah saya.

Orang yang melabeli saya tersebut sebelumnya memang pernah bertemu dengan saya beberapa kali di poli jiwa tempat saya berobat. Dia bekerja sebagai relawan dari Dinas Sosial kota kami yang sedang mengantar pasien juga untuk berobat ke poli jiwa yang sama.

Di kota saya, Blitar, penggunaan kata stres biasanya digunakan untuk melabeli orang gila yang berkeliaran di jalanan. Orang yang sudah kehilangan kesadarannya secara penuh sehingga tidak mampu mengurus dirinya sendiri, baik secara fisik maupun secara mental dan pikiran.

Tentu saja, reaksi kaget teman saya kala itu terjadi karena betapa dia tahu dengan pasti bahwa saya bukanlah orang gila atau orang “stres”, seperti yang dituduhkan tetangganya terhadap saya.

Stigma-stigma yang salah seperti kejadian itu, telah lama beredar di masyarakat kita terkait hal-hal yang berhubungan dengan gangguan dan kesehatan mental.

Kita bisa melihat dari berapa banyak kasus pasung yang terjadi karena stigma “orang gila” yang melekat pada penyintas gangguan mental? Apakah label “orang gila” yang diberikan begitu saja kepada penyintas gangguan mental tidak berbahaya baginya?

Penyakit mental bukan lelucon atau candaan. Namun, sayang sekali sebagian masyarakat masih melabeli para penderita penyakit mental dengan stigma negatif. Bahkan, tidak sedikit orang-orang yang berkecimpung dan turut membantu dalam dunia kesehatan mental pun ikut-ikutan melabeli. Bukankah seharusnya mereka sudah mendapatkan edukasi yang lebih jelas? Miris.

Padahal para penderita penyakit mental sudah cukup berat dalam menghadapi kondisinya, tetapi masih dihantui juga dengan ketakutan akan penolakan dan stigma dari masyarakat.

Masyarakat tampaknya masih berjuang untuk menerima penyakit mental. Penyakit mental tidak diterima sebagai kondisi medis, bahkan cenderung dianggap tidak setara dengan penyakit fisik. Penyintas gangguan mental sering merasa tidak diterima.

“Apakah keluarga saya akan tetap mencintai saya jika mereka tahu? Akankah teman-teman saya tetap mau berteman jika mengetahui tentang diagnosis saya? Apakah kinerja saya di tempat kerja akan dinilai dengan bias yang negatif karena penyakit saya?”

Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali membebani mereka sehingga mereka akan cenderung memilih untuk merahasiakannya. Akhirnya, situasinya tidak pernah diketahui orang lain dan dia hidup dalam rasa malu, tertekan, dan juga takut. Kemudian gangguan mental yang menderanya selama ini pun tidak akan pernah teratasi.

Semua ini harusnya bisa dihentikan apabila pemahaman mengenai penyakit mental dipahami dengan benar oleh penderita maupun masyarakat. Stigma bahwa penyakit mental adalah sesuatu yang memalukan harus dihentikan. Penderita penyakit mental seharusnya diberikan pertolongan dan dukungan.

Bagaimana caranya menghapus stigma negatif mengenai penyakit mental? Berikut ini beberapa strategi yang saya rasa bisa dilakukan.

#1 Dapatkan informasi yang jelas dan faktual

Semua orang harus membekali diri dengan pengetahuan yang benar mengenai penyakit mental. Kesadaran ini yang akan memudahkan Anda untuk membantu orang yang dicintai atau anggota keluarga mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan demi pemulihan dan kesehatan emosional.

Pelajari tentang apa itu gangguan mental dan apa yang bukan. Ketahuilah bahwa penyakit mental bukanlah kegagalan moral, dosa, atau kelemahan.

Kondisi itu adalah penyakit, sama halnya dengan penyakit liver atau kencing manis. Persoalannya, penyakit ini termanifestasi dengan gangguan pemikiran, respons emosional yang abnormal, dan penurunan fungsi.

Dengan mengedukasi diri sendiri tentang penyakit mental itu, Anda akan belajar menghapus stigma dengan sendirinya.

#2 Sadar akan kata-kata Anda

“Pekerjaan ini bikin stres, saya depresi!”

“Aku ini OCD kalau soal bersih-bersih rumah.”

“Saya bingung mengambil keputusan, kayaknya skizofrenia deh.”

Kita sering kali menggunakan nama-nama penyakit mental seolah-olah itu adalah hal biasa. Lebih parah lagi, banyak orang yang menjadikannya lelucon.

Anda mungkin tidak bermaksud mengatakannya dengan artian yang harafiah, tetapi bagi orang dengan penyakit mental sangatlah menyedihkan jika mendengar penyakitnya dijadikan lelucon.

Artinya, bersikap dan bertindaklah bijaksana saat kita berhubungan dengan mereka yang memiliki penyakit mental, termasuk kata-kata yang kita gunakan dalam bahasa sehari-hari. Pastikan bahwa Anda menghargai mereka.

#3 Tunjukkan kasih sayang

Jangan jauhi teman, rekan kerja, dan keluarga yang memiliki penyakit mental. Dengarkan mereka. Hormati apa yang mereka rasakan. Pahami bahwa penyakit mental mungkin tidak hilang begitu saja dengan sendirinya. Kondisi ini membutuhkan perawatan dan pengobatan khusus.

Menghindari dan mengabaikan hanya akan melanggengkan stigma soal penyakit mental yang membuat mereka merasa lebih terisolasi. Tingkatkan empati Anda dan tunjukkan kasih sayang untuk mendukung penyintas gangguan mental.

Semoga artikel ini membantu kita semua untuk bisa mengubah stigma negatif terhadap penderita mental di luar sana sehingga para penyintas gangguan mental tidak merasa rendah diri untuk ikut berkumpul dan melakukan aktivitas sosial seperti pada umumnya manusia.

BACA JUGA Bukan Joker, Gangguan Kesehatan Mental Adalah Masalah Kita Bersama 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version