Cerita Horor Pakdhe Saya yang Diseruduk Siluman Manusia Berkepala Kuda

cerita horor bertemu siluman manusia berkepala kuda mojok.co

cerita horor bertemu siluman manusia berkepala kuda mojok.co

Sore itu saya baru saja selesai menyiram tanaman di pekarangan rumah ketika seorang kerabat berlari gopoh-gopoh menghampiri.

“Mas, Pakdhe, Mas,” ucapnya dengan napas tersengal. “Pakdhe ditemukan pingsan di ladang!”

Mendengar itu sontak saja saya taruh gembreng air dan bergegas menuju rumah Pakdhe yang berjarak sepuluh rumah dari rumah saya.

Setiba di rumah Pakdhe, para tetangga sudah berkerumun menjejali balai bambu tempat Pakdhe dibaringkan. Napas Pakdhe turun naik tidak teratur, tanda kalau dia masih hidup. Hanya saja tatapan matanya kosong, tak berkedip barang sedetik pun, wajahnya juga tampak pucat pasi dengan leleran keringat di sekitar leher dan dahi.

Namun, ada satu yang aneh. Di dada Pak Dhe seperti ada bekas luka lebam. Bentuknya lingkaran besar seperti tanda lahir, namun warnanya putih pucat. Dan seperti yang orang-orang tahu, tanda itu tidak pernah dimiliki Pakdhe selama ini. Maka sudah bisa dipastikan, sesuatu yang ganjil telah terjadi pada Pakdhe. Terlebih lagi Pakdhe tidak memiliki riwayat sakit apa pun.

Sementara menurut pengakuan tetangga yang menemukannya di ladang, dia sempat bertegur sapa dengan Pakdhe sebelum dilihatnya tubuh jangkung Pakdhe menggelosor di tanah.

Alih-alih memanggil dokter, Budhe meminta tiga keponakannya termasuk saya untuk sowan ke rumah Pak Kiai. “Sampaikan ke Pak Kiai, Pakdhe butuh di-suwuk (istilah Jawa untuk pengobatan alternatif),” Begitu pesan Budhe yang kami sambut dengan anggukan hampir bersamaan.

Selepas magrib, Pak Kiai datang ke rumah Pakdhe. Sejenak dipandangi tubuh Pakdhe yang setengah sekarat. “Coba ambilkan segelas air putih,” titah Pak Kiai yang langsung dipenuhi sama pemilik rumah.

Karena dirasa sangat pengap, Pak Kiai akhirnya meminta agar para tetangga dan kerabat Pakdhe yang masih berkerumun untuk sedikit mengambil jarak. Dan setelah agak longgar, Pak Kiai mulai memejamkan mata sambil merapal doa-doa di hadapan segelas air putih yang sudah disediakan.

Beberapa menit selanjutnya, orang-orang yang  berkerumun dibuat riuh ketika mendapati tanda putih pucat di dada Pakdhe berangsung memudar setelah disiram “air doa” dari Pak Kiai. Sisa air dalam gelas kemudian diminumkan ke mulut Pakdhe yang masih belum sepenuhnya sadar.

Tidak butuh waktu lama, mata Pakdhe akhirnya mengerjap-ngerjap dengan disertai batuk kecil. Seisi rumah pun mengucap hamdalah secara serentak. Termasuk Budhe yang sampai menangis sesenggukan saking harunya.

Setelah suasana sedikit lebih tenang, Pak Kiai kemudian meminta Pakdhe untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sore tadi. Sehabis menengggak segelas air putih yang disodorkan oleh Budhe, Pakdhe pun mulai bercerita.

***

Seperti biasanya, bakda asar saya musti turun ke ladang untuk mencari pakan ternak dan ngasih pupuk buat jagung dan sawo.

Semula saya memang sudah punya firasat aneh. Udara di ladang terasa cukup dingin dan suasana tiba-tiba jadi hening dan mencekam. Bulu kuduk saya juga berdiri meremang, tapi saya masih berusaha untuk nggak berpikir yang aneh-aneh.

Untunglah ada Karmijan (tetangga yang menemukan Pakdhe pingsan) menyapa saya. Saya sedikit lega karena akhirnya saya tahu kalau saya tidak sendirian di ladang seluas itu. Beberapa saat setelah Karmijan berlalu ke petak ladangnya sendiri, saya mendengar ada suara gedebak-gedebuk dari arah utara ladang. Seperti suara orang berlari.

Benar saja, saat mata saya betul-betul mengawasi arah suara itu bermuasal, sesosok orang berlari tunggang-langgang. Karena hanya Karmijan yang ada di ladang, saya sempat mau berteriak memanggilnya, tapi suara saya tersekat di tenggorokan. Tubuh saya juga mendadak tidak bisa digerakkan sama sekali. Saya hanya bisa berdiri mematung dengan kaki-mulut terkunci. Hanya mata saya yang masih awas mengamati sosok dari utara itu.

Semakin dekat sosok itu menyongsong saya dan semakin jelas sosok aslinya yang berperawakan manusia tapi berkepala kuda. Saya semakin tercekat. Ingin rasanya meronta, tapi tidak ada daya apa pun yang saya miliki untuk sekadar berlari. Satu-satunya yang bisa saya perbuat adalah membaca Ayat Kursi dalam hati, berulang-berulang, berharap sosok itu tidak jadi mendekat.

Tapi apa mau dikata, sosok manusia berkepala kuda itu akhirnya berdiri persis di hadapan saya. Hidungnya mendengus-dengus dan sesekali meringkik. Iya, benar-benar bertubuh manusia, tapi kepalanya kuda.

Sekejap kemudian, sosok ini menyeruduk dada saya dengan kepalanya, sekencang-kencangnya. Saya terjengkang ke tanah. Sebelum saya benar-benar pingsan, samar-samar saya lihat sosok itu berlari lagi entah ke mana.

***

Kami mendengar cerita Pakdhe dengan napas tertahan saking ngerinya. Kecuali Pak Kiai dan Karmijan yang sedari tadi hanya manggut-manggut saja.

“Apa sebelumnya siluman itu nggak pernah muncul di ladang, Dhe?” tanya Pak Kiai. “Nggak pernah, Pak Kiai. Selama ini nyatanya ya nggak pernah terjadi apa-apa,” jawab Pakdhe mantap. “Mungkin hanya lewat. Cari tempat tinggal baru,” ucap Pak Kiai yang diam-diam juga diamini oleh seisi rumah.

Namun, berbeda dengan Karmijan yang dari gestur tubuhnya terlihat sekali kalau dia sedang gusar. Paling tidak demikianlah sejauh yang saya perhatikan.

“Pak Kiai,” kini Karmijan mulai angkat suara. Yang dipanggil pun menoleh dengan sorot mata penuh tanda tanya. “Saya sebenarnya sudah dua kali ngelihat penampakan siluman kuda itu berkeliaran di ladang.”

“Oh iya, sampeyan diganggu?”
“Nggak pernah Pak Kiai, sebab bukan saya incarannya.”
“Sebentar, saya belum mengerti.”
“Saya sebenarnya tahu, kalau siluman itu adalah jelmaan dari adik tiri Pakdhe yang ngambil pesugihan. Dia masih menaruh dendam sama Pakdhe terkait dengan tanah warisan.”
“Dari mana sampeyan tahu?”
“Saya teman dekat adik tiri Pakdhe.”

Seisi rumah kembali dibuat riuh dengan pernyataan Karmijan.

BACA JUGA Ketukan Tiga Kali di Pintu saat Bermain Jelangkung Tengah Malam dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version