Di kalangan umat Kristen, pendeta dapat diartikan sebagai jabatan yang diberikan oleh sinode/organisasi gereja kepada orang yang dianggap layak mengemban dan melaksanakan tugas gerejawi seperti membina umat, memimpin pelaksanaan sakramen, mengajar, dan sebagainya. Meski demikian, lingkup kerja seorang pendeta tak hanya terbatas di suatu gereja lokal. Ada yang ditugaskan sebagai pendeta universitas, pembina rohani di sekolah, konselor di rumah sakit, dan lain-lain.
Nah, untuk menjadi seorang pendeta, pada umumnya seorang calon pendeta harus melewati proses pendidikan di sebuah sekolah Alkitab atau di universitas yang memiliki Fakultas Teologi.
Banyak orang mengira siswa/mahasiswa di jurusan “rohani” adalah orang-orang yang alim, kalem, baik hati, dan tidak sombong. Anggapan semacam itu memang wajar dikemukakan. Lha, wong calon hamba Tuhan je! Mosok ndak alim?
Masalahnya, asal tahu saja, mereka yang masuk ke sekolah Alkitab atau Fakultas Teologi, terdiri dari orang-orang dengan background kehidupan sangat beragam. Ada mantan preman yang baru bertobat, ada sales MLM yang sedang cari downline, ada pula anak muda yang tidak keterima sekolah di mana-mana, lalu memutuskan masuk sekolah Alkitab, atau ada juga yang masuk karena keinginan orang tuanya.
Selain itu, daerah asal mereka pun berbeda-beda, dari Sabang sampai Merauke. Maka, wajar saja bila kebiasaan dan budaya yang berbeda-beda bisa membuat kesalahpahaman di sana-sini.
Kebetulan, saya adalah seorang pendeta. Yah, walau dari tampang, saya lebih sering dikira sebagai pengusaha muda yang suka ider barang ke toko-toko kelontong. Hmmm…
Kenyataannya, calon pendeta juga adalah manusia biasa. Kalau disuruh bangun pagi untuk doa bersama, yo ada saja yang bablas ketiduran. Zaman sekarang, sih, masih lebih manusiawi. Kalau pas zaman bapak saya dulu—kebetulan bapak saya adalah pendeta juga—mereka yang ketiduran bisa disiram air oleh pengawas asrama, lho.
Masuk ke sesi makan bersama, tiap siswa sudah diberi jatah nasi dan lauk yang sama. Misal, sepiring nasi dan satu paha ayam. Semua setara, mirip prinsip kesetaraan di Squid Game. Namun, paha ayam yang sudah di piring, bisa tiba-tiba berpindah piring waktu doa makan dipanjatkan. Rupa-rupanya ada tangan jail yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mengambil hak sesamanya. Hiks.
Saat ujian tertulis, walau calon pendeta diajarkan untuk jujur dan nantinya akan mengajarkan kejujuran pada jemaat, ya tetap saja ada yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapat jawaban dari temannya. Mungkin, prinsip yang dipakai adalah: sesama calon pendeta tidak boleh egois dan harus saling membantu? Eh.
Romantika asmara antarsiswa saat menempuh pendidikan juga tak kalah seru. Ada yang curi-curi kesempatan untuk berpacaran, meski berada di sekolah yang melarang siswanya saling berpacaran selama proses pendidikan. Ada juga yang akhirnya keluar dari sekolah karena memilih untuk menikah dengan sang pacar.
Poin yang mau saya sampaikan adalah kami tak berbeda dengan manusia lain. Hanya karena menyandang status calon pendeta atau calon hamba Tuhan, bukan berarti kami jadi malaikat yang tahan segala godaan dan lolos dari segala rintangan.
Ada kalanya kami mendapati diri kami begitu lemah dan rentan saat masalah datang secara bertubi. Kepayahan mengikuti materi Bahasa Ibrani, logistik bulanan yang tak selalu tepat waktu, atau patah hati yang tak terprediksi, bisa membuat kami hampir putus asa dan merasa salah pilih “jalan”.
Namun, asal tidak melakukan pelanggaran yang terlampau berat, seseorang dapat lulus dari pendidikan dengan aman. Setelah lulus, ia akan mendapat gelar S.Th (Sarjana Teologi), yang dikeluarkan institusi pendidikan yang berada di bawah Depag, atau S.Si.Teol, maupun S.Fil (Sarjana Filsafat Keilahian) bagi lulusan dari institusi pendidikan yang berada di bawah naungan Depdikbud.
Perjuangan fisik dan pergumulan batin selalu menyertai perjalanan seorang calon pendeta. Setelah menuntaskan studi dan mendapat gelar pun para lulusan tidak otomatis jadi seorang pendeta. Seperti yang saya katakan di atas, bagi mereka yang tidak ingin terikat dengan gereja, akan memilih untuk berkarya di lembaga-lembaga lain. Sementara bagi mereka yang sudah memantapkan hatinya untuk mengabdi kepada jemaat di gereja, akan melewati fase-fase pengenalan dan penyesuaian di gereja lokal, sesuai penunjukan dari sinode.
Saya sendiri menempuh jalur pendidikan Teologi di suatu intitusi pendidikan di Surabaya. Setelah menyelesaikan studi S1 jurusan “sekuler” di salah satu universitas di Jogja, saya merasa terpanggil untuk masuk ke jalur kependetaan.
Sistem di tiap gereja tidak selalu sama. Di gereja tempat saya mengabdi, misalnya. Untuk menjadi seorang pendeta, harus menjalani praktik selama jangka waktu tertentu terlebih dulu untuk kemudian diangkat menjadi pendeta pembantu (Pdp), selanjutnya menjadi pendeta muda (Pdm), baru kemudian menjadi pendeta penuh (Pdt). Misalnya, per jenjang tadi dipukul rata masing-masing 2 tahun, maka seseorang baru akan jadi pendeta setelah 6 tahun, setelah kelulusan dan praktik.
Sementara, di gereja-gereja mainstream, para calon pendeta akan menjalani masa persiapan sebagai vikaris (Vic) selama jangka waktu tertentu. Setelah jemaat merasa cocok dan puas dengan pelayanan vikaris tersebut, ia akan diusulkan kepada sinode untuk nantinya ditahbiskan sebagai pendeta (Pdt). Namun, bila jemaat di gereja tersebut merasa tidak cocok, si calon pendeta harus pindah lagi untuk mencari gereja lokal di tempat lain sesuai penempatan dari sinode.
Jadi, perjalanan hidup seorang pendeta memang tidak lurus-lurus saja. Selama proses pendidikan, mereka harus belajar untuk “mengenal Tuhan” tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Setelah bergelar pendeta pun, ada pengalaman-pengalaman nyata di lapangan yang tak pernah dijumpai selama proses pendidikan.
Gimana? Ada yang mau jadi pendeta juga? Hehehe.