Bagi anak milenial akhir sampai awal gen Z, pasti di rumah punya buku alumni yang sudah cukup usang. Awalnya, buku ini hanya dibuat murid kelas 12 (3 SMA) yang akan sulit reuni karena punya kehidupan masing-masing. Tapi karena saking terkenalnya, murid SMP bahkan SD juga ikut-ikutan bikin buku alumni.
Benda yang satu ini memang menyimpan nostalgia saat masih sekolah. Tapi jangan salah, meskipun bersejarah dan bikin nostalgia, buku ini juga bisa jadi sumber bocornya data pribadi. Kok bisa?
Buku yang bersejarah
Hampir satu dekade yang lalu, entah siapa yang memulai trennya, waktu lulus sekolah adalah saatnya membuat buku alumni. Internet yang belum masif membuat jasa percetakan dan fotografi jadi laris manis karena buku ini.
Saya masih cukup ingat, buku alumni menjadi sesuatu yang prestise di kalangan murid. Saking prestisenya, kadang antar-sekolah akan bersaing untuk membuat desain dan konsep yang unik.
Rebutan fotografer dan percetakan jadi hal yang biasa terjadi di akhir tahun ajaran. Belum lagi protes soal tema, lokasi pemotretan, properti pemotretan, dan lainnya. Saya jadi nggak heran kalau buku ini dulu menjadi sumber konflik antar-siswa.
Berakhir dilupakan
Selepas SMA, buku ini jadi salah satu barang yang terlupakan. Nggak tahu kenapa, buku alumni berakhir menjadi barang berdebu yang ada di rumah. Saat kuliah atau bekerja, saya hampir nggak ingat kalau punya buku ini.
Selain itu, desain buku alumni juga nggak relevan lagi dan terkesan jadul. Satu-satunya bahan yang bisa diandalkan cuma sampul dan tinta print. Karena terlalu jadul, saya pernah hampir membuang buku alumni milik adik saya karena dikira barang nggak terpakai dan tintanya sudah memudar.
Buku alumni jadi sumber kebocoran data
Meskipun dilupakan, buku alumni juga punya “kengeriannya” sendiri karena bisa dimanfaatkan orang yang nggak bertanggung jawab. Di buku alumni, pasti akan tertulis tempat tanggal lahir, alamat, sampai nomor yang bisa dihubungi. Untungnya nggak ada NIK, kalau ada, big data satu sekolah bisa gawat!
Kengerian ini bermula saat seseorang pernah minta tolong saya untuk memotret bagian biodata teman satu sekolah. Saya yang agak curiga kemudian bertanya mengapa ia melakukan semua itu. Usut punya usut, dia ingin mengirimkan barang dari anonim kepada crush-nya secara anonim saat sekolah. Bayangkan, mendadak ada paket di depan rumah secara anonim karena alamat rumahmu ketahuan di buku alumni, agak creepy ya.
Sekarang, saya kurang tahu apakah masih ada buku alumni seperti satu dekade yang lalu atau bukan. Kalau dianggap sebagai kenang-kenangan, mending isinya kumpulan foto dan nggak perlu dikasih data pribadi. Desainnya juga lebih bebas dan suka-suka yang bikin.
Bagian biodata yang rawan bocor juga harus diubah. Misalnya cuma ditulis nama, makanan favorit, dan minuman favorit kayak biodata anak SD tahun 2000-an. Jadi nggak akan takut alamat rumahnya tersebar, kan? Terus daripada jadi barang berdebu dan dilupakan, mending dijadikan file digital yang nggak akan kedaluwarsa. Gimana, setuju, nggak?
Penulis: Laksmi Pradipta Amaranggana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cerita Alumni UGM Kenapa Mereka Memilih Kuliah di UGM: Fasilitas Lengkap, Dosennya Hebat!