Ketika saya masih kecil, sering kali saya ikut ke mbah saya ke terminal untuk menjemput orang tua saya. Kebetulan saya tinggal di salah satu kecamatan kecil di Banyumas, dan tentu saja terminal adalah jadi satu-satunya tempat para pemuda desa menjemput mimpinya di kota besar. Termasuk orang tua saya dulu. Biasanya bus akan datang di terminal setelah maghrib atau pun isya. Tergantung keadaan jalan saat itu macet atau tidak. Dari semua bus yang ada di Terminal, bus yang selalu digunakan orang tua saya ketika pulang adalah Sinar Jaya.
Meski bukan satu-satunya bus yang mengantar para perantau, Sinar Jaya selalu menjadi pilihan para pemuda desa berangkat ke kota. Alasannya simpel sebenarnya, murah dan meriah. Dengan hanya bermodalkan 50-60 ribu rupiah saja, kita bisa sampai Jakarta/Bandung dalam waktu 6-7 jam.
Meski tergolong lebih lama di jalan dibandingkan dengan kereta atau travel, dengan harga segitu tentu harganya akan terasa lebih murah. Apalagi rata-rata penggunanya adalah pemuda-pemuda desa yang baru saja lulus SMP atau SMA, termasuk saya saat itu, yang sudah pasti uangnya masih terbatas dan biasanya mendapatkan “sangu” dari hasil orang tua mereka menjualkan hasil kebun atau gabah di desa.
Selain bus Sinar Jaya, sebenarnya ada pilihan bus lain. Hanya saja, dengan harga yang hampir sama tingkat kenyamanan dari busnya jauh berbeda. Sinar Jaya, pada saat itu, memiliki interior yang nyaman khas bus baru, dengan leg room yang lebih manusiawi. Hiburannya memang hanya speaker bus yang diputarkan musik dangdut pantura selera Pak Supir. Namun, dengan kaki yang lebih leluasa, menikmati lagu “bang SMS siapa ini bang” terasa lebih meriah tanpa khawatir kaki kesemutan.
Perubahan Bus Sinar Jaya, dari bus ekonomi terjangkau kini menjadi bus suite class
Beberapa tahun belakangan, fenomena bus mewah sedang hits di Indonesia. Para pengusaha bus beramai-ramai membuat bus eksekutif hingga suite class. Kebanyakan bus dilengkapi fasilitas yang hampir mirip seperti hotel berjalan. Dari cemilan yang mengharamkan penumpangnya untuk lapar, hingga kasur yang dilengkapi selimut tebal di dalamnya.
Sinar Jaya pun tidak mau kalah, mereka mencoba memperbaiki eksekutif class, membuat bus double decker, dan puncaknya dengan membuat suite class yang fasilitasnya hampir sama dengan bus mewah lain. Yang menjadi nilai pembeda dari Sinar Jaya adalah harganya yang diklaim lebih murah dibanding bus mewah lain.
Apa yang dilakukan bus Sinar Jaya sebenarnya sudah benar, adaptasi bisnis tentu sangat diperlukan agar tidak kalah saing dengan bus-bus lain. Sayangnya, dari segala pembaruan yang dilakukan, bus ekonomi Sinar Jaya tidak terlalu banyak berubah. Terakhir kali saya ke Jakarta menaiki bus ini, fasilitasnya sudah mulai banyak yang rusak. Mungkin itu yang menjadi alasan kenapa saat itu saya tidak banyak menemui pemuda yang sama-sama naik bus kelas ini ketika dari terminal.
Sudah tidak lagi menjadi pilihan utama bagi pemuda kabupaten menjemput mimpi di kota.
Semakin sepinya para perantau yang naik bus Sinar Jaya, berbanding lurus juga dengan keadaan terminal di kecamatan saya sekarang. Dulu, di tiap hari minggu sore sampai malam, terminal sudah pasti ramai dipenuhi orang-orang yang akan berangkat atau kembali dari perantauan. Pedagang mendoan laris karena memang menjadi salah satu makanan yang cocok untuk bekal ketika perjalanan di bus.
Sekarang, pedagang mendoan di area terminal hanya bisa dihitung jari. Kebanyakan sudah pindah ke tempat yang lebih ramai. Terminal pun semakin sepi, hanya terlihat beberapa bus kecil yang masih terparkir, tapi sepi penumpang.
Yang membuat saya makin sedih adalah, bus Sinar Jaya, yang sudah lama menjadi bus langganan di terminal itu, kini hanya lewat saja dan tidak lagi diberangkatkan dari terminal tersebut. Kalaupun ada penumpang yang sudah memesan tiket, paling bus hanya berhenti saja beberapa menit kemudian berangkat kembali begitu penumpang sudah naik.
Seiring perkembangan jaman, bisnis juga selayaknya harus mengikuti. Sinar Jaya pun begitu. Memperbaharui bus menjadi lebih eksekutif serta membuat suite class mungkin memang menjadi terobosan bagi mereka untuk tetap bisa eksis di tengah persaingan. Namun, karena mungkin dianggap kurang menguntungkan, Sinar Jaya kelas ekonomi jadi kurang diperhatikan dan lama kelamaan menjadi semakin sepi peminat.
Tapi tidak apa, meski begitu, bus Sinar Jaya kelas ekonomi sudah pernah menjadi saksi mengantarkan para pemuda-pemuda desa berusaha mengubah nasib di Ibu Kota.
Penulis: Hardika Ilhami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Setelah Tidak Pernah Naik Bus, kini Saya Menyesal Mencoba Naik Sleeper Bus Sinar Jaya Suite Class
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
