Meruntut masalah protes masyarakat kepada Ridwan Kamil a.k.a Kang Emil terhadap desain Masjid Al-Safar yang menuai kontroversi karena disinyalir memiliki kemiripan dengan simbol-simbol yang digunakan oleh organisasi paling kontroversial sepanjang sejarah bernama Illuminati—ternyata drama keviralan kasus ini semakin mencengangkan dan menegangkan sekaligus agak kocak, gaes~
Setelah satu per satu masyarakat termakan berbagai kabar miring sehingga saling mengintervensi agar masyarakat lain pun ikut menolak beribadah di Masjid Al-Safar. Akhirnya pemberitaan isu ini pun berhasil memicu dunia perulamaan—yang sebut saja tokoh-tokoh agama terkemuka—untuk buka suara. Belum selesai Si Akang Emil meredam opini publik terkait tuduhan tersebut, Kang Emil justru semakin dibikin pusing dengan perdebatan baru yang menyusul viral—apalagi kalau bukan perbedaan pandangnya dengan Ustaz Rahmat Baequni dalam sebuah kegiatan diskusi terbuka yang digelar oleh MUI Jabar di Bale Asri Pusdai Jawa Barat senin kemarin (10/6/2019).
Dalam pemaparan Ustaz Baequni, beliau menegaskan bahwa segitiga merupakan simbol yang menjadi ciri khas kaum Zionis Yahudi, termasuk untuk menginterpretasikan ketuhanan mereka. Beliau juga menjelaskan bahwa kaum Zionis memaknai segitiga terbalik sebagai penggambaran dari iblis yang mereka sembah, sedangkan segitiga normal—menghadap ke atas—disimbolkan sebagai Dajjal. Apabila keduanya digabungkan atau dipersatukan, maka terbentuklah simbol yang kini digunakan sebagai lambang bendera Israel.
Selain itu, ia juga memaparkan mengenai tiga agenda utama kaum Zionis—yaitu persatuan kaum Yahudi di seluruh dunia, kekuasaan berdaulat di atas tanah Palestina, dan penyebaran ideologis ke seluruh umat demi terwujudnya The New World Order. Dalam mencapai keberhasilan ketiga agenda tersebut, mereka biasanya akan menggunakan media berupa simbol, ritual, dan arsitektur.
Tanpa perlu kita cerna pun, pemaparan beliau jelas sekali mengarah kepada permasalahan Masjid Al-Safar yang tengah ramai dibicarakan. Hal inilah yang membuat masyarakat memperdebatkan relasi antara Dajjal dan Illuminati, Illuminati dipercayai sebagian kalangan sebagai antek-antek setia alias tentara Dajjal—si Makhluk Akhir Zaman menurut ajaran agama Islam. Sebaliknya, Kang Emil menanggapi dengan tipikal khasnya yang nyentil tapi suka bener. Ia jelas menampik klaim bahwa arsitektur Masjid Al-Safar berbentuk segitiga melainkan trapesium—lah, kok bener~
Tak lupa beliau menambahkan dukungan teori saintis berupa studi matematika dasar soal perbedaan rumus trapesium dan segitiga. Super sekali, Pak!
Keberagaman perspektif dalam menginterpretasikan simbol segitiga tersebut pun masih ambigu dan mengundang banyak perdebatan akibat kemiripan bentuk dasar yang selalu dilihat dari satu sisi—sisi depan atau belakang. Simbol-simbol segitiga Illuminati yang digambar atau ditulis dengan media datar apabila di visualisasikan bentuknya dapat menyerupai piramida, trapesium, hingga kerucut—intinya kecil atau mengerucut aja bagian pucuknya. Pucuk pucuk pucuk—iklan.
Setelah cukup memberi kuliah umum tentang konsep segitiga dan trapesium, Kang Emil juga menganggap kontroversi terhadap dirinya ini di rasa sama sekali tidak proporsional—bisa jadi di dalam hati Kang Emil bilang, “Akutu nggak bisa diginiin”. Pasalnya, banyak sekali masjid yang menggunakan desain dan ornamen ala-ala segitiga namun tidak menjadi masalah sampai masalah ini diperdebatkan—misalnya seperti Masjid Al-Ukhuwah Bandung, Masjid Raya Jakarta atau Masjid Raya Hasyim Asyari hingga Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Nabi Raudah. Apakah karena yang desain bukan seorang Ridwan Kamil yang nge-hits dan mengundang massa untuk nyinyir?
Hari ini saya cukup lama berselancar di dunia daring, isu ini berjaya menjadi trending berita menghiasi headline-headline beranda di berbagai media. Sampailah saya di pekarangan mojok.co, saya membaca artikel di beranda dengan cukup seksama sembari sesekali menyungging bibir atau nyengir-nyengir. Setelah membaca salah satu artikel di mojok.co soal isu terkait, saya jadi berpikir: “Apakah selama ini saya makan dan memberi makan orang dengan makanan Dajjal setiap kali di rumah mengadakan selametan? Jangan-jangan tanpa niat dan tanpa sadar saya telah membabtiskan diri menjadi agen Illuminati? Oh, tidak!
Segala nasi tumpeng aja menjadi korban komentar nyinyir kekritisan bepikir netizen—kasihan ya. Walaupun hanya sekedar lelucon, tapi kalau dinalar kok masuk akal. Memang ya, mojok dan para fans setianya, nakal tapi banyak akal. “Memang apa hubungannya?” Bukankah konteksnya sama saja dengan cara masyarakat yang sekonyong-konyongnya menuding Masjid Al-Safar mendefinikan eksistensi Illuminati hanya karena desain dan ornamennya yang mirip dengan simbol All Seeing Eye atau segitiga Illuminati?
Seandainya memang segala penggunaan bentuk tersebut perlu dipermasalahkan, kemiripan simbol-simbol Illuminati ada di mana-mana loh di sekitar kita. Contohnya nasi bungkus angkringan—waduh ini makanan saya ini—, nasi kenduri, caping petani, atau jika kalian pernah mendengar nama sebuah warung prasmanan bernama Illuminasi—dengan motto Free Mesen Pulang Bayar—hingga (maaf) bentuk beberapa jenis celana dalam. Illuminati is everywhere.
Kita memang perlu waspada dengan kehadiran Dajjal yang telah diramalkan akan hadir di akhir zaman, namun penudingan dan penghakiman tanpa dasar pada sebuah simbol yang sangat umum dirasa kurang tepat. Pasalnya, terlalu banyak variabel yang bahkan kita sendiri pun sulit mengidentifikasi maknanya—namun sayangnya kita terlalu mudah untuk asal menyimpulkan. Apalagi menimbang-nimbang setiap seni sarat akan makna yang dicurahkan penciptanya—bagaimana jika sebuah seni tidak lagi dianggap sebagai seni melainkan diubah maknanya menjadi propaganda belaka?
Saya yakin bahwa drama ini tidak akan sampai di sini saja. Nampaknya, episode di mana cerita mencapai klimaks belum terlihat tanda-tandanya dan memaksa kita untuk “Nantikan episode berikutnya”, titik tiga. Lalu massa menyiapkan adegan sekaligus menjadi figuran dengan berlomba-lomba mencari kebenaran dan pembenaran—beradu debat tak berujung. Dalam hal ini ermasuk saya dan kita yang bersuara adalah bagian dari pemicu klimaks cerita.
Dari makhluk biasa-biasa saja seperti kita hingga berhasil mengguncang dunia para politisi dan selebritis untuk turut meramaikan-dan berakhir dengan kegalauan panjang seorang arsitek sekaligus Gubernur Jawa Barat tersebut sebagai pemeran utama di negara yang rakyatnya mempercayai adanya hubungan Dajjal dan Illuminati yang mana dimanifestasikan dengan kepercayaan bahwa segitiga adalah simbol yang taksa serta teramat sangat penting dan bermakna. Luar biasa sekali ya, sebuah segitiga~
Tak dipungkiri banyak sekali masyarakat yang lebih memilih diam dan mengikuti pemberitaan, memang tidak ada yang salah dengan menjadi biasa-biasa saja. Toh hidup memang terkadang perlu mencari aman. Tak ada yang salah juga dengan masyarakat yang lebih memilih bersuara dengan ideologi mereka masing-masing—setidaknya mereka menginginkan kebenaran atau perubahan atau sekedar kesalahan yang dibenar-benarkan. Yang menjadi masalah adalah pretensi dari orang-orang yang memanfaatkan keadaan untuk memecah belah perdamaian dunia—asek perdamaian dunia—khususnya masyarakat Bandung dan sekitarnya.
Tapi seru juga sih. Narasi ini kemudian membuka dan memberikan ruang bagi konspirasi-konspirasi tua untuk berbicara—termasuk konspirasi populer Illuminati sebagai tentara Dajjal. Apalagi wacana keterkaitan UFO (Unidentified Flying Object) muncul sebagai bagian yang menyemarakkan kehadiran konspirasi kedua hal tersebut menjadikan permasalahan ini benar-benar mirip film Sci-Fi. Wah, apakah ini efek dari fanatisme masyarakat terhadap Avengers: End Game (2019) ya, sampai ada yang mengira bahwa UFO adalah kendaraan Dajjal?
Tapi syukurlah, diskusi legit nan menggigit di pagelaran MUI itu diakhiri dengan anjuran saling menghormati pendapat—yang ditutup oleh Ketua MUI Jawa Barat, Rachmat Syafei. Kesimpulannya, begitu juga dengan aku dan kamu. Iya, kamuuu~