Bagaimana, sih, lika liku seseorang yang beternak dan jual kambing? Apa saja kisah di balik bisnisnya tersebut?
Pukul 12:00 siang bisa dibilang menjadi waktu yang ditunggu bagi para pekerja selain waktu pulang tentunya. Pada pukul 12 kebanyakan menjadi waktu istirahat di perusahaan. Biasanya para pekerja akan memanfaatkan waktu ini untuk mengisi kembali energi yang telah digunakan selama setengah hari lamanya.
Ada yang menggunakan waktu istirahat untuk makan, beribadah, atau berinteraksi dengan pegawai yang lain. Tidak terkecuali ya saya, yang menjadi pegawai di sebuah perusahaan.
Setelah menjalankan ritual istirahat, biasanya saya langsung menuju ke gudang untuk bercerita dengan pegawai lain. Satu orang yang saya tuju adalah seorang staf pengepakan dan pengiriman bernama Pak Moeh.
Beliau adalah tipikal orang yang setia dengan pekerjaannya. Terbukti dari masa pengabdiannya yang telah mencapai satu dekade di perusahaan ini. Dari mulai bujang sampai memiliki satu orang putri, Pak Moeh masih setia mengabdi.
Pak Moeh juga merupakan seorang pekerja yang pekerja keras. Selain bekerja sebagai staf pengemasan dan pengantaran, ia juga memiliki usaha sampingan, yaitu beternak dan jual kambing.
Tidak tahu kenapa, saya lebih tertarik mendengarkan cerita beliau tentang pekerjaan sampingannya. Ya cerita tentang bagaimana usahanya dalam jual-beli khas Qurban itu. Mungkin karena saya juga berasal dari latar belakang petani jadi lebih nyambung.
Selain itu bagaimana semangat beliau mencari tambahan untuk keluarga juga menginspirasi saya. Terlebih bekerja di Jogja yang notabene memiliki upah minimum yang cukup. Maka perlu sekali memutar otak untuk memiliki sumber pemasukan tambahan.
Selain pengalaman yang tidak mulus. Usaha beliau ini juga memiliki cerita-cerita unik dan menggelitik. Berikut beberapa cerita lika-liku dunia perwedhusan yang dialami Pak Moeh.
#1 Kambing balita yang hamil
Pagi hari sebelum bekerja, biasanya kami mengadakan briefing dan doa bersama. Saya perhatikan wajah Pak Moeh tidak seceria biasanya. Tampak gusar dan bingung.
Setelah waktu istirahat tiba dan saya selesai melakukan makan dan ibadah tidak lama saya langsung menuju ke gudang. Saya bertanya kepada beliau ada apa gerangan. Pak Moeh mengambil gawai pintarnya dan menunjukkan sebuah foto ke saya.
“Iki loh, Bro, mosok cempeku lagi 2 sasi wis metheng,” ujar Pak Moeh. Saya langsung tidak percaya dengan apa yang beliau tunjukkan. “Mosok, to?” balas saya.
Kata beliau benar bahwa cempe atau anak kambing yang betina menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Seperti maaf, payudara yang membesar dan kemaluannya yang menunjukkan bahwa sang cempe hamil.
Momen tersebut ternyata juga diabadikan di status WhatsApp dan menjadi perbincangan teman sejawatnya. Bahkan beberapa berani bertaruh apakah sang kambing kecil hamil atau hanya sekadar gemuk.
Lalu bagaimana kebenarannya? Awalnya Pak Moeh sangat yakin kalau kambing balitanya hanya gemuk. Dan memang kalau dipikir menggunakan logika tidak akan masuk di akal. Wong kambingnya saja sekandang hanya dengan ibu dan kambing jantan yang masih seumuran. Kalau diibaratkan dengan manusia sama-sama belum menstruasi dan belum mimpi basah.
Namun, belum lama ini saya mendapatkan jawaban yang berbeda dari Pak Moeh. Bahwa ia mulai yakin kalau kambingnya hamil. Ckckckck, “Pergaulan bebas kui Pak wedhusmu,” kata saya. Beliau setuju dengan apa yang saya katakan.
Sebenarnya saya masih ragu dengan apa yang terjadi kepada kambingnya. Saya masih mau menunggu beberapa bulan sampai kambing betinanya hamil besar. Kalau ternyata memang hamil, benar-benar tanda akhir zaman ya, Gengs.
#2 Pembeli yang ngeyel nawar
Memang sudah sewajarnya dalam dunia jual beli kita akan akrab dengan tawar menawar. Tidak terkecuali yang dialami oleh Pak Moeh dalam bisnis jual kambing miliknya.
Pernah suatu siang ia bercerita bahwa tadi pagi mendapatkan pembeli yang menyebalkan. Mulanya ia jual kambing dengan harga Rp1.280.000 di Facebook-nya . Tidak lama ada orang menghubungi dan terjadilah kesepakatan harga.
Namun, yang terjadi sang pembeli masih saja menego harganya. Pak Moeh yang tidak mengambil banyak untung tentu saja menolak penurunan harga tersebut. Tapi pembelinya tetap ngeyel.
Dari mulai 50 ribu, ke 25 ribu, ke 15 ribu, sampai ke 10 ribu. Sang pembeli kekeuh untuk meminta potongan harga sampai sebesar 10 ribu. Akhirnya dengan penuh rasa kesal Pak Moeh melepaskan kambingnya dengan sang pembeli.
Setelah bercerita, Pak Moeh sedikit menggerutu tentang kejadian yang menimpanya tadi pagi. “Koyo menthok wae dinyang 10 ewu. Wedhus jhe dinyang 10 ewu,” gerutu Pak Moeh. Walaupun begitu beliau tetap mensyukuri apa yang didapat.
#3 Ngarit dengan cutter
Rumput menjadi barang mahal dalam dunia peternakan. Pakan hewan yang satu ini bisa mencapai harga yang cukup mahal apabila membeli. Satu bagor saja kata Pak Moeh bisa mencapai harga Rp50 ribu.
Tidak jarang Pak Moeh menyempatkan mencari rumput di pagi hari sebelum berangkat kerja ataupun saat pulang bekerja. Sebagai peternak instingnya begitu terasah. Bisa-bisanya ia menemukan pekarangan yang ditumbuhi rumput di sekitar kantor.
Dengan sumringah beliau berucap, “Bro ngerti ra nek neng cerak asrama mahasiswa ono pekarangan kosong gek sukete dowo-dowo.” “Wo hoo, Pak, piye meh tok arit po?” balasku. Saya kemudian bertanya kembali apakah dia membawa arit untuk memotong rumput tersebut. Pak Moeh ternyata tidak membawa arit. Namun, beliau punya cara yaitu menggunakan cutter.
Saya sempat meragukan keputusan Pak Moeh untuk memotong rumput dengan cutter, mau berapa lama waktu yang dihabiskan?
Tidak diduga malamnya ketika saya pulang bekerja dan mengecek status WhatsApp di rumah. Saya tertawa terbahak-bahak dan geleng-geleng kepala karena melihat status WhatsApp dari Pak Moeh. Ternyata benar beliau berhasil memotong rumput menggunakan cutter dan berhasil mengisi penuh dua kronjot yang Ia bawa.
Keesokan harinya Pak Moeh berkata, “Piye tenan to iso, kene ngilmu debus e.” Saya hanya tertawa sambil ikut bahagia dengan pencapaian Pak Moeh. Berhasil membawakan pulang kambing-kambingnya makanan mewah pasti menjadi kebahagiaan tersendiri bagi beliau.
Banyak pelajaran dari pengalaman Pak Moeh beternak dan jual kambing. Salah satunya bagaimana beliau tetap bisa profesional menjalani kewajibannya sebagai seorang staf di perusahaan. Beliau tidak jarang lembur dan pulang lebih lama dari yang lainnya, loh.
Namun, beliau tetap semangat dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagaimana kreatifnya Pak Moeh menyiasati keadaan dan mencari sampingan. Tentunya dengan tidak mengganggu tanggung jawabnya.
Di tengah keadaan ekonomi yang tidak sesuai harapan. Beliau mencari tambahan untuk mendapatkan keidealan hidup yang ia dambakan. Bukan cuma soal uang. Namun, juga tentang kebahagiaan bertemu banyak orang adalah salah satu alasan beliau beternak dan jual kambing.
Cita-cita beliau pada masa pensiunnya nanti adalah bisa membuat kandang kambing yang megah nan mewah. Tidak jarang saya diperlihatkan bagaimana wujud kandang kambing idamannya. Yang bisa saya kira itu bukan proyek berbiaya murah.
Semoga saja apa yang Pak Moeh inginkan bisa terwujud dan hasil usaha jual kambing miliknya bisa lebih maju. Itu saja yang bisa saya harapkan.
BACA JUGA Pengalaman Duka Pengangkut Kambing: Dianggap Nggak Ramah Lingkungan Sampai Dikira Maling dan tulisan Rezza Atthoriq lainnya.