Kita tahu, harga kopi di Starbucks mahal dan kita paham betul tentang cara-cara mereka berusaha menguras isi kantong kita lebih banyak. Pertanyaannya, kenapa kita dan banyak orang lainnya, tetap saja membeli kopi di Starbucks, bahkan sampai setia dengan perusahaan yang berlogo siren tersebut?
Apakah mereka menggunakan dukun? Atau menaburkan kembang tujuh rupa di sudut ruangan agar kita betah berlama-lama di gerainya? Atau, jangan-jangan Starbucks mengambil foto semua pelanggannya dan melakukan pelet “ajian lengket” agar kita mengingat terus dan tergoda untuk selalu membeli kopi di sana?
Jelas nggak dong. Kurang-kurangin nuduh warung yang laris pasti pake “penglaris” deh ya.
Ada banyak alasan orang-orang membeli minuman di Starbucks. Misalkan saja, kalian beli lantaran ada promo, pengen swafoto di gerainya, atau karena merasa kopinya enak, semua itu sah-sah saja. Namun, Starbucks juga melakukan usaha agar kalian pada akhirnya memutuskan untuk mampir dan membeli kopi di tempatnya. Caranya dengan memerhatikan perilaku konsumen.
Ada banyak penelitian tentang ekonomi perilaku, salah satu yang dilakukan Starbucks adalah menerapkan irrational value assessment dalam produknya. Irrational value assessment pernah diteliti oleh Stanford. Dalam penelitian tersebut, masing-masing orang diberi dua wine yang sama tapi harganya berbeda, yang satu berharga 5 dollar dan yang lainnya 45 dollar. Hasilnya, bagian otak yang fungsinya untuk merangsang kesenangan, lebih aktif ketika menikmati wine yang lebih mahal. Padahal wine tersebut kualitasnya sama.
Dalam penelitian yang sama, ketika orang-orang tersebut kemudian diberi wine yang berbeda lagi, hanya saja kali ini label harganya dihilangkan. Wine dengan harga yang lebih murah justru menduduki peringkat tertinggi atau dianggap paling enak. Sederhananya, kalau seseorang diberi Iceland dan Absolute Vodka tanpa diberi label harga, Iceland adalah minuman enak. Tapi, begitu diberi label harga, dan jelas Vodka dilabeli lebih mahal, orang tersebut akan merasa kalau vodka lebih enak.
Artinya, harga dalam hal ini tak hanya mencerminkan kualitas, tapi juga memengaruhi kualitas. Harga mahal yang disematkan Starbucks tak bikin pembeli lari, tapi justru makin mendekat. Jadi, argumen kalian “mending kopi A, murah, enak” itu nggak berlaku. Semua orang tahu kalau Starbucks itu mahal. Ha wong jualan mereka ya harga mahal itu.
Namun, hal itu bukan satu-satunya cara Starbucks memengaruhi psikologis kita agar rajin ke gerainya dan menghabiskan uang di sana. Kalau strateginya hanya harga mahal, Blue bottle dan % Arabica pasti pemenangnya, lantaran mereka punya harga secangkir kopi yang lebih mahal dari pada Starbucks.
Starbucks juga paham betul tentang decision paralysis, fenomena psikologis di mana otak memilih untuk tidak melakukan apa-apa karena terlalu banyak informasi yang masuk. Dalam konteks ini, customer akan bingung jika diberi terlalu banyak pilihan. Maka dari itu, Starbucks fokus pada kopi dan hal-hal yang cocok disandingkan dengan kopi.
Mungkin selama ini kita beranggapan kalau memberikan banyak pilihan menu akan terlihat lebih baik karena komplit, tapi penelitian membuktikan sebaliknya. Kebanyakan pilihan atau beraneka ragam menu justru berpeluang besar memperlambat keputusan konsumen untuk membeli. Lebih jauh lagi, berpotensi membuat customer urung beli. Jika ingin membaca penelitian tentang decision paralysis, silahkan dibaca di sini.
Kalau kita amati dengan teliti, dulu Starbucks juga punya banyak ukuran gelas, ada demi (3oz), short (8oz), tall (12 oz), grande (16oz), venti (20oz), dan trenta (30oz). Lantaran tahu kalau secara psikologis orang akan lamban atau bingung jika diberi banyak pilihan, Starbucks dengan cerdas memangkas pilihan tersebut dan menawarkan customer dengan tiga jenis ukuran saja, yaitu tall, grande, dan venti. Kalau kalian tanya, kenapa harus tiga ukuran, kenapa nggak dua, monggo belajar tentang decoy effect dulu.
Starbucks juga melakukan attribute priming atau bicara banyak tentang suatu produk kepada konsumen akan membuat produk tersebut menarik di mata konsumen. Dalam ekonomi perilaku, customer akan cenderung memutuskan membeli sesuatu dari apa yang paling sering dibicarakan dan dilihatnya. Contohnya, jika dalam sehari orang melihat banyak informasi tentang yoghurt, besar kemungkinan ia akan beli yoghurt pada hari itu juga.
Jika kalian punya aplikasi Starbucks pasti tahu betul, betapa seringnya mereka memberikan informasi tentang promo makanan dan minuman. Starbucks juga sering memberikan informasi tentang menu baru. Semua itu dilakukan agar batok kepala kita penuh dengan kata Starbucks, lalu kaki kita dengan senang hati berjalan menuju gerai untuk membeli kopi.
Jika dulu kita musti membawa Starbucks card agar transaksi yang kita lakukan mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan minuman gratis. Hari ini, semua teratasi dengan aplikasi, yang mencatat perilaku dan rekaman transaksi konsumen.
Misalnya saja, karena saya sangat sering membeli Americano dan Hazelnut Latte, maka promo-promo yang diberikan Starbucks ke saya, nggak akan jauh dari kedua minuman tersebut.
Melalui mobile app, Starbucks mencoba mendekatkan diri ke customernya dengan analisis data yang diberi nama Starbucks digital flyweel. Perilaku customer diamati, mulai dari minuman apa yang sering dibeli, berapa ratus ribu uang yang kita keluarkan dalam satu bulan untuk ngopi, sampai soal merchandise apa yang kita sukai dan metode pembayaran apa yang sering kita gunakan.
Data-data tersebut kemudian digunakan untuk memutuskan atau menyimpulkan produk apa yang paling sesuai dengan customer yang bersangkutan. Dalam skala yang besar, analisa data tersebut juga bisa digunakan untuk menentukan promo apa atau aktivitas apa yang paling cocok dilakukan untuk customer dalam satu negara.
Baru-baru ini, karena di Indonesia viral secret menu dan Starbucks Indonesia juga tahu kalau customer di negeri ini suka sekali foto gelas, kemudian dipamerkan di media sosial. Starbucks memfasilitasi hal tersebut dengan melakukan lomba yang diberi tajuk coffeemezation. Kalian tinggal tulis secret recipe apa yang biasa dibeli, lalu videokan minuman kalian, dan upload di jejaring sosial. Nanti mereka akan memilih pemenangnya untuk diberi hadiah.
Apakah semua hal tersebut dilakukan karena Starbucks mencintai konsumennya? Ya jelas dong. Lebih tepatnya mereka mencintai uang yang akan kita keluarkan untuk perusahaannya. Dalam lomba tersebut Starbucks pasti untung, lah wong setiap mau ikut lomba harus beli minuman secret recipe dulu. Apalagi harga minuman secret recipe tuh lebih mahal dari pada minuman basic. Hehehe.
Itulah cara Starbucks merayu otak kita agar tetap membeli produknya dan senantiasa setia dengan pilihan kita. Sekali lagi, apakah itu salah? Ya nggak juga. Justru mereka pintar dan memberi kita pelajaran berharga, kalau ingin sukses dalam berdagang, ya pahami perilaku konsumen.
Hal ini bisa kalian aplikasikan juga dalam hubungan. Yaitu, amati perilaku ayang untuk memahami keinginannya. Tapi, syaratnya, punya ayang dulu. Itu. Yang. Berat.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nongkrong di Starbucks Itu Murah, Asal Tahu Strateginya